Mohon tunggu...
Ni Kadek Dwita Suardianti
Ni Kadek Dwita Suardianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

NIM : 2108016100

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembagian Waris dalam Sistem Peradilan Agama: Perlindungan atas Hak Waris atau Diskriminasi Gender?

30 September 2023   20:07 Diperbarui: 30 September 2023   20:12 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembagian Waris dalam Sistem Peradilan Agama: Perlindungan atas Hak Waris atau Diskriminasi Gender?

Waris adalah hak yang diberikan kepada ahli waris untuk menerima harta benda atau kekayaan dari pewaris setelah pewaris meninggal dunia. Pembagian waris dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, baik itu hukum adat, agama, maupun hukum positif yang ditetapkan oleh negara.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pembagian waris dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Adapun aturan pembagian waris dalam hukum Islam terdapat dalam kitab-kitab fiqih, seperti Al-Qur'an, Hadis, dan Ijma' (kesepakatan para ulama).

Dalam kehidupan sosial, pelaksanaan hukum waris pada dasarnya adalah untuk menjamin ketertiban dan keadilan atas perpindahan harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. keadilan dimaksud adalah memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain, dengan kata lain adalah adanya persamaan hak. Dan ketika ayat-ayat kewarisan secara jelas membedakan adanya bagian laki-laki dua dan perempuan hanya satu, maka bentuk yang berbeda juga mengandung makna keadilan.

Pembagian waris dalam sistem peradilan agama seringkali menjadi kontroversi di kalangan masyarakat, terkait dengan perlakuan yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh hak waris. Meskipun agama mengatur tentang pembagian waris, namun dalam praktiknya masyarakat sering menganggap bahwa hal tersebut adalah diskriminasi gender yang merugikan perempuan.

Sebagai contoh, dalam hukum Islam, laki-laki biasanya mendapatkan bagian yang lebih besar dari warisan dibandingkan dengan perempuan yaitu dengan konsep 2 : 1. Hal ini bisa dilihat dari aturan pembagian waris dalam Al-Qur’an dan Hadis, di mana anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Padahal, dalam konteks modern, perempuan juga memiliki tanggung jawab dan kontribusi yang sama pentingnya dengan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat.

Memang pada kenyataannya di zaman ini keadaan sosial sudah mulai berubah. Para wanita sudah mulai bekerja dan masuk ke wilayah publik, serta membantu kewajiban suami dalam memberikan nafkah dalam rumah tangga. Pertanyaan kemudian adalah apakah dengan adanya perubahan hukum dan sosial, serta merta akan merubah semangat Al-Qur’an dalam mengangkat derajat perempuan? Atau masih relevan kah untuk diikuti ketika dalam konsep waris Islam adanya 2:1 (dua banding satu) antara laki-laki dengan perempuan? Pertanyaan ini perlu jawaban yang bijak dengan tidak mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan Allah.

Harus diakui bahwa aturan pembagian kewarisan Islam yang berkaitan dengan penetapan 2:1(dua banding satu) masih sering mendapat sorotan dan gugatan akan kekurangadilan ketentuan tersebut. Bahkan dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan dan tuntunan zaman sekarang ini. Pemikiran ini disebabkan oleh pikiran-pikiran sosiologis-empiris-pragmatis yang hanya berfokus pada satu kenyataan bahwa banyak kasus perempuan berprofesi dan bergaji tinggi dibanding laki-laki, sehingga pada akhirnya dia harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

Dalam hal pembagian waris dengan konsep 2:1, M. Taufiq, mantan Hakim Agung dan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pernah mencetuskan pemikiran untuk merekontruksi Hukum waris Islam menjadi seperti Hukum waris perdata (BW), yang mana perolehan bagian para ahli waris sama rata, baik antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Rekonstruksi hukum waris Islam tersebut bukan tanpa alasan yaitu demi mewujudkan keadilan dalam pembagian harta warisan dalam sudut pandang kesetaraan gender. Namun tentu saja hal ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang menetapkan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan, jika di tinjau dari kacamata kewarisan Islam.

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengubah pandangan masyarakat dan meningkatkan kesadaran bahwa pembagian waris dalam sistem peradilan agama khususnya dalam hukum islam tersebut tidak adanya unsur diskriminatif gender yang merugikan perempuan karena ketentuan pembagian waris dalam hukum Islam sejatinya sudah sangat baik, bijaksana, dan adil menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Sedangkan manusia hanya mampu melihat dari kacamata hikmah dari apa yang telah menjadi ketetapan tersebut.

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun