Aku mengamati benda ini. sebuah Radio Tape merk Sony. Warnanya hitam dengan dua speaker bass di kanan kirinya. Dua puluh tahun yang lalu, benda ini merupakan barang yang mewah. Benda ini punya nilai sentimental tersendiri untukku karena di masa aku sekolah dan kuliah dulu, benda ini selalu setia menemani belajarku. Juga menemaniku di masa-masa senangku. Termasuk menemani tidurku.
Beberapa hari yang lalu aku menemukannya di gudang bersama barang-barangku yang tidak terpakai lainnya. Kondisinya memprihatinkan. Penuh debu dan mulai terlihat usang. Namun, setelah dibersihkan, kondisi benda ini menjadi glowing mengalahkan glowingnya donat kesukaanku.
Ku coba menyalakan. Kondisinya masih bagus. Suara masih stereo. Barang ini memang terkenal “bandel”, meskipun sudah lama ku-‘cuti’-kan, tapi masih berfungsi dengan baik. Ia tetap mampu menerima siaran dari stasiun radio dan memancarkan Kembali ke pendengar dengan kualitas yang oke punya. Tidak ada “kresek-kresek” atau noise apapun pada suaranya. Pokoke, secara kualitas masih sangat bagus.
Masalahnya adalah, radio ini sekarang sudah ketinggalan jaman. Sudah kalah pamor dengan Home Theatre atau radio dari HP atau streaming dari internet. Aku sendiri sekarang lebih suka mendengarkan radio dari HP atau streaming dari komputerku. Dan agar tidak mengganggu yang lain, aku menggunakan headset untuk mendengar suaranya.
Aku berfikir sejenak, enaknya, benda sentimental ini mau aku apakan ya? Dibuang sayang, disimpan memenuhi ruang, disewakan takut mengecewakan orang. Hehehe…
Akhirnya setelah dipikir-pikir, kuputuskan untuk kuberikan kepada Asisten Rumah Tanggaku, seorang perempuan paruh baya yang telah limabelas tahun mengabdi kepadaku.
“Mbok… ini saya ada radio. Masih sangat bagus namun sudah tidak saya pakai lagi. Ini untuk mbok saja.” Kataku sambil menaruhnya di kamar si Mbok. Kemudian aku sibuk mengajarkan cara mengoperasikannya.
Si Mbok dengan senang hati menerima pemberianku. Sekarang, ia punya hiburan di kamarnya. Mendengarkan siaran dari radio kesayangannya.
Beberapa bulan kemudian, Si mbok pamit untuk mudik lebaran. Tak lupa ia membawa serta radio pemberianku ke kampung halamannya.
“Oleh-oleh untuk anak saya, Mas. Ia pasti senang.” kata Si Mbok mengatakan kepadaku sambil tersenyum penuh kebahagiaan karena sudah membayangkan wajah senang anaknya dengan oleh-oleh yang dibawanya.
Aku pun ikut senang melihat kebahagiaannya. Semoga radioku memberinya kebahagiaan juga kepada keluarganya yang sederhana di kampungnya. Ya. Aku tahu, bahwa keluarganya sangat sederhana. Jika di rumahku punya televisi di setiap kamar, maka di rumah Si Mbok, bahkan untuk nonton televisi pun harus numpang ke rumah tetangganya. Terbayang kan betapa sederhana hidupnya.
***
Sebulan kemudian, si Mbok Kembali lagi ke rumahku. Kembali bekerja seperti biasa. Bedanya, sekarang, Si Mbok bekerja sendiri. Tidak ditemani lagi oleh alunan suara radio dari kamarnya. Tapi hal itu tidak menjadi masalah baginya.
Hari ini, Minggu 07 Juli 2019, ku sempatkan mengobrol dengan Si Mbok
+ Mbok, gimana kabar kampungnya?
- Seperti biasa, Mas. Kampung saya tidak banyak berubah.
+ Lebaran kemarin, bagaimana keadaan di kampungnya?
- Ramai, Mas karena banyak yang pada pulang dari tempat kerjanya.
+ Gimana kabar keluarga di kampung?
- Alhamdulillah semua sehat, Mas. Anakku yang paling kecil kemarin datang dari Riau. Aku senang. Apalagi sekarang di rumah saya sudah ada radio untuk hiburan.
+ Gimana kabar radio yang saya kasih kemarin?
- Radionya juga sehat, Mas.
+ Ada masalah dengan radionya?
- Eemm… anu, Mas. Enggak.
+ Kenapa, Mbok? Ngomong aja kalau ada masalah dengan radionya. Aku tau dari ekspresi Mbok, sepertinya ada masalah.
- Saya Cuma kagum sama radionya, Mas. Waktu saya dengar di sini, radio ini siarannya pakai bahasa sunda. Tapi waktu saya dengar di kampung, kok dia bisa siaran pakai bahasa Jawa. Radionya pintar ya, Mas.
+ GUBRAAKKK....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H