Gaya 'mlipir' KPK menyidik perkara Lukas Enembe, tertangkis hukum adat Papua. KPK kerepotan memeriksa Enembe, lalu 'mlipir', hendak memeriksa isteri dan anak Enembe. Tapi hukum adat Papua, melarangnya.
Mlipir, Bahasa Jawa artinya berjalan di pinggiran. Dengan hati-hati. Berkonotasi mengendap-endap. Kata dasarnya plipir, berarti pinggir. Dan, gaya begini, baru kali ini dilakukan KPK.
Soal, rencana KPK memanggil paksa tersangka korupsi Lukas Enembe karena mangkir di dua kali dipanggilan, sudah... berlalu. Jadi masa lalu.
Sebab, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, di konferensi pers di Jakarta, Senin, 19 September 2022, mengatakan, KPK tidak akan menjemput paksa Enembe.
Alexander: "Kita lihat situasi. Tidak mungkin kan nanti kita paksakan, kalau di sana situasinya seperti itu."
Dilanjut: "Kita tidak ingin ada pertumpahan darah, atau apa pun kerusuhan, sebagai akibat dari upaya-upaya yang kita lakukan."
Kelihatan, KPK sudah mengukur kemungkinan yang bakal terjadi, seandainya Enembe dijemput paksa. Walaupun, jemput paksa dalam perkara ini, sah atas nama hukum.
KPK sepertinya sudah tahu, rumah Enembe di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, kini dijaga ketat puluhan pemuda. Hasil pantauan pers, Sabtu, 1 Oktober 2022, rumah di pinggir jalan poros itu dijaga, tiga lapis.
Lalu KPK 'mlipir' memanggil isteri dan anak Enembe, Yulce Wenda, dan Astract Bona Timoramo agar datang ke Kantor KPK di Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2022. Untuk diperiksa sebagai saksi perkara Enembe.
Tapi mereka mangkir tanpa pemberitahuan.
Alexander Marwata menyatakan, jika sekali  lagi Yulce dan Astract tidak menghadiri undangan KPK, mereka bakal dijemput paksa. "Itu sudah sesuai KUHAP," ujar Alexander.
Itu, tertangkis hukum adat Papua. Seperti dikatakan kuasa hukum Enembe, Aloysius Renwarin, kepada pers di Jayapura, Senin, 10 Oktober 2022, begini: