Sudah satu minggu berlalu ending Twenty Five Twenty One tayang. Namun, saya percaya kesan tak bisa move on masih melekat rapat di hati para penontonnya.Â
Akhir cinta antara kedua tokoh utamanya yaitu Baek Yi-jin dan Na Hee-do seakan membuat puasa kali ini terasa lebih berat karena harus menyumpah serapahi si pembuat cerita dan sutradaranya. Di sisi lain, asam garam percintaan Baek-Do menggambarkan kisah nyata yang bisa dijadikan panduan pemirsa untuk beranjak dewasa.
Berapa banyak dari kita yang memiliki kisah cinta pertama bertahan hingga akhir? Kalau dihitung mungkin nggak akan lebih dari separuh warga Kota Pekalongan. Bagaimana tidak, cinta pertama  hanya sebuah latihan bagi insan remaja yang baru mengenal makna menyukai lawan jenis.Â
Bahkan sebagian dari kita tidak tahu apakah perasaan tersebut dinamakan cinta. Hal ini persis seperti yang dirasakan Na Hee-do saat Baek Yi-jin dengan berani menyatakan cintanya di bawah pelangi.
Na Hee-do tanpa ragu menyatakan bahwa perasaannya saat itu belum mencapai tahap tersebut. Begitulah cinta pertama. Lugu, tulus, datang tanpa diduga. Dari momen ini kita diajak untuk mengikuti perkembangan perasaan keduanya hingga akhirnya Na Hee-do dengan mantap mencintai Baek Yi-jin dengan segala risikonya. Tindakan yang cukup berani dilakukan oleh gadis berusia 20 tahun.
Namun bukan tanpa alasan Na Hee-do bisa melakukannya. Sosoknya yang penuh tekad, pekerja keras, dan mandiri seakan mengajak kita untuk berani melakukan suatu hal yang mustahil. Na Hee-do dan semangatnya untuk terus bermain Anggar adalah contoh konkrit bahwa jika kita menyukai sesuatu maka hal yang harus dilakukan adalah menggeluti dan memperjuangkannya hingga akhir.
Hal ini semakin ditunjukkan dengan kehadiran Ko Yu-rim. Rival sejati Na Hee-do yang menjadi tokoh antagonis protagonis yang menyulut api semangat Hee-do. Kita tentu masih ingat betapa dinginnya hubungan keduanya di awal-awal episode, bukan? Tetapi layaknya hubungan pertemanan pada umumnya, perasaan satu sama lain bisa berubah.Â
Perasaan saling membenci antara keduanya diubah manis dengan adanya pengakuan yang justru membuat mereka sadar telah mengenal satu sama lain sejak lama. Kejujuran yang membawa mereka sampai di tahap persahabatan hingga mereka dewasa.
Panduan Twenty Five Twenty One untuk bersiap menuju kedewasaan semakin lengkap dengan kehadiran dua sahabat sejak kecil Ji Seung-wan dan Moon Ji-woong. Sosok perempuan cerdas, berambisi tinggi dan peduli terhadap orang-orang di sekelilingnya seakan pas disandingkan dengan Moon Ji-woong yang tidak terlalu berambisi namun tahu apa yang diinginkan dalam hidup.Â
Dari kelima sosok ini cukup mewakilkan bagaimana watak para remaja yang siap melangkah menuju kedewasaan namun nyatanya tidak.
Jika boleh berpendapat, Twenty Five Twenty One cukup adil dengan memberikan porsi permasalahan pada kelima tokohnya. Sang sutradara, Jung Ji-hyun, seakan ingin memberi gambaran bagaimana setiap watak tersebut menangani permasalahan di hidup mereka dan menjadi seseorang yang dewasa seutuhnya.
Dengan tegas, Ji Seung-wan sebagai sosok alpha-girl mendeskripsikan bagaimana seharusnya keadilan ditegakkan meskipun dirinya merupakan sosok yang disegani di sekolah. Ko Yu-rim mencerminkan bagaimana sebuah mimpi harus diperjuangkan meski keadaan tak mendukung.Â
Moon Ji-woong yang berani berbeda dan tetap setia pada cinta sejatinya. Na Hee-do dengan karakter khasnya menjadi contoh tekad yang besar akan mengantarkan kita menjadi sosok yang besar pula.
Tak ketinggalan, Baek Yi-jin yang paling dewasa di antara keempatnya juga menunjukkan cara bersiap menuju kedewasaan sesuai usianya. Dari permasalahan keluarga, karier, hinga kekalutan memilih antara cinta dan pekerjaannya. Fakta dan realita yang memang sudah seharusnya kita hadapi sebagai bagian dari quarter-life crisis.
Lalu sampailah kita pada akhir cerita yang menggemparkan penontonnya. Teori-teori yang dibuat seakan hanyut begitu saja dengan skenario asli penulis yang menurut saya sangat pas dan masuk akal.
Akhir yang tidak diharapkan terkadang merupakan terowongan terbaik menuju kebahagiaan. Seperti halnya scene perpisahan Baek Yi-jin dan Na Hee-do yang terjadi di terowongan penuh kenangan. Terowongan tersebut layaknya kisah cinta mereka berdua yang harus berjalan ke arah yang berbeda, Namun arah tersebut toh nyatanya mempertemukan mereka dengan cahaya masing-masing.Â
Gelapnya terowongan tersebut mereka tinggalkan untuk sama-sama mencari kebahagiaan dan jati diri.
Twenty Five Twenty One hanya ingin menunjukkan bahwa hidup ini memang tidak sepenuhnya berjalan sesuai keinginan. Terkadang kita berpikir telah memiliki segalanya dan apa yang telah kita miliki akan abadi. Namun dari dialog akhir Na Hee-do menjelaskan bahwa tidak ada yang abadi selain perasaan yang membekas dari momen-momen selama perjalanan hidup kita.
Bahwa cinta pertama adalah latihan terbaik untuk mengenal makna kebahagiaan dan memahami arti perpisahan. Tak apa jika akhirnya kita tidak bersama dengan cinta pertama kita, justru kenangan bersamanya lah yang memberikan kita pelajaran agar lebih baik jika bersinggungan dengan cinta.
Drama tersebut tanpa disadari juga memberi panduan kepada kita tentang merangkul penyesalan. Segala perasaan bersalah nyatanya hanya perlu disadari dan pelan-pelan direlakan seiring berjalannya waktu.
Pada akhirnya, Twenty Five Twenty One sangat layak dinobatkan sebagai sebuah panduan bagi siapa saja yang bingung harus mempersiapkan apa untuk menjadi dewasa. Tekad kuat, berani melangkah dan mengambil resiko, serta persahabatan yang harus dijaga sampai kapan pun adalah beberapa pesan yang bisa kita ambil dari drama ini. Lebih lengkapnya, jangan lupa nonton Twenty Five Twenty One, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H