Demokrasi Indonesia: Dari Reformasi Menuju Kualitas yang Lebih Baik
Demokrasi di Indonesia: Perkembangan, Tantangan, dan Harapan
Demokrasi Indonesia telah melalui perjalanan panjang sejak negara ini merdeka pada tahun 1945. Dari sistem pemerintahan yang otoriter pada masa Orde Baru hingga sistem demokrasi yang lebih terbuka pasca-Reformasi, demokrasi Indonesia mengalami banyak perubahan yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Artikel ini akan membahas perjalanan demokrasi di Indonesia, tantangan yang dihadapinya, serta contoh-contoh nyata yang mencerminkan kondisi demokrasi di tanah air. Di akhir artikel, akan disertakan opini mengenai masa depan demokrasi Indonesia.
1. Sejarah Singkat Demokrasi di Indonesia
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal yang terinspirasi oleh model Barat. Demokrasi ini berjalan antara tahun 1945 hingga 1957, dengan sistem multipartai dan pemerintah yang dipilih melalui pemilu. Namun, pada masa ini, sistem pemerintahan seringkali tidak stabil karena banyaknya partai politik yang saling berkonflik, sehingga mempengaruhi efektivitas pemerintahan.Â
Hal ini berujung pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri sistem Demokrasi Liberal dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Soekarno. Demokrasi Terpimpin mengarah pada pemerintahan yang lebih sentralistik dengan kekuasaan yang lebih besar di tangan Presiden.
Setelah kejatuhan Soekarno, Indonesia memasuki era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998). Pada periode ini, meskipun Indonesia tampak stabil secara ekonomi, sistem politiknya sangat otoriter. Kebebasan berpendapat dibatasi, dan banyak kritik terhadap pemerintah ditindak dengan keras. Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai alat legitimasi untuk mengontrol masyarakat dan menghindari perbedaan pendapat.
Pasca-kejatuhan Soeharto pada 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang menandai dimulainya era demokrasi yang lebih terbuka. Pemilu yang lebih bebas dan adil, kebebasan pers, dan penguatan lembaga-lembaga demokrasi, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK), menjadi bagian dari proses reformasi politik Indonesia.
2. Demokrasi di Era Reformasi
Era Reformasi membuka jalan bagi perkembangan demokrasi yang lebih transparan dan partisipatif. Pemilu langsung untuk memilih Presiden pertama kali dilakukan pada 2004, di mana rakyat Indonesia diberikan hak penuh untuk memilih pemimpin negara mereka. Ini adalah tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, mengingat sebelumnya Presiden dipilih oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Beberapa langkah positif yang terjadi setelah Reformasi antara lain:
- Desentralisasi: Pada tahun 2004, Indonesia mulai menerapkan desentralisasi dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. Hal ini bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan mempercepat pembangunan di daerah-daerah.
- Peningkatan Kebebasan Pers: Kebebasan pers di Indonesia meningkat secara signifikan setelah Reformasi. Media massa, baik cetak maupun elektronik, dapat beroperasi tanpa adanya intervensi langsung dari pemerintah, meskipun tantangan seperti berita hoaks dan polarisasi tetap ada.
- Pemilihan Langsung: Pemilihan langsung Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota menjadi salah satu tonggak utama dalam demokrasi Indonesia, memberikan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi lebih langsung dalam memilih pemimpin mereka.
Namun, meskipun demokrasi Indonesia telah berkembang pesat, berbagai tantangan tetap ada, terutama dalam hal kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukan hanya soal pemilu yang bebas, tetapi juga terkait dengan kualitas pemerintahan, transparansi, dan akuntabilitas.
