Mohon tunggu...
Dwi IndahTrisnawati
Dwi IndahTrisnawati Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa Hubungan Internasional

Hai, saya Indah. Saya suka menulis, membaca, mendengarkan musik, dan humor.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melihat Secara Holistik Hubungan Deradikalisasi dan Reintegrasi

25 Desember 2020   14:32 Diperbarui: 25 Desember 2020   18:23 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Dwi Indah Trisnawati 

Secara umum telah kita ketahui bahwa secara holistik deradikalisasi tidak dapat dipisahkan dari apa itu terorisme dan radikalisasi. Namun, dalam proses deradikalisasi itu sendiri juga erat kaitannya dengan proses reintegrasi. Adapun sebelum penulis membahas tentang hubungan deradikalisasi dan reintegrasi dalam konteks ex-combatants atau mantan pelaku terorisme disini penulis ingin memperjelas bahwa deradikalisasi berbeda dengan counter-radicalization yang secara sederhana dipahami sebagai upaya yang sama-sama bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan untuk memutus rantai terorisme. 

Deradikalisasi sebagai sebuah konsep pada dasarnya muncul sebagai respon terhadap terorisme yang dianggap berawal dari radikalisme yang kemudian konsep ini digunakan untuk mengacu pada upaya-upaya mengubah ideologi dan persepsi atau pola pikir radikal yang membawa seseorang ke dalam kelompok ekstremis dan melakukan tindakan terorisme. (Sumarwoto et al, 2020). 

Sementara counter-radicalization menurut Horgan dalam tulisan Tom Pettinger (2017) yang berjudul De-radicalization and Counter-radicalization: Valuable Tools Combating Violent Extremism, or Harmful Methods of Subjugation? menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara apa yang disebut deradikalisasi dan counter-radicalization.

Dalam tulisannya, Tom Pettinger (2017) menjelaskan berdasarkan Horgan bahwa counter-radicalization adalah proses pre-crime atau diartikan sebagai proses untuk mencegah radikalisasi terjadi di awal dengan menangani individu-individu yang memiliki ideologi radikal, atau mereka yang dianggap mengembangkan ideologi radikal. Proses ini kebanyakan beroperasi di luar penjara dengan skema yang menargetkan warga sipil untuk mencegah ekstremis tumbuh di masyarakat. 

Sedangkan deradikalisasi merupakan kebalikan dari counter-radicalization, yaitu proses post-crime yang beroperasi di dalam penjara dengan skema yang menargetkan para residivis teroris atau mantan militan yang dihukum karena melakukan kejahatan yang bertujuan untuk mengubah mereka secara psikologis (Pettinger, 2017). 

Istilah deradikalisasi jika ditarik secara garis definisi adalah sebuah konsep yang dimaknai sebagai proses yang menargetkan pada penggeseran kognitif ex-combatans atau ex-terrorists dari pandangan ekstrem mereka seperti pemikiran yang mendukung kekerasan sebagai alat untuk berprestasi dan mencapai tujuan politis yang diinginkan (Pagano, 2020), atau mengambil definisi dari Horgan (2009) dalam karyanya Walking Away from Terrorism yang menjelaskan bahwa deradikalisasi sebagai:

"the social and psychological process whereby an individual's commitment to, and involvement in, violent radicalization is reduced to the extent that they are no longer at risk of involvement and engagement in violent activity" (Horgan, 2009, hal. 153).

Ini menunjukkan bahwa proses deradikalisasi yang secara substantif menempatkan reformasi ideologis kepada para militan atau ex-combatans agar meninggalkan ideologi radikal yang sebelumnya mereka anut secara keseluruhan dan melepaskan diri (disengagement) atau memutus keterikatan sepenuhnya dari kekerasan sebagai dasar langkah praktis dari proses deradikalisasi untuk meminimalisir residivisme teroris. Hal ini dapat diartikan bahwa proses deradikalisasi berkaitan dengan segala upaya membawa perubahan pada sikap dan keyakinan yang dianut oleh orang-orang yang membenarkan paham radikal dan kekerasan untuk mendapatkan tujuan (Zahid, 2016). 

Oleh karena itu, deradikalisasi dalam praktiknya ditempuh dengan pendekatan interdisipliner dengan kerangka yang menyeluruh yang artinya melibatkan sudut pandang dari berbagai bidang studi seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya. 

Banyak pemerintah negara di dunia saat ini melakukan berbagai model deradikalisasi untuk menderadikalisasi mantan kombatan atau residivisme teroris di antaranya dengan memberikan layanan psikologis seperti rehabilitasi dan konseling, bantuan dalam pekerjaan, pendidikan agama, dan dukungan untuk keluarga narapidana (Marsden, 2015). Pendekatan deradikalisasi yang cenderung "soft" ini menunjukkan bahwa deradikalisasi memiliki proses yang panjang dan biaya yang tidak sedikit karena membutuhkan lebih banyak sumber daya (Zahid, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun