Pada malam pergantian tahun ini saya selesai membaca buku tipis namun syarat makna. Buku yang ditulis oleh Frans Magnis-Suseno berjudul “Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles” memberi makna dan refleksi kepada saya pada pergantian tahun baru dari 2009 ke 2010. Apakah memasuki tahun baru 2010 kita telah benar menjadi manusia?
Menjadi manusia bukanlah berarti kita bukan manusia sebelumnya. Bukan berarti kita jadi-jadian manusia. Menjadi manusia disini bermakna sebagai manusia dengan nilai-nilai luhur, manusia yang bahagia, yaitu menjadi “manusia yang utama”.
Mengapa belajar dari Aristoteles? Apakah Aristoteles memiliki jawaban yang kita inginkan untuk benar-benar menjadi manusia? Masih relevankah pemikiran Aristoteles yang hidup pada masa 384 sebelum masehi jika dipadankan dengan tahun 2010 masehi?
Catatan bermula dengan etika eudemonisme, yaitu etika rumusan Aristoteles mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tujuan terakhir dari usaha-usaha yang dilakukan manusia. Apapun impian materi ataupun imaterial yang membawa kenikmatan bagi manusia, akan berakhir pada sesuatu yang membuat manusia bahagia atau tidak bahagia. Artinya bukanlah materi, jabatan, atau kenikmatan jasmaniah yang sebenarnya menjadi keinginan, tetapi apakah wahana-wahana tersebut dapat mewujudkan kebahagiaan.
Nilai-nilai manusia akan diuji ketika ia berusaha mendapatkan kebahagiaan itu. Yang pertama adalah dalam usaha mewujudkan kebahagiaan, apakah manusia memiliki [atau memilih] kecenderungan hedonis. Romo Magnis mengutip Epikuros yang mengatakan bahwa jika anda ingin bahagia, hindarilah perasaan sakit dan usahakan rasa nikmat. Hedonisme artinya adalah nikmat kegembiraan. Aliran filsafat ini mengajarkan tentang aturan paling dasar hidup manusia yaitu menghindar dari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat. Sekilas hedonisme sangat masuk akan dalam usaha kita meraih kebahagiaan. Namun apakah sifat menghindari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat tidak berbeda dengan sifat mahkluk lain selain manusia. Manusia berbagi sifat tersebut dengan hewan, artinya hewanpun memiliki insting untuk menghindari rasa sakit dan berusaha meraih kesenangannya. Jika kita semata menjadi hedonis dalam meraih kebahagiaan, lalu apa beda kita dengan binatang.
Walaupun etika eudemonisme Aristoteles lahir sebelum agama monoteis (Yahudi, Kristen, dan Islam) lahir di dunia, Romo Magnis melihat bahwa tidaklah etis jika manusia abad ke-21 dalam meraih kenikmatan lalu menjadi tidak bermoral. Bahkan Aristoteles pun mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak semata berada pada diri kita sendiri, namun bahagia karena melihat kebahagiaan pada diri orang lain, yaitu pada sahabat, keluarga, ataupun kekasih. Agama monoteis membuat manusia bermoral. Kenikmatan dalam mewujudkan kebahagiaan memiliki batasan atau persyaratannya sendiri agar kita tidak mendarat di neraka pada kemudian waktu karena berusaha mengejar kenikmatan di dunia. Misalnya agama monoteis mengajarkan mengenai pernikahan sebelum memperoleh kenikmatan sepasang kekasih. Dan tidak semata-mata juga menghindari rasa sakit dan menumpuk kenikmatan bisa membuat kita bahagia. Rasa sakit ataupun keras kepada diri sendiri dapat menjadikan kita manusia yang lebih unggul. Menjadi disiplin terhadap waktu, misalnya, kita akan lebih dihormati orang lain karena tepat waktu.
Kedua, untuk menjadi manusia yang bahagia dapat diraih melalui kebersamaan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kita bisa bahagia jika melihat orang lain bahagia. Kebahagiaan bukanlah pada diri kita sendiri semata. Kebahagiaan yang hakiki dapat diraih jika kita dapat memberikan sesuatu kepada lingkungan sosial kita, kepada sahabat kita, ataupun kepada keluarga kita. Persahabatan memberi kebahagiaan yang berarti. Kita akan menemukan nilai positif apabila kita berkorban demi orang yang kita sayangi. Romo Magnis memberi tekanan pada sikap yang mau berkorban, bahkan pada titik tertentu berkorban nyawa demi orang-orang yang kita cintai akan lebih berarti dan membahagiakan daripada hidup panjang dalam kesendirian dan egoisme. Namun persahabatan tidak membuat kita menjadi ketergantungan. Manusia yang utama adalah manusia yang mandiri. Persahabatan ataupun kebersamaan tidak membuat kita menjadi terikat atau tidak leluasa.
Kebahagiaan yang muncul dari kebersamaan dapat juga direfleksikan dari sifat manusia yang zoon politikon yang berarti manusia mahluk sosial. Dalam kegiatan sosial politik bukankah kita akan lebih bahagia jika jalannya pemerintahan di negeri kita secara demokratis. Contoh nyatanya adalah proses pesta rakyat dimana seluruh rakyat secara bersama-sama menentukan masa depan bangsa dan negara dengan impian kebahagiaan dan kesejahteraan di masa depan.
Ketiga, menjadi manusia utama adalah manusia yang mampu mengembangkan diri. Manusia yang utama tidak muncul begitu saja karena keturunan ataupun disebabkan oleh sesuatu yang “ajaib” [timbul begitu saja]. Sifat keutamaan muncul karena proses belajar (berpikir bijak) dan pembiasaan. Kuncinya adalah dengan mengembangkan diri. Menurut Aristoteles, berfilsafat dan berpolitik adalah sesuatu yang membahagiakan manusia. Penjelasan yang diberikan Romo Magnis yaitu dengan berfilsafat maka manusia ber-theoria. Namun theoria disini bukanlah teori dalam arti moderen, yang berarti pandangan “teoritis” semisal teori evolusi. Theoria yang dimaksud Aristoteles, seperti halnya gurunya Plato, berarti “memandang”, merenungkan realitas yang abadi, realitas ilahi. Jadi ber-theoria menjadikan manusia bijaksana (sophia). Dalam arti yang lebih luas, belajar [dan berpikir] memberikan wawasan yang menjaga manusia dari perbuatan tidak bermoral.
Mengembangkan diri dapat dilakukan dengan pembiasaan, sebagai contoh (cukup bijaksana dalam memandang), Romo Magnis memandang penataran P4 bagi calon PNS dimasa orde baru memberi disiplin pagi PNS dimasa berikutnya agar tepat waktu. Penataran P4 mewajibkan pesertanya datang 15 menit sebelum acara dimulai, yakni jam 8 pagi. Pembudayaan tepat waktu itu menjadikan manusia lebih disiplin waktu dan lebih baik.
Terakhir yang saya dapat dari buku tersebut dalam usaha menjadi manusia adalah menjadi manusia dengan hidup bermutu. Saya mengutip bahwa Aristoteles menjamin jika kita semakin berusaha untuk maju, makin kita akan maju, artinya kita makin gampang bertindak sesuai dengan apa yang kita nilai benar. Oleh karenanya kita dapat mewujudkan diri kita menjadi sosok etis.