3. Tantangan Demokrasi di Indonesia
Meskipun demokrasi Indonesia berkembang, beberapa tantangan serius masih mengancam kualitasnya. Beberapa tantangan utama yang dihadapi demokrasi Indonesia antara lain:
a. Politik Uang dan Korupsi
Politik uang masih menjadi masalah besar dalam pemilu dan politik Indonesia. Kampanye yang membutuhkan dana besar membuka peluang untuk praktik politik uang yang mengarah pada korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini menghambat proses demokrasi yang sehat dan menciptakan ketimpangan antara calon yang kaya dan yang miskin. Politisi yang terpilih sering kali lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok mereka daripada kepentingan rakyat.
b. Polarisasi Sosial
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami polarisasi sosial yang tajam, terutama terkait dengan identitas agama, ras, dan politik. Hal ini sering tercermin dalam kontestasi politik yang mengedepankan sentimen agama atau etnis untuk meraih suara. Salah satu contoh nyata adalah Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, di mana kampanye politik yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras) mengarah pada ketegangan sosial yang merugikan persatuan bangsa.
c. Kebebasan Berpendapat yang Terbatas
Meskipun kebebasan pers telah meningkat, namun kebebasan berpendapat masih sering dibatasi, terutama di media sosial. Serangan terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat yang mengkritik pemerintah masih terjadi, meskipun dengan cara yang lebih halus, seperti melalui tekanan hukum atau ancaman terhadap kebebasan berbicara.
d. Kualitas Partai Politik
Sebagian besar partai politik di Indonesia masih didominasi oleh elit politik dan cenderung bersifat pragmatis, bukan ideologis. Partai politik sering kali lebih fokus pada keuntungan jangka pendek dan perebutan kekuasaan daripada membangun platform yang jelas untuk kesejahteraan rakyat.
4. Studi Kasus: Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 merupakan salah satu contoh nyata dari tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia, khususnya dalam hal polarisasi sosial dan politik identitas. Pemilu tersebut melibatkan tiga kandidat: Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), yang saat itu menjabat sebagai Gubernur petahana, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Pemilihan ini tidak hanya sekadar kompetisi politik biasa, tetapi juga memunculkan ketegangan sosial dan polarisasi yang kuat.
Isu agama menjadi sangat dominan dalam kampanye, dengan kelompok yang menentang Ahok mengaitkan dirinya dengan pernyataan kontroversial terkait Al-Qur'an yang dianggap menyinggung umat Islam. Konflik ini memunculkan ketegangan antar kelompok agama dan mendorong polarisasi masyarakat yang lebih tajam. Meskipun Ahok mendapat dukungan kuat dari kalangan urban dan progresif, kampanye yang memanfaatkan sentimen agama berhasil mengalahkannya dalam putaran kedua, dengan Anies Baswedan keluar sebagai pemenang.
Kasus ini menunjukkan bagaimana politik identitas dan penggunaan isu agama dalam kampanye dapat merusak integrasi sosial dan memecah belah masyarakat Indonesia, yang seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan pluralisme.
5. Opini: Masa Depan Demokrasi Indonesia
Dalam pandangan saya, meskipun Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam hal demokrasi, kualitas demokrasi tersebut perlu terus ditingkatkan. Demokrasi Indonesia harus lebih dari sekadar pemilu yang bebas; harus ada upaya untuk mengurangi praktik politik uang, memperbaiki kualitas partai politik, dan menjaga kebebasan berpendapat. Di sisi lain, penting untuk menjaga persatuan dan menghindari polarisasi yang dapat merusak integrasi bangsa.
Pendidikan politik yang lebih baik, transparansi pemerintah, serta penguatan lembaga-lembaga negara, seperti KPK dan MK, akan sangat membantu untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Jika Indonesia dapat mengatasi masalah-masalah ini, maka demokrasi di Indonesia akan semakin matang dan dapat memberikan kesejahteraan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
6. Kesimpulan
Demokrasi Indonesia telah melalui perjalanan panjang, dari masa Demokrasi Liberal hingga era Reformasi yang lebih terbuka. Namun, perjalanan tersebut juga diwarnai dengan berbagai tantangan, seperti politik uang, polarisasi sosial, dan kualitas partai politik yang masih perlu diperbaiki. Pemilu yang bebas dan adil hanya sebagian dari demokrasi yang sehat; kualitas pemerintahan dan partisipasi rakyat dalam politik juga sangat penting.
Dengan terus memperbaiki kualitas demokrasi dan mengatasi tantangan-tantangan tersebut, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita demokrasi yang sesungguhnya, di mana keadilan, kesetaraan, dan persatuan dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H