Hate Speech
Ujaran kebencian (hate speech) merupakan ungkapan kekerasan yang ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang yang merepresentasikan suku, agama, ras, atau golongan orang tersebut. Ujaran Kebencian juga dapat mengarah pada bangsa, gender, orientasi seksual, bahkan kelompok orang yang mengalami disabilitas tertentu. Ujaran kebencian bukan saja berisi umpatan maupun labelling, intimidasi, bahkan berupa kata-kata yang provokatif yang mengancam hak asasi manusia.
Media kurang sadar atau mungkin lebih bingung tentang tanggung jawab mereka dalam meliput dan membuat berita yang menganjurkan intoleransi. Ini sebagian karena masalahnya benar-benar kompleks dan tidak sesuai dengan formula etika sederhana. Sulit untuk mencapai keseimbangan yang tepat. Sayangnya, yang kerap mengayunkan keputusan tersebut adalah nafsu keinginan media untuk menjadi kontroversial.
Ujaran kebencian yang terus menerus diungkapkan kepada pihak/kelompok tertentu membawa permasalahan psikologi yang cukup serius. Gangguan stres pasca trauma rentan terjadi. Seseorang akan begitu mudah untuk mengalami ketakutan dan kecemasan. Pikiran berulang akan fitnah dan intimidasi terus bermunculan. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri. Ujaran kebencian tentunya akan memunculkan argumen-argumen senada yang makin memperkuat "kebenarannya".
Ujaran kebencian mengenai etnis, suku, atau bahkan secara religius juga sering muncul situs media sosial populer, seperti YouTube, Facebook dan Twitter, serta Yahoo! grup dan grup Google. The Geography of Hate adalah bagian dari proyek penelitian oleh Dr. Monica Stephens dari Humboldt State University (HSU) yang mengidentifikasi asal-usul geografis dari ujaran kebencian online.
Data di balik peta ini didasarkan pada setiap tweet geocoded di Amerika Serikat dari bulan Juni 2012 - April 2013 yang berisi salah satu 'kata kebencian'. Ini disamakan dengan lebih dari 150.000 tweet dan diambil dari proyek DOLLY yang berbasis di University of Kentucky.
Karena analisis sentimen algoritmik secara otomatis akan mengklasifikasikan setiap tweet yang berisi 'kata-kata kebencian' sebagai "negatif," proyek ini bergantung pada peneliti HSU untuk membaca keseluruhan tweet dan mengklasifikasikannya sebagai positif, netral atau negatif berdasarkan rubrik yang telah ditentukan. Hanya tweet yang diidentifikasi oleh pembaca manusia sebagai negatif yang digunakan dalam analisis ini.
Fenomena demikian mampu menimbulkan slippery slope effectyang mempengaruhi pandangan masyarakat luas. Ujaran kebencian bahkan dapat menciptakan kejahatan atas dasar kebencian (hate crime), seperti kerusuhan agama dan pembantaian ras atau kelompok tertentu. Argumen-argumen bernada negatif mampu menggiring pandangan dan sikap masyarakat luas. Banyaknya argumen negatif yang tak jelas mampu menumbangkan argumen positif yang benar dan berdasar.
A Dilemma for Journalists the World Over
Ujaran kebencian menghadirkan tantangan besar bagi jurnalisme masa kini. Wartawan yang sadar secara sosial telah benar-benar khawatir dengan seberapa cepat pesan yang berisi kebencian meresap ke dalam pikiran orang lain, dan seringkali membanjiri kolom komentar sosial media. Ada perbedaan penting yang harus diperhatikan dalam menyampaikan sebuah "pesan" :
- Hasutan untuk menimbulkan kerusakan seperti diskriminasi dan kekerasan negatif (satu-satunya kategori yang diberi label dengan benar "hate speech". Ini adalah standar hak asasi manusia yang menjamin intervensi hukum)
- Ekspresi yang melukai perasaan masyarakat, termasuk dengan menghina kepercayaan ( menimbulkan masalah etika, namun umumnya tidak boleh dikenai pembatasan hukum, karena kebebasan berbicara harus mencakup hak untuk menantang ortodoksi agama atau kepercayaan yang dipegang teguh lainnya)
- Kritik terhadap politisi dan kepentingan kuat lainnya, kemudian menghina     (mungkin dirasakan sebagai kebencian oleh target elitnya, dan seringkali apa yang dipikirkan pejabat, militer dan polisi saat mereka menyebut perkataan yang mendorong kebencian sebagai pembenaran untuk menekan media)
Banyak prinsip yang dimiliki jurnalis, seperti melindungi kerahasiaan, tidak dipaksakan oleh undang-undang dan mungkin bertentangan dengan hukum, namun tetap diadopsi secara sukarela sebagai masalah etika.
User-Generated Contempt
Pengguna internet yang mempublikasikan komentar ofensif dan memilih perkelahian di media sosial dan platform lainnya adalah mereka yang menikmati perkataan pendorong kebencian. Banyak organisasi berita menanggapi masalah ini melalui post-moderation,deleting atau relegating posts yang ditandai sebagai perkataan yang mendorong kebencian. Daripada melihat ini sebagai "sensor", praktik semacam itu dapat dipandang membantu membuka diskusi.