Mohon tunggu...
DWY NOVIALITAYOVANDA
DWY NOVIALITAYOVANDA Mohon Tunggu... Lainnya - كُنْ فَيَكُونُ

Dwy Novialita Yovanda_190402080021

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Pendengar

8 Juni 2021   17:57 Diperbarui: 8 Juni 2021   18:07 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Di atas tanah itu, hamparan gedung-gedung kokoh telah menggapai langit. Lihatlah, dulu bahkan bangunan hanya sebatas rumah anyam setinggi pohon mangga. Deru mesin tengah beradu cepat di atas aspal jalanan bebas hambatan, ber-tan-tin lalu menghardik depannya yang berjalan terlalu lambat. 

Lihat-lihat, bahkan memiliki kuda satu dulu adalah sebuah hal yang istimewa, pemiliknya selalu membanggakan bahwa bisa memperpendek waktu perjalanan yang biasanya seminggu dengan jalan kaki, menjadi tiga hari jika dengan kuda.

Di antara wilayah yang dibilang orang-orang adalah wilayah yang maju. Maju karena gedung tingginya, maju karena perkembangan kendaraannya, atau maju karena individunya menjadi berkualitas dengan banyak gelar serta kemampuan. 

Di tengah lalu-lalang orang yang selalu saja tergesa-gesa, terus bergumam kalau dirinya harus cepat-cepat mencapai kantor atau apalah mereka menyebutnya. Ada satu pohon, yang berdirinya saja dipaksakan. 

Daun-daun coklat berceceran di bawahnya, rontok. Di sekitarannya hanya ada tanah dengan sisa-sisa potongan tumbuhan berserakan, mengering. Beberapa mesin-mesin besar terparkir, salah satunya punya tangan besar untuk mengeruk tanah.

Pohon itu berdiri sendiri, kepalanya hanya menyisakan beberapa daun di ujung dahan. Tak pernah dilirik atau dikasihani. Beberapa orang pernah memerhatikannya, orang-orang itu berpakaian rompi kuning terang dan penutup kepala berwarna senada, apa mereka menyebutnya? 

Ah, topi keselamatan kerja. Mereka berbicara satu sama lain, manggut-manggut, dan menatap pohon yang sudah kropos itu. Lantas pergi hingga beberapa hari tak kembali lagi. Pohon itu hanya membatin, sudah waktunya ya?

Matahari berada di ufuk barat, wajah langit tampak kemerahan. Pohon tua itu mengeluh dalam. Di tengah ramai orang yang berjalan melewatinya, dia sudah berhenti berharap untuk di kasihani. Sendiri, berdiri di hamparan tanah kosong. 

Orang-orang berbaju kuning datang setelah beberapa hari, mereka mulai membersihkan ceceran sisa tumbuhan yang mereka pangkas. Lalu meninggalkan tanah yang kosong, coklat dan bersih, tak ada apapun kecuali pohon yang sudah di ujung masanya itu.

Di tengah kelelahannya menanti waktu akhirnya, dia terkejut. Rasa segar menyentuh ujung-ujung akarnya.

"Ah, sepertinya percuma saja aku memberimu sebotol air." Seorang gadis berdiri di depannya. Dia menumpahkan sebotol air. "Kau tampak rapuh sekali," ucap perempuan itu, tangan putihnya menyentuh lembut kulit batang yang sudah pecah-pecah serta mengelupas. Untuk pohon yang sudah di akhir masanya, air itu hanya sebatas memperpanjang sedikit waktunya.

"Terimakasih," ucap si pohon lirih.

Perempuan itu tersenyum, mata coklatnya menatap sendu, lantas berdiri bersandar pada pohon tua itu. "Aku tak melakukan hal yang berarti."

Pohon itu sedikit bergoyang, terkejut. Gadis itu, sepertinya bisa mendengar, pikirnya. Kemudian lengang, keduannya diam. Matahari sudah meninggalkan kaki langit, lampu-lampu berjajar di bahu jalan dinyalakan, tampak terang. Bulan purnama bertengger, tapi entah kenapa sepertinya bintang enggan menemaninya malam ini.

"Padahal di sini dulu, aku sering bermain lompat tali. Biasanya aku membuatnya bersama teman-teman dari karet gelang," tiba-tiba perempuan itu berbicara, memecah hening. "Dan tempat kakak bermain bola hingga petang, dia selalu saja dimarahi bunda kalau pulang kesorean."

Suara klakson mobil menyahut dari arah jalan raya, orang-orang berseru marah karena mereka tidak berjalan sama sekali. Bahu jalan juga ramai dengan orang-orang yang berjalan tanpa mengurangi sedikit kecepatan langkahnya. Ini memang jam pulang kerja, tapi kenapa orang menjadi selalu terburu-buru? Perempuan itu menatap hiruk pikuk di depannya, "sekarang di depan lapangan lama ini jadi jalan raya, padahal dulu hanya tanah yang jika hujan jadi kubangan lumpur."

"Kalau kau berbicara tentang belasan tahun lalu, sudah banyak perubahan terjadi, tidak ada lagi lapangan bermain atau jalan tanah yang kau bicarakan," pohon tua akhirnya menanggapi perkataan perempuan yang bersandar padanya.

Perempuan itu menyeringai, "ya, tak ada lagi. Itu sudah jadi masa lalu kota ini."

Lantas kembali terdiam, mereka berdua menatap pemandangan kota yang masih ramai meski matahari telah beranjak sejak tadi, perempuan itu menyampirkan anak rambut di dahinya, lantas duduk di atas akar pohon tua yang mencuat. "Orang-orang berkembang dengan cepat, mereka selalu berlomba untuk menjadi yang terbaik," mulut perempuan itu kembali berbicara.

