Mohon tunggu...
Dwitho Frasetiandy
Dwitho Frasetiandy Mohon Tunggu... -

Juru Bicara dan Juru Ketik

Selanjutnya

Tutup

Money

Logika Sesat Eksploitasi Industri Keruk

1 Juni 2010   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sangat menarik kemarin membaca ulasan tentang potret komoditas tambang Indonesia di harian Kompas (31/5). Kalau kita cermati baik-baik dalam ulasan itu, akan “terpampang” dengan jelas bagaimana sebetulnya kita sudah berada dalam “darurat” energi. Kenapa itu bisa terjadi?.

Jika kita melihat data dan fakta yang dibeberkan dalam ulasan tersebut akan terlihat jelas bagaimana sebetulnya kita sudah hampir – kalau bisa dikatakan sudah- berada di titik rawan krisis energi. Kalkulasi ini didapat berdasarkan bagaimana tingkat produksi dan perkiraan cadangan sumber daya yang ada.

Data yang ada menunjukkan komoditas pertambangan masih menjadi komoditas ekspor utama kita. Tiga rangking teratas nilai ekspor pertambangan masih dipegang oleh komoditas batu bara , gas alam, dan minyak mentah. Lalu selanjutnya berasal dari produk mineral lain, seperti bijih besi, tembaga dan bijih nikel. Yang luar biasanya lagi adalah bahwa ekspor barang hasil tambang ini mengalami kenaikan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2004 dalam jangka waktu 5 tahun saja mengalami kenaikan 179%!. Nilai ekspornya jika pada tahun 2004 “hanya” 14 milliar dolar AS maka tahun 2009 lalu menjadi 39,2 milliar dolar AS. Jumlah kenaikan yang sangat signifikan tentunya dan sebanding dengan eksploitasi industri keruk yang makin massif saja.

Sesat Pikir Eksploitasi

Lalu apakah dengan kenaikan ekspor komoditas-komoditas pertambangan itu akan menambah “pundi-pundi” uang Negara, jawabannya tentu saja iya, tapi jika ini benar-benari dipahami justru bahaya yang akan lebih besar justru akan datang seiring dengan akan habisnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui ini.

Logika sederhana yang akan saya jelasakan dari masifnya industri pertambangan batubara misalnya, volume batu bara yang kita produksi pun makin meningkat, yaitu dari 112 juta ton (2003) menjadi 208 juta ton (2009) atau naik hingga 84 persen. Volume ekspornya pun tumbuh hingga mencapai 92 persen. Dan berdasarkan perhitungan sederhana dengan jumlah cadangan batubara yang tersedia (sekitar 4 milyar juta ton) dengan tingkat produksi yang ada sekarang maka batubara kita hanya akan “bertahan” sampai 19 tahun, padahal kita “hanya” berada di peringkat 4 (empat) dunia dalam cadangan batubara di bawah China, Australia dan India.

Tapi hitung-hitungan itu jika pengerukan batubara kita seperti volume produksi yang sekarang, dan celakanya setiap tahun volume produksi itu meningkat dengan sangat siginifikan dari tahun 2003 hingga 2008 saja kenaikan volume produksi mencapai 84%, ini belum ditambah “kelakukan” perusahaan tambang batubara besar seperti Adaro dan Kaltim Prima Coal (KPC). Adaro berencana menaikan volume produksinya dari 38 juta ton.tahun menjadi 80 juta ton/tahun, yang saat ini sudah memasuki tahap AMDAL dan kita tolak habis, belum lagi kelakuan Kaltim Prima Coal (KPC) yang juga akan menaikan volume produksinya dari yang semula 40 juta ton/tahun menjadi 70 juta ton/tahun, sungguh logika yang sulit diterima dengan akal sehat jika mengingat semakin menipisnya cadangan batubara yang ada di kalsel dan kaltim. Dan mengingatkan kita akan rakusnya perusahaan-perusahaan itu dalam mengeksploitasi batubara, yang begitu habis “ditinggalkan” begitu saja.

Kalau kita bandingkan misalnya dengan China, Australia dan India yang justru dapat “menyimpan” batubaranya hingga ratusan tahun lagi. Batubara China mampu bertahan hingga 41 tahun lagi, lalu Australia lebih lama lagi hingga mampu sampai 190 tahun lagi, India pun begitu cadangan batubaranya mampu untuk 114 tahun lagi.

Bahkan China yang memiliki cadangan sumber daya batubara terbesar saja sampai “impor” batubara Indonesia, pada tahun 2007, misalnya, China mengimpor batu bara Indonesia dengan nilai 452 juta dollar AS atau tumbuh 132 persen. Memasuki tahun 2009, permintaan batu bara bahkan lebih besar, yaitu mencapai 2 miliar dollar AS atau naik 186 persen.

Dari beberapa fakta diatas saja jelas terlihat bagaimana kebijakan energy Negara-negara kaya batubara itu memenuhi kebutuhan domestik mereka, bandingkan dengan Indonesia yang dengan “jor-joran” malah mengekspor batubaranya, lalu apakah 20 tahun lagi misalnya ketika batubara kita habis, harus kah kita mengimpor batubara dari China, Australia dan India untuk memenuhi kebutuhan batubara kita, Negara-negara yang saat ini kita “suplai” batubaranya?. Logika sesat macam apa yang dipakai pemerintah kita?

