Buku Shepard dan Pence mengulas berbagai hal tentang kegiatan DAIP dan proses pendampingan korban KDRT. Di situ pusatnya cerita KDRT.
Buku itu sekaligus membantah teori, bahwa pelaku KDRT adalah orang dengan gangguan jiwa. Minimal, orang yang tidak mampu menguasai emosi. "Teori-teori kuno itu, berdasar hasil riset, ternyata tidak benar. Hampir semua pelaku KDRT adalah orang normal, dengan kendali emosi yang normal."
Diulas, ada teori yang menyatakan, pelaku KDRT (mayoritas pria) dibesarkan dari keluarga yang KDRT pula. Itu tidak benar. Karena, tidak semua anak yang dibesarkan begitu, kelak setelah dewasa melakukan KDRT atau jadi korban KDRT.
Juga tidak benar, bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa. Atau mabuk alkohol, atau mabuk narkoba. Dua zat memabukkan itu hanya jadi alasan bagi pelaku. Atau pemicu ledakan emosi.
Yang benar, KDRT soal kontrol. Dalam banyak budaya, pria adalah pemimpin wanita. Pemegang kendali. Budaya ini jika ditafsirkan pria secara berlebihan, maka menghasilkan sikap, bahwa wanita harus dalam kendali pria. Isteri harus bisa diatur suami.
Ketika terjadi perbedaan pendapat suami dan isteri, maka dianggap wanita harus mengalah kepada suami. Anggapan itu bisa, dalam kurun waktu tertentu, dilakukan wanita. Kalau terus-menerus terjadi, isteri bakal menahan kekesalan. Tapi, suatu saat bakal meledak jadi pemberontakan.
Ledakan kemarahan isteri, ditanggapi suami sebagai pembangkangan atas kendali. Suami merasa kehilangan kendali. Sehingga suami melakukan tindak kekerasan psikologis atau fisik. Jika terjadi kekerasan psikologis atau fisik, otomatis terjadi pembalasan, walaupun dalam diam.
Balas-berbalas invasi psikologis suami-isteri, menghasilkan ledakan lebih besar lagi: Pertengkaran. Di situlah terjadi KDRT.
DAIP aktif membuka konsultasi gratis, sebelum emosi pasutri meledak. Di sana dilakukan pendampingan, membuka komunikasi pasutri, dimediasi petugas DAIP.
Di Indonesia, pihak ke tiga biasanya anggota keluarga (bisa dari pihak suami atau isteri). Pihak ke tiga yang tidak netral, atau dicurigai tidak netral, bakal percuma. Sebab, malah mengobarkan konflik. DAIP lebih tepat, karena pihak luar keluarga yang netral.
Fungsi mediator inilah yang tidak ada di Indonesia. Mengakibatkan banyak KDRT. Sampai pembunuhan.