Islam memandang manusia sebagai makhluk istimewa yang diberi amanah sebagai khalifah di bumi, dengan tanggung jawab menjaga, memakmurkan, dan melestarikan alam. Manusia, dalam perspektif Islam, tidak hanya dipandang sebagai makhluk biologis tetapi juga sebagai haywan natik ( ) atau "makhluk rasional." Dalam pandangan filosofis ini, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan berpikir dan kesadaran moral, sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles sebagai makhluk yang mampu berpikir dan merasakan secara sadar.
Sejak awal, Al-Qur'an telah menjelaskan proses penciptaan manusia dan tujuan keberadaannya di bumi. Dalam Surah Al-Mu'minun (23:12-14), Allah SWT menggambarkan asal-usul manusia:
"Dan demi (keagungan dan kekuasaan kami)! Sungguh, kami telah menciptakan manusia dari saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian, kami menjadikannya nutfah (mani) dalam tempat yang kukuh (rahim).Kemudian, kami menciptakan nutfah itu 'alaqoh, lalu kami menciptakan 'alaqoh itu mudhghah (yang merupakan sesuatu yang kecil sekerat daging), lalu kami menciptakan mudhghah itu tulang- belulang, lalu Kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging. kemudian, kami mewujudkannya (menjadikan tulang yang terbungkus daging itu) makhluk lain (yang sepenuhnya berbeda dengan unsur-unsur kejadiannya yang tersebut diatas). Maka, maha banyak berkah Allah, lagi Pencipta yang terbaik."
 Kajian mikroskopik modern menunjukkan perkembangan dalam kandungan ibu sama seperti yang diterangkan pada ayat ini, yaitu pembentukan tulang rawan kemudian sel otot mulai menempel, dan membungkus tulang. Islam mengatur segala bentuk prilaku dan perangai manusia. Di antara yang paling fundamental dalam ajaran islam adalah akhlak. Nabi Muhammad SAW diutus dengan misi utama untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia.
"Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."Â
Selain mengajarkan akhlak, Islam juga mengatur prilaku kesaharian manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi.
Islam juga menyinggung sedikit banyak tentang bagaimana mengola emosi dan meredam stress. Pada kajian Islam kita bisa jumpai satu cabang ilmu yakni Tasawuf sebagai wadah untuk membersihkan hati dan jiwa dalam rangka bentuk kepedulian islam kepada kesehatan mental yang dewasa ini menggerogoti para generasi muda.
Peran manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30:
Â
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata, 'Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dalam ayat ini, Allah SWT menetapkan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menurut para ahli tafsir, istilah "khalifah" di sini merujuk pada manusia yang diberi amanah untuk memelihara dan mengelola bumi dengan bijaksana. Tugas ini bukan hanya tentang pemanfaatan sumber daya, tetapi juga menjaga keseimbangan, mencegah kerusakan, dan mempromosikan kebaikan. Lebih lanjut, dalam Surah Hud ayat 61, Allah SWT menegaskan tanggung jawab manusia sebagai pemakmur bumi:
Â
"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya."
Perintah ini tidak hanya terbatas pada pembangunan fisik, tetapi mencakup segala upaya untuk meningkatkan kualitas hidup di bumi dan menjaga keseimbangan ekosistem. Alam semesta diciptakan untuk melayani manusia, tetapi manusia bertanggung jawab untuk mengelolanya dengan bijak, menjaga kesejahteraan semua makhluk, dan memastikan kelestarian lingkungan sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta.
Tugas kita memakmurkan alam semesta ini tidak bisa dilakukan secara individu saja akan tetapi butuh adanya kolaborasi antar individu manusia itu sendiri. Dan di dalam islam seruan untuk berkolaborasi itu sudah ada:
Â
"Dan hendaklah ada di antara kamu (segolongan) umat yang mengajak kepada kebajikan, menuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung".
Makna yang dimaksud dari ayat ini adalah hendak ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang bertugas untuk mengemban urusan tersebut, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini. (Ibn Katsir).
Maka dengan tegas dan jelas bahwa membentuk kelompok atau bermasyarakat dalam pandangan islam itu harus tetap berasas amr ma'ruf dan nahi munkar.
Para ahli antropologi, termasuk Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens, menjelaskan bahwa kemampuan manusia untuk bekerja sama secara kolektif adalah hal yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya. Islam telah menetapkan pedoman tentang bagaimana manusia berinteraksi dan membangun kehidupan sosial, agar tercipta hubungan yang harmonis dan memudahkan mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Prinsip dasar bermasyarakat menurut tuntunan Islam:
1. Saling menghargai satu sama lain
Â
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti."
Dari ayat ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwasannya Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal, menghargai dan saling menolong. Pangkat, kekayaan, keturunan itu tidak akan menjadikan kita mulia dimata Allah, karena manusia yang paling disisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
2. Bersifat adil dan bijaksana.
Â
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Ayat ini memberikan tuntunan agar umat Islam berlaku adil, tidak hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada siapa saja walaupun kepada orang-orang yang tidak disukai.Â
3. Tidak saling berburuk sangka atau curiga (Harus menanamkan kepercayaan satu sama lain).
"Jauhilah dari kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta pembicaraan. Janganlah kalian saling memata-matai, saling mencari aib orang lain, saling berlomba-lomba mencari kemewahan dunia, saling dengki, saling memusuhi, dan saling memutuskan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara."
Atas dasar inilah manusia bisa hidup dengan terus melakukan perbaikan bersama. Berfokus pada apa-apa yang disepakati dan berlapang dada pada sesuatu yang diperbedakan. Siogianya, hal-hal yang disepakati bersama jauh lebih banyak dari hal-hal yang diperbedakan. ini semua bisa terjadi dengan saling mempercayai satu sama lain.
"Kerja sama dalam hal yang kita sepakati dan saling memaafkan dalam hal yang kita perselisihkan."
4. Peka kepada sekitar.
Sebagai bentuk cek and balancing dalam masyarakat harus peka terhadap sekitar. misalkan dengan menegur jika ada yang berbuat kemungkaran. Demikian tuntunan Nabi Muhammad SAW:
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]
Demikian mestinya bermasyarakat yang diajarkan islam agar dapat mengindahkan perintah tuhan yang menugaskan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H