Mohon tunggu...
Djono W. Oesman
Djono W. Oesman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pemerhati masalah sosial

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Trauma Masa Kecil, Pembunuh Meringis Tak Menyesal

24 Oktober 2022   12:28 Diperbarui: 24 Oktober 2022   13:14 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi; Reza Alfian Maulana, Harian Disway

Tersangka pembunuh, Rudolf Tobing (36) punya trauma. "Waktu kecil dipukuli orang tua," kata Dir Reskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi ke pers, Sabtu (22/10). Kasihan. Warning kita semua.

Itu hasil tes psikologi oleh tim ahli psikologi Polda Metro Jaya. Bahwa Rudolf tidak gila. Melainkan punya trauma masa kecil.

Kombes Hengki: "Untuk pemeriksaan psikologis sudah dilakukan tim psikologi Polda Metro Jaya, hasil sementara pemeriksaan baru disampaikan kepada kami. Bahwa pelaku mempunyai trauma masa kecil."

Maksudnya trauma, ya... itu tadi: Sering dipukuli ortu. Tapi tidak dirinci, kualitas dan kuantitasnya. Demi etika. Pernyataan itu bisa sebagai peringatan bagi para ortu dalam mendidik anak-anak.

Akibatnya, emosi Rudolf gampang meledak-ledak. Dalam kasus itu, ia berteman dengan tiga orang.  Ade Yunia Rizabani atau Icha (36) dan dua pria, berinisial H serta S.

Rudolf mengaku ke penyidik, semuala ia niat membunuh H. Tapi H berada di Semarang, dan Rudolf kesulitan melacak. Sedangkan, S berada di Bali, juga sulit dilacak oleh Rudolf.

Maka, ia membunuh Icha, Senin, 17 Oktober 2022 di Apartemen Green, Jalan Pramuka, Jakarta Timur. Dicekik. Mayatnya dibungkus plastik hitam, dimasukkan troli, didorong masuk lift,   akhirnya dibuang ke kolong Tol Becakayu, Jalan Kalimalang, Bekasi.

Saat mendorong troli isi mayat di lift itulah, Rudolf meringis ke kamera CCTV. Ia tidak menyesal. Kepada polisi ia malah mengaku: Happy. Bahkan ia mengaku, niat membunuh H dan S (belum sempat dilakukan).

Ia ditangkap polisi, Selasa, 18 Oktober 2022 di Pondok Gede, Bekasi, ketika hendak menjual laptop milik Icha.

Pemarah meledak-ledak. Tidak menyesal. Malah happy. Dengan trauma di masa kecil.

dr Hervey Cleckley dalam bukunya, "Mask of Sanity" (1941) menyebutkan, pembunuh yang punya emosi meledak-ledak, tidak menyesali pembunuhannya, punya trauma masa kecil, digolongkan sebagai sosiopat. Atau psikopat.

Kedua jenis gangguan jiwa itu, sebelas-dua belas. Semacam kakak-adik, tapi tidak sama. Walaupun mirip.

Hervey Cleckley adalah dokter jiwa Amerika Serikat, lahir tahun 1903, meninggal 1984. Cleckley adalah pelopor penelitian ilmiah psikologi, fokus pada psikopati. Istilah psikopat, pertama kali digunakan oleh psikolog dan kriminolog, bersumber dari buku Cleckley: "Mask of Sanity".

Psikopati menjadi dasar dari kriteria selanjutnya, yang digunakan dalam berbagai klasifikasi, yang kemudian dikembangkan psikolog dan kriminolog. kemudian disebut DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders).

Dengan demikian, Cleckley adalah penggagas studi psikopati, dan setelah dia, muncul generasi psikolog - kriminolog dunia terkenal selanjutnya, seperti Dr David R. Blackburn dari Texas, AS.

Juga, dikembangkan oleh Prof Robert D. Hare, psikolog kriminal Kanada, guru besar psikopatologi di University of British Columbia di British Columbia, Kanada.

Perbedaan dan persamaan psikopat dengan sosiopat, bisa ditengok dari  tigaindikator, berikut:

1) Kemampuan Sosialisasi

Seorang sosiopat umumnya sulit berbaur dengan masyarakat. Mereka acuh pada orang lain. Sering menarik diri dari lingkungan sekitar.

Namun, mereka punya ego sangat tinggi. Menganggap dirinya adalah segalanya. Orang lain, sama sekali tidak penting.

Hal inilah yang akhirnya membuat sosiopat bisa berbuat jahat demi kepentingan pribadinya, tanpa mempedulikan hak orang lain.

Seorang psikopat bisa berbaur dan menempatkan diri dalam lingkungan sosial. Masyarakat memandangnya sebagai orang normal. Kecerdasannya memikat dan memanipulasi, kerap membuat banyak orang lengah.

2) Arogansi dan Kontrol Diri

Sosiopat, sangat benci yang berbau sosial. Penyendiri. Emosional meledak dibanding psikopat. Dalam melakukan aksi kejahatan, sosiopat cenderung spontan. Minim persiapan.

Psikopat, kebalikannya. Punya kontrol diri yang baik. Mereka penjahat berdarah dingin. Punya naluri predator, dan menyerang secara proaktif. Psikopat cenderung tenan. Diam-diam merencanakan kejahatannya dengan baik dan detil.

3) Penyebab

Sosiopat terjadi akibat banyak faktor. Bisa cacat otak bawaan, ditambah pola asuh ortu tidak tepat. Sering dipukuli ortu. Juga bergaul dengan anak-anak nakal, yang berpotensi jadi penjahat. Tapi, sulit menentukan satu hal sebagai penyebab pasti.

Psikopati umumnya disebabkan oleh ketidakseimbangan genetik dan reaksi senyawa kimiawi dalam otak. Sehingga tidak punya kerangka berpikir etika dan moral.

Intinya, sosiopat lebih akibat sosio (interaksi dengan orang lain, termasuk ortu). Psikopat akibat 'sesuatu' yang mnyimpang dalam otak.

Psikopat tidak takut melakukan kejahatan, dan kalau sudah melakukan, tidak menyesal. Sebab, lesi pada bagian otak (amigdala) yang berfungsi menimbulkan rasa takut dan penghakiman, tidak ada. Blong.

Orang normal membunuh, takut, gemetaran, berkeringat dingin, atau jantung berdegup kencang. Sedangkan, psikopat tenang saja. Baik sebelum atau sesudah membunuh.

Psikopat tipe orang yang terampil dan diterima secara sosial. Mereka menggunakan kemampuan sebagai senjata sosial untuk mencapai tujuan.

Mereka telah mempelajari 'aturan main sosial' untuk dapat lebih dekat dengan orang-orang, yang dari mereka dapat diperoleh manfaat oleh psikopat.

Bagi psikopat, hubungan antar manusia tidak diperlukan. Hubungan sosial boleh, tetapi hanya yang memiliki kegunaan untuk menyediakan, apa yang psikopat minati untuk diperoleh.

Psikopat rajin mempelajari norma-norma sosial dan interaksi sosial, demi mengambil keuntungan dari orang-orang dan menggunakan, memanipulasi, menganiaya, bahkan membunuh mereka sesuka hati.

Terus, di mana posisi Rudolf? Mengapa ia tidak menyesal, dan mengaku punya trauma masa kecil? Apakah ia masuk dalam teori Hervey Cleckley?

Pastinya, yang paling tahu adalah ia sendiri. Dan penyidik. Juga tim psikolog Polda Metro Jaya.

Tapi, seperti biasa, psikologi pelaku kejahatan di Indonesia tidak pernah diungkap. Padahal, kalau masyarakat bisa belajar, maka kejahatan bisa dicegah sebelum terjadi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun