Kekerasan terhadap perempuan bukan masalah individu saja, melainkan juga merupakan masalah nasional dan bahkan sudah menjadi masalah global. Hal tersebut, sudah mencemaskan setiap negara di dunia, tidak saja negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga termasuk negara-negara maju yang sangat menghagai dan peduli terhadap HAM seperti Amerika Serikat. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, telah menyandang predikat buruk dalam masalah pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang sekarang ini marak terjadi salah satu diantaranya pelanggaran HAM perempuan.
Pelanggaran HAM perempuan tersebut dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di mana saja (di tempat umum, didalam angkot, di tempat kerja, dilingkungan keluarga (rumah tangga) dan lain-lainnya). Hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja (seperti orang yang belum kita kenal, orang tua, saudara laki-laki ataupun perempuan, dan lain-lainnya) dan dapat terjadi kapan saja (siang dan malam). Kekerasan terhadap perempuan yang saat ini menjadi sorotan yakni kekerasan terhadap perempuan dalam ruang lingkup keluarga atau bisa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang sangat serius, akan tetapi hal ini kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena adanya beberapa alasan, salah satu alasannya karena tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup yang sangat pribadi dan terjaga privasinya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga seseorang .
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan tidak peduli terhadap tindak kekerasan yang dihadapi atau dalam bahasa jawa istilah nya “legowo” terhadap semua tindakan yang telah menimpa dirinya. Hal ini lah yang menyebabkan kurang ter-expose nya, tindakan kekerasan dalam rumah tangga ke publik. Kenyataan yang seperti ini berdampak pada