"Dir, besok lu ambil hutang sama si Risma ?" Ujar Topik salah satu orang tetap di Horse Bar
"La, emang napa Pik? Apa udah jatuh tempo?" Jawab Dirga yang masih menghisap setengah putung rokoknya
"Iya, udah jatuh tempo. Udah lewat 3 bulan. Udah di tagih, alasannya ada aja." Kini Topik yang mematikan putung rokoknya dengan menginjak keras di lantai
"Bukannya gaji udah di potong?" Â Asapnya mengepul di atas wajahnya
"iya udah. Tapi masih kurang."
"Ya percuma juga gue tagih. Dia cuma dapet duit dari kita." Ucapnya sambil meminum segelas alcohol. Nanti gue coba."
"Riska, udah masak belum lo nih? gue laper." Tanya Ibu usainya menghabiskan segelas alkoholnya diruang tamu.
"Bentar lagi Bu, istirahat aja dulu dikamar." Ucapku masih menggoreng ayam
"Buruan ya, gue udah laper. Bentar lagi mau kerja."
Sekarang aku sedang memasak sayur dan lauk kesukaan Ibu. Sayur tumis cha kangkung, sambal ayam goreng, yang juga ternyata sama denganku di tambah dengan tempe mendoan dan sambal terasi. Dan sekarang yang belum hanya mengeluk sambalnya lagi.
"tok,tok,tok,Bu Risma, Bu Risma, tolong buka pintanya." Panggil seseorang dari luar sana, membuatku langsung berenti dan segera mengecek siapa yang memanggil.
"Ka, tolong lo cek siapa tu."
"Iya Bu ini mau kedepan." Ucapku segera mengambil hijab dan segera kesana
"Siapa ya diluar?" tanyaku sambil membuka kunci pintu
"Bu Risma mana? Ada dirumah kan?" Tanya laki laki muda itu mematikan putung rokoknya dengan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya, membuat Riska harus mengibas ngibaskan asapnya ke arah lain.
"Ibu aku? Kamu siapa?"
"Lo anaknya ya?" segera Dirga mematikan rokoknya yang sudah tanggung itu
Belum sempatku untuk memanggilnya, Â aku mengernyit heran karena melihat ibu yang hanya mengintip dibalik hordeng kamarnya. Lalu memberikan isyarat menggeleng geleng kepadaku. Aku yang langsung paham pun, memberikan alasan lain supaya laki laki di depanku ini segera pergi.
"Ibu ga tahu kemana. Dia ga pamit sama aku, soalnya. Kalau boleh tau, ada pesan apa ya? Â Kamu siapanya Ibu aku?"
"Ntar malam gue kesini lagi. Gue mau cabut dulu. Salam buat nyokab  lo, dari Dirga."
Seperginya laki laki yang bernama Dirga itu, segera ku tutup pintu dan masuk ke kamar Ibu untuk bertanya. Tapi yang ada aku hanya mendapat omelan, untuk tidak usah ikut campur urusan ibu. Malam pun tiba, yang harusnya ibu sudah keluar tadi siang tapi memilih pergi sekarang dengan melewati pintu belakang. Dan yang aku harapkan, semoga ibu tidak bertemu lagi dengan si Dirga itu.
Waktu terus berjalan, tapi sudah lebih dari 24 jam ibu belum juga pulang. Tidak seperti biasanya, hingga membuatku harus menghubunginya karena takut terjadi apa apa.
"Maaf, no telepon yang anda tuju sedang tidak aktif" semakin membuatku ketakutan akan terjadi sesuatu hal kepada ibuku diluar sana. Otakku berfikir keras, siapa saja orang yang pernah mendatangi ibuku. Hanya ada 2 orang itu yang aku tahu dan pernah kesini. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghubungi mereka. Dan tanpa basa basi lagi, aku pergi ke Horse bar dimana tempat Ibuku bekerja usai solat isya.
Setibanya disana, aku merasa malu pada diri sendiri, karena seperti melihat diriku sendiri yang melakukan hal seperti itu. Â Tanpa malu dan seakan akan tidak ingat akan kematian. Tapi ketika aku mengingat Ibu kembali, aku hanya bisa tersenyum miris dan berupaya mencari Ibu kembali.
"Bukannya lo anaknya Risma ? mana nyokap lo? Bukannya kerja malah tidur dirumah." Aku yang mendengar penuturan itu pun kaget dan segera menyusuri tempat yang lain, untuk mencari kebenaran yang diucapkan. Hingga tanpa berkata sepatah kata pun, akhirnya aku hanya bisa menangis sekuat kuatnya dan berteriak tanpa perduli orang orang disekitarku.
Hujan tiba dan dengan segera membasahi tubuhku yang merintih kepedihan. Mereka, segera menepi dibawah atap rumah sedangkan aku hanya tertawa dalam derasnya hujan. Aneh, tapi aku sudah tak tahu harus bagaimana lagi. Dunia sudah kejam padaku saat ini, bila Ibuku benar benar tidak kembali lagi.
"pak, pak, pak,pak," terdengar bunyi hentakan sepatu yang berlari ke arahku. Jauh dari sana dia semakin mendekat dengan berlari dibawah jaket yang menutupi kepalanya. Aku tak ambil pusing dan segera beranjak pergi dari sini. Tapi tak ku sangka, pria yang berlari itu berhenti di hadapanku.
"Ngapain sih, minggir lo" ucapku berusaha menjauh darinya. Tanpa menjawab, dia langsung membawaku paksa kearah rumah.
Sepanjang jalan pun tak ada penjelasan kenapa dia melakukan ini padaku. Dan aku sudah terlalu lelah untuk bertanya padanya hingga pada akhirnya hanya kegelapan yang muncul di kepalaku dan membuat tubuhku jatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H