Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Firmansyah
Dwi Wahyu Firmansyah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seorang penulis lepas

Gamers, Firearms Enthusiast, Techie

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PGRI: Tantangan Sebuah Pergerakan Penyejahteraaan dalam Pendidikan

20 Juli 2024   14:59 Diperbarui: 20 Juli 2024   15:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru honorer yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (15/9/2015)

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan sebuah organisasi yang berdiri di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda dan resmi disebut demikian pada 1932 setelah adanya kongres guru yang melahirkan sebuah organisasi yang menaungi para guru serta tetap eksis hingga sekarang. Organisasi ini merupakan organisasi independen non-politik, yang keanggotaan terbuka untuk semua orang, tanpa memandang latar belakang pendidikan, status profesional, tempat kerja, jenis kelamin, afiliasi agama, dan faktor lainnya selama dirinya adalah seorang guru ataupun tenaga pendidik suatu jenjang pendidikan (SD-Perguruan Tinggi). PGRI berperan strategis dalam mereformasi pendidikan nasional bagi anggotanya. PGRI mempunyai peran dan tanggung jawab penting dalam  upaya mewujudkan dan melindungi hak asasi manusia dan harkat dan martabat guru, khususnya dalam aspek profesi dan kesejahteraannya.

Namun dalam perjalanannya, organisasi PGRI mendapati berbagai halangan dan tantangan serta mengalami hambatan sebab kelemahan organisasi itu sendiri. Pertama, anggota PGRI pada saat ini terdapat 2.452.606 dari total populasi sebesar 3.749.296 juta guru di Indonesia dan untuk pengurus PGRI pusat terdapat 11 ketua umum. PGRI menerima anggota secara unitaristik yaitu tanpa memandang perbedaan ijazah, tempat kerja, kedudukan, agama, suku, golongan, gender, dan asal usul. Sehingga anggota PGRI memiliki keberagaman dan perbedaan tiap individu. Dengan begitu, saat adanya pendapat atau argumen mengenai kebijakan ataupun kasus kepentingan lainnya, hal tersebut mudah untuk terpicu nya perbedaan pendapat antar individu dikarenakan bedanya latar belakang, pemikiran, dan intelektual tiap individu. Oleh karena itu, perbedaan pendapat dalam lingkup internal dapat melemahkan organisasi PGRI dalam melakukan tindakan atau mengambil kebijakan. Lalu pada zaman orde baru PGRI dapat menduduki jabatan di pemerintahan, anggota PGRI dapat mencalonkan sebagai anggota DPR atau yang lainnya. Sehingga penyampaian mengenai masalah kesejahteraan guru dan mutu pendidikan dapat tersampaikan lebih mudah langsung kepada presiden dan jajarannya. Namun hal itu saat ini sudah berubah dikarenakan adanya konflik kepentingan, regulasi pemerintahan, dan kebijakan PGRI. Kebijakan yang dikeluarkan oleh PGRI mengenai anggota yang mencalonkan sebagai pejabat pemerintahan diharuskan mengeluarkan diri dari keanggotaan.

Kedua, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tiap wilayah memiliki nominal yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial dan demografis, kebutuhan, dan pendapatan daerah setiap wilayah. APBD dalam organisasi PGRI memiliki dampak yang signifikan untuk peningkatan kesejahteraan dan profesionalisme guru, dana APBD dapat dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan melalui pelatihan, seminar, pengadaan fasilitas pendidikan, dan pemberikan insentif untuk guru. Selain itu, kebijakan dan tindakan yang diberikan pemerintah kepada tenaga kependidikan sangat dapat melemahkan PGRI sebagai naungan dari para guru di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam pengangkatan dan penempatan guru di setiap wilayah sangat menentukan keadilan bagi para guru. Sehingga, dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya pemerintah tentu harus berkomitmen dalam menyejahterakan tenaga pendidik yang ada di Indonesia, karena untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas hal terpentingnya memberikan tenaga pendidik yang berkualitas dengan salah satunya strateginya yaitu menyejahterakan profesi guru.

Ketiga, tentang kualitas guru yang dimiliki Indonesia. Guru honorer yang mengalami kondisi sulitnya untuk mendapatkan penaikan jabatan menjadi P3K atau PNS yang dapat dikalahkan oleh lulusan sarjana muda yang sudah P3K atau PNS karena lebih unggul nya dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Sedangkan, untuk para guru honorer yang sudah tua lebih memahami bagaimana pendekatan terhadap siswa namun kurang unggul dalam menggunakan IPTEK sehingga yang memiliki kesempatan untuk memiliki pangkat sebagai PNS dan P3K yang berasal dari lulusan sarjana muda. Karena itu PGRI berusaha meningkatkan kualitas para pendidik dan profesionalitas dalam mendidik dan mengajar. PGRI menyediakan berbagai pelatihan-pelatihan dalam meningkatkan profesionalitas seorang guru. Namun, pada kenyataannya menyelenggarakan pelatihan untuk memperbaiki kualitas guru bukan hal yang mudah. Mengatur jumlah guru yang sangat banyak dengan dana yang tersedia terbatas menjadikan hal ini sebagai sebuah kendala dalam menyelenggarakannya.

Keempat, adalah tentang insentif atau gaji yang diterima oleh pendidik yang memunculkan ketimpangan dalam profesi. Kinerja seorang guru dapat dipengaruhi oleh banyaknya faktor, salah satunya ialah gaji. Seseorang yang mendapat upah tinggi akan sangat antusias dalam bekerja. Sebaliknya jika seorang mendapatkan upah yang minim antusias dalam bekerja berkurang. Guru diharuskan untuk profesional dalam bekerja, tidak adanya yang membedakan jam kerja dan tanggungan dalam kerja antara guru honorer dan guru ASN. Bagi tenaga pendidik yang berstatus PNS atau P3K pemerintah telah mengatur pemberian kompensasi dalam UU No.43 Tahun 1999. Sedangkan bagi guru yang berstatus honorer tidak adanya kebijakan terkait keadilan akan upah. Hal ini menjadi perhatian bagi organisasi PGRI untuk memperjuangkan keadilan bagi guru-guru yang masih berstatus honorer. PGRI berupaya untuk memperjuangkan kenaikan gaji bagi guru merupakan sebuah tantangan karena masyarakat menjadi minim untuk antusias sebagai guru melihat dari upah yang akan diterima. Masyarakat lulusan sarjana akan lebih tertarik untuk bekerja diperkantoran dengan upah yang standar UMR dan jelas yang akhirnya hal ini sangat memprihatinkan. Sedangkan untuk wilayah perdalam Indonesia masih sangat minim tenaga pendidik.

Akhirnya dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang ada, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) berusaha berkomitmen untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan para guru di seluruh Indonesia. Meskipun terdapat kendala internal dan eksternal dalam PGRI namun tetap berupaya untuk meningkatkan profesionalitas dan kualitas pendidikan nasional melalui peningkatan kualitas guru dan menyejahterakan para pendidik dengan memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini belum terpenuhi. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat, PGRI berharap dapat terus memainkan perannya sebagai naungan para pendidik yang berkualitas dan berupaya mewujudkan keadilan bagi seluruh tenaga pendidik di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun