Mohon tunggu...
Dedi Dwitagama
Dedi Dwitagama Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pendidik yang bermimpi makin banyak anak negeri yang percaya diri dan berani berkompetisi. Mengajar Matematika di SMKN 50 Jakarta - Blogger sejak 2005: http://dedidwitagama.wordpress.com, http://fotodedi.wordpress.com dan http://trainerkita.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tawuran, "Promosi Sekolah" Paling Mudah dan Murah

2 Maret 2020   12:23 Diperbarui: 2 Maret 2020   12:47 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda ingat kasus hukum seorang warga negara Indonesia di Inggris, RS yang divonis seumur hidup karena terbukti telah melakukan tindakan kekerasan sexual terhadap ratusan orang di Inggris. Proses hukum kasus pemerkosaan terbesar di Inggris berlangsung selama 2,5 tahun sejak Juni 2017 dan selesai Desember 2019. Tak satupun media di Inggris dan Indonesia yang memberitakan peristiwa penangkapan hingga vonis di sidang pengadilan, sehingga membuat rakyat Indonesia terkejut dengan berita "pemerkosa terbesar abad ini di Inggris".

Pada setiap persidangan ada jurnalis media yang meliput jalannya sidang, tetapi pengadilan melarang pers memberitakan proses pengadilan, bahkan terdakwa RS berda di ruang yang tertutup oleh tirai tak bisa dilihat oleh pengunjung sidang, termasuk saksi yang memberikan keterangan berda di ruang yang dibatasi tirai sehingga tidak terlihat oleh RS dan pengunjung sidang. Alasan pengadilan disana melaran pemberitaan sebelum vons adalah untuk melindungi tersangka dan para korban untuk mendapatkan putusan yang adil tak dipengaruhi oleh keriuhan pemberitaan.

Di Indonesia tayangan pemberitaan oleh media resmi konvensional ataupun tayangan warga net seolah bebas tak terbatas, tak dipagari oleh peraturan (yang kabarnya ada aturannya juga) tetapi seolah tak ada, dan siapapun bebas menayangkan foto-foto dan video berita apa saja di sekitarnya, termasuk tayangan berita tawuran pelajar yang dilakukan oleh Mahasiswa dan Pelajar.

Peristiwa tawuran pelajar berupa foto dan video tayang berbagai media seperti koran, majalah, televisi, instagram, facebook, twitter, youtube, dsb. Tayangan itu dinikmati oleh pelajar sebagai suatu "prestasi", "atensi", yang membanggakan, apalagi jika sekolahnya berhasil memenangkan tawuran itu, andai sekolahnya kalah, mereka berusaha mencari kesempatan untuk melakukan tawuran kembali agar tayangan berita berubah topikny berisi "kemenangan" yang diperoleh sekolahnya. Apalagi ketika anak-anak mengetahui para pelaku tawuran ada yang tertangkap, banyak yang tetap bebas tak tertangkap, kembali ke sekolah tak  mendapatkan hukuman yang seharusnya walau telah memakan korban hingga kematian.

Kini, tawuran tak hanya terjadi pada kelompok mahasiswa, pelajar SLTA, SLTP, tapi sudah menjalar hingga ke anak-anak Sekolah Dasar (SD), mereka berfikir sangat sederhana, seolah menyalurkan energi berlarian di tempat umum, saling lempar, saling serang, disertai teriakan-teriakan permusuhan, mendapatkan perhatian dari masyarakat dan diberitakan di banyak media, bangga, bahagia luar biasa dan itu nyandu, membat ketagihan untuk mengulangi lagi.

Karena ternyata mereka tahu dan telah membuktikan bahwa untuk mendapat pemberitaan media caranya cukup mudah, lakukan tawuran, maka sekolahnya menjadi terkenal se dunia, padahal anak-anak pun tahu bahwa untuk bisa dimuat sebagai bahan berita di media massa siapapun harus membayar mahal, baru bisa diberitakan.

Membicarakan penyebab terjadinya tawuran itu variabelnya banyak sekali, bahkan sering lucu, tak masuk akal, aneh, dsb. Kejadian tawuran terkini di Gorontalo terjadi karena pemutusan tali beha (pakaian dalam wanita), yang mengakibatkan ratusan murid dua sekolah negeri di Gorontalo tawuran dan diberitakan secara nasional di berbagai platform pemberitaan.

Ada baiknya Pemerintah meniru kebijakan Pemerintah Inggris yang melarang penayangan berita peristiwa tawuran, penangkapan tersangka, dan proses pengadilan hingga vonis dijatuhkan, dan yang melanggar aturan itu akan dikenakan hukuman. 

Seharusnya Pemerintah Indonesia melalui Polisi atau Menkominfo melarang siapapun, jurnalis maupun warga net untuk menayangkan peristiwa tawuran dalam bentuk foto dan video, termasuk penangkapan para pelaku tawuran hingga vonis dijatuhkan, agar anak negeri tak termotivasi melakukan tawuran untuk "mempromosikan sekolah" dan menyatakan bahwa sekolahnya adalah yang paling berani, jagoan, dsb. Siapapun yang menayangkan berita tawuran, penangkapan tersangka, proses pengadilan harus dihukum, kecuali memberitakan vonis yang telah dijatuhkan untuk pelaku tawuran. Perhatikan deh ... peristiwa tawuran bakal jauh menurun di negeri ini, menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun