Sedih, geram, kecewa, takut, dan aneka perasaan bercampur menjadi satu melihat aliran berita di jalur mainstream dan posting kompasiana beberapa hari ini, teror dari sekelompok orang yang keberanianya melampaui pasukan elit yang terlatih di negeri ini.
Sebagian besar dari mereka pasti pernah sekolah, bahkan beberapa dari mereka bersekolah di sekolah favorit di daerahnya hingga kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di kotanya, apa hasil pendidikan di sekolah dan kampusnya selama hampir dua puluh tahun?
Bagaimana hasil penanaman nilai-nilai karakter selama mereka bersekolah?
Apakah sekolah peduli terhadap karakter anak didiknya?
Apakah sekolah tahu bahwa pelaku teror itu pernah dididiknya?
Apakah sekolah melakukan evaluasi penyebab terjadinya sifat eror alumninya atau menempatkan kesalahan kepada pribadi dan pilihan pribadi alumninya?
Apakah sekolah merubah cara mendidik muridnya untuk menghasilkan murid yang tak meneror negerinya?
Coba ingat perjalanan kita bersekolah di SD hingga SLTA, bagaimanapun nakalnya murid di sekolah sejauh yang bersangkutan tak mengganggu teman sekolahnya atau merusak suasana atau tepatnya ketenangan di sekolah dan dia masuk sekolah secara teratur, bahkan yang sering tak masuk pun bisa lulus sekolah, tentu kita masih ingat ada yang jarang masuk ketika hari-hari belajar, dia dijemput ke rumahnya oleh guru atau karyawan tata usaha untuk mengikuti ujian dan dinyatakan lulus ujian.
Guru seolah hanya mengejar target pencapaian kurikulum sesuai mata pelajaran dan ketika menjumpai murid yang memiliki karakter menyimpang langsung diserahkan kepada wali kelas, selanjutnya wali kelas melakukan pembinaan beberapa kali dan selanjutnya dirujuk ke guru bimbingan konseling.
Umumnya jika nilai-nilai mencukupi untuk naik kelas, soal ketidakhadiran dan katakter tak jadi penghalang untuk tidak naik atau tidak lulus, apalagi era zaman dulu kelulusan ditentukan oleh nilai beberapa mata pelajaran tertentu, soal karakter sepertinya menjadi tanggung jawab jenjang pendidikan selanjutnya.
Bagaimana di perguruan tinggi? Di tahun delapan puluhan ada penataran P4 yang menjejali mahasiswa baru (zaman saya tahun 1984, berlangsung selama 100 jam) dengan metode yang kering, searah, hampir selalu ceramah, apakah karena itu nilai-nilai pancasila yang jadi materi penataran seolah menguap tak menetap di memori mahasiswa?