Dahan pohon tua itu bergetar sedikit mendengarnya, "menjadi yang terbaik?" Mungkin jika saja pohon punya dahi, dahinya sekarang tengah berkerut.

Perempuan berambut gelombang itu menganggukan kepala, menunjuk langit malam yang kosong hanya bersisa bulan, tanpa bintang maupun awan. "Dulu menyentuh langit adalah hal yang mustahil, menyentuh bulan adalah hal yang tak mungkin. Tapi lihat, sekarang orang bahkan bisa mencapai planet Mars."

"Mars?" Pohon itu sekali lagi tak mengerti.

"Manusia semakin pintar, bahkan tiap tahun selalu saja ada hal baru yang mereka ciptakan," ucapnya. Desir angin malam membelai lembut, satu daun dari beberapa yang tersisa di pohon tua itu jatuh, tepat di kepala perempuan yang tengah memandang langit. Dia memegannya, memperhatikan daun yang sudah kecoklatan itu, menatap getir. " Sayang, mereka juga semakin pintar membodohi dunia. Agar semakin maju katanya, omong kosong."

Pohon itu mulai mengerti tentang apa yang dibicarakan. "Kau membicarakan tabiat kotor para manusia?"

Sekali lagi, kepala perempuan itu mengangguk. "Kau kesal terhadap mereka?"

Pohon terdiam sejenak, ingatan masa lalunya sedang menyeruak masuk. "Jika kau datang lebih cepat, setidaknya beberapa tahun lalu. Saat masih banyak kawanku hidup, meski dengan menyokong paksa tubuhnya. Tiap hari, kau akan dengar keluhan dan kekesalan mereka, gadis manis."

Tiba-tiba perempuan itu tertawa. "Aku sudah kenyang mendengar semua keluhan dari yang lain. Bahkan sejak aku bisa mengingat. Udara saja sekarang tengah mengumpat karena tubuh mereka terkotori buangan para mesin jalan raya itu."

Ranting pohon sedikit bergoyang mendengar gurauan perempuan bermata coklat itu. "Kalaupun kesal, apa yang bisa aku perbuat? Pohon tua ini tak memiliki kuasa apa-apa."

Tawa tadi seketika terhenti, perempuan itu kembali terdiam. Benar saja, apa yang bisa dilakukan oleh pohon tua yang bahkan tak bisa berpindah dari tempatnya sekarang. Dia hanya bisa diam ketika satu persatu kawannya dibabati. Melihat ketika perlahan hamparan tanah berubah menjadi aspal, bangunan bangunan tinggi mulai menggantikan luasnya hijau. Apa yang bisa dilakukan oleh pohon tua itu? Dia hanya bisa jadi saksi bisu betapa manusia benar-benar merubah tatanan dunia, betapa mereka mulai lupa untuk membatasi diri.

"Mereka benar-benar bodoh ya, menggali lubang diri sendiri." Perempuan itu mendengus, dia nampak kesal.

"Tapi, bukankah kau termasuk salah satu dari mereka, para manusia?"

Tawa tanggung terdengar. "Jangan masukkan aku dalam urutan bedebah-bedebah itu.

Mereka yang telinganya benar-benar rusak ketika ada seruan untuk berhenti membodohi dunia. Oh ya dan ingat, aku memang manusia, dalam kutipan 'berbeda'." Mulut perempuan itu manyun sebentar, dia masih memegang daun kecoklatan tadi. "Kenapa kalian menerima begitu saja?"

"Kau tau tentang pesan langit pada dunia, pada bumi ini? Perempuan itu menggeleng, matanya berbinar penasaran.

"Gadis pendengar alam, sesekali kau pejamkan matamu. Jangan dengarkan alam untuk saat ini, dengarkan langit. Apa yang membuat kami hanya bisa diam, apa yang membuat bumi tetap tak bergeming disakiti, apa yang membuuat dunia tetap menjalani kehidupannya meski perlahan rusak oleh manusia." Pohon itu berkata lembut pada pperempuan yang kini diselumuti rasa ingin tahu.

"Pertama, karena masih ada orang seperti kau di antara para bedebah itu. Langit bilang, masih ada kesempatan bila ada orang-orang seperti kau, yang masih peduli."

"Aku?" Perempuan itu menanti kelanjutan penjelasan.

"Pejamkan matamu gadis manis, dengarkan langit sekarang berbicara, jangan hiraukan keluhan alam saat ini, atau desing ramai perkotaan malam ini," suruh pohon itu.

Perempuuan itu memejamkan mata, menutup semuua kebisingan yang dia dengar. Dia tidak menghiraukan alam yang tengah berkeluh kesah, atau keramaian kota dengan klakson para mobil dan derap kaki orang-orang di bahu jalan. Dia berfokus untuk mendengar langit.

Saat itulah, seperti menggelitik telinga. Langit tengah berbicara padanya.

"Dia lebih tahu kapan mereka perlu beristirahat. Kapan mereka perlu membuat bungkam semua orang yang kau sebut bedebah tadi gadis manis, kami semua menunggu perintah-Nya."

Seketika perempuan itu tertegun. Sesaat jantungnya berdegup kencang. Dia kehilangan kata-kata.

Pohon hanya menatap diam perempuan yang bersandar padanya itu. "Sekarang, karena alasan pertama adalah masih adanya orang seperti kaua, jagalah dunia yang kau tinggali saat ini, gadis manis. Mungkin saat itu tiba, dunia lebih mengenaskan dari sekarang, jadi aku harap kau tak perlu bertemu dengan masa itu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun