Bahkan ada rumah antik yang pernah dimiliki koruptor kelas kakap disiapkan menjadi tempat karantina pemudik dari Jakarta.
Perhatikan anak-anak di negeri +62, ketika dia melakukan sesuatu yang dilarang atau berbahaya, lalu anda melarangnya, maka anak itu akan melanggar dan terus melakukan hal yang bisa membahayakan dirinya sendiri.Â
Ada orang tua yang bilang, silahkan ... lanjutkan saja perbuatanmu, tak usah berhenti, Â dsb, kalau disuruh teruskan dia malah berhenti..
Anjuran tidak pulang bisa menjadi tantangan pemudik untuk menemukan jalur ke kampung halaman melalui pintu masuk yang tidak dijaga pemerintah daerah, kecepatan pertukaran informasi melalui media sosial akan membuat jalur konvensional tak dipilih pemudik karen ada screening dan beresiko karantina 14 hari.
Untuk pemudik yang berkantong cekak, mereka sengaja melalui jalan konvensional yang telah dikabarkan jadi lokasi pemeriksaan, mereka senang jika harus dikarantina, karena bisa mendapat penginapan, makan, minum gratis selama dua minggu, suatu kemewahan yang mahal jika harus dibayar sendiri.Â
Kepada orang tua dikampung halaman, mereka bisa video call dan mengabarkan bahwa dirinya sudah berada tak jauh dari kampung halaman.
Mencari jalur tikus yang tak terdeteksi tim screening pemerintah daerah atau pengalaman menjalani karantina di saat kejadian yang luar biasa ini adalah tantangan dan pengalaman luar biasa yang bisa jadi bahan cerita sepanjang hayat, sebiuah kebanggan hidup, karena kebanggaan hakiki jarang dimiliki penduduk negeri ini, karena Jakarta yang sepi dan sulit mendapat penghasilan.
Pemerintah dituntut kreatif untuk bisa membuat warga negaranya tak mudik, mungkin perlu biaya untuk itu, apakah rencana pindah ibukota lebih urgen dibanding potensi ledakkan kematian karena mahluk yang tak nampak ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H