Kebijakan Energi

Dalam Rapat antara Dewan Energi Nasional (DEN) dengan Komisi VII DPR RI, Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh selaku Ketua Harian DEN memaparkan pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KEN), (19/4). Pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional meliputi, arah kebijakan energi minyak dan gas bumi, batubara, energi terbarukkan, energi terbarukkan bahan bakar nabati (BBN), panas bumi, energi terbarukan surya, PLT tenaga laut dan arah kebijakan energi terbarukan nuklir.

Kebijakan Energi Nasional saat ini tidak sesuai dengan komitmen pemerintah mengurangi emisi sebesar 26 persen, yang dikemudian diterjemahkan dengan penurunan 4 persen dari energi.  Justru emisi dari sektor energi akan meningkat paling sedikit 17,6 persen dari sektor energi jika Kebijakan Energi Nasional tidak diubah mengutamakan energi terbarukan.

Dalam Kebijakan Energi Nasional pemerintah telah membuat kebijakan energi hanya memperhitungkan keekomian kapitalistik, dan tidak memperhitungkan sama sekali dampaknya terhadap lingkungan. Terlihat proyeksi Energi yang dilakukan pada tahun 2020 mengurangi porsi minyak dari 51,66 persen pada tahun 2006 menjadi menjadi 20 persen pada tahun 2020. Penurunan minyak tersebut dikompenasi dengan  kenaikan porsi energi paling kotor, yakni batu bara dari 15,34 persen pada tahun 2006 menjadi 33 persen pada tahun 2020. Ini adalah cerminan kebijakan energi yang bunuh diri terhadap kepentingan lingkungan hidup yang dalam istilah kerennya adalah ecocide.

Dalam sejarah energi, Kebijakan Energi Nasional Indonesia saat adalah gerak mundur. Energi dunia telah beranjak dari yang paling kotor menjadi lebih bersih. Pada awalnya, masyarakat dunia, termasuk awal Revolusi Industri menggunakan kayu api sebagai bakar. Karena dampaknya terhadap persediaan kayu dan bencana ekologis, energi tersebut beralih ke batu bara. Namun  batu bara telah membuat persoalan pencemaran udara, sehingga beralih ke minyak dan gas. Dari minyak dan gas harusnya bergeser ke energi terbarukan.

Pemerintah harus membuat Kebijakan Energi Nasional yang terlepas dari lobby dan kepentingan kapital energi fosil dan nuklir. Representasi dari energi terbarukan dalam Dewan Energi Nasional harus ditambah. Jika tidak, Kebijakan Energi Nasional tersandera oleh kepentingan energi fosil.

Kebijakan energi diperparah dengan klausul terakhir dari kebijakan energi nasional yaitu kebijakan energi nuklir dengan alasan krisis listrik nasional, nuklir dijadikan argumentasi “logis” untuk mengatasi krisis listrik nasional. Dan bahkan akan membentuk BUMN Khusus yang akan mengimplemntasikan penerapan PLTN sesuai dengan amanat UU 17 tahun 2007.

Pada tanggal 26 April 1986 terjadi kecelakaan fatal yang menimpa reaktor nomor 4 di pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl di Ukraina, yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Uni Sovyet.  Sebagian besar radiasi dilepaskan dalam 10 hari pertama setelah kecelakaan, mencemari daerah yang sangat luas dan menimbulkan dampak negatif pada jutaan orang. Pencemaran akibat radiasi tersebut mencapai wilayah Skandinavia, Yunani, Eropa Tengah dan Timur, Jerman, Perancis, Inggris, bahkan hingga ke Jepang dan Alaska.

Peristiwa kecelakaan ini membuktikan bahwa teknologi yang dianggap sangat canggih ini ternyata tidak aman, berlawanan dengan janjinya di tahun 1950an. Chernobyl, setelah sebelumnya terjadi kecelakaan Three Miles Island di AS, menjadi bukti bahwa kekhawatiran pemrotes nuklir sama sekali tidak mengada-ada. Ketiadaan kecelakaan yang setara saat ini tidak berarti bahwa teknologi PLTN sudah aman. Berbagai laporan resmi justru menunjukkan puluhan ribu peristiwa (event), baik berupa insiden (incident) maupun kecelakaan (accident) terjadi di seluruh dunia. Jangan sampai peristiwa seperti Chernobyl terjadi di Indonesia yang kondisi geografisnya meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan nuklir, seperti gempa bumi misalnya.

Nuklir bukanlah opsi satu-satunya sebagai energi alternatif  guna menjawab kebutuhan listrik di di Indonesia. Pernyataan yang menyatakan bahwa energi yang paling aman dan murah kepada publik yang selalu dikeluarkan otoritas nuklir, jelas perlu dikritisi lebih lanjut. Karena di sini masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi.

Meninggalkan energi dari industri keruk dan nuklir dan mengalihkannya dengan energi angin, air, panas bumi dan matahari lebih merupakan solusi cerdas baik secara lingkungan dan ekonomi. Bukan dengan logika sesat pikir yang ada sekarang ini.

Dwitho Frasetiandy

Manager Kampanye WALHI Kalsel

andy@walhikalsel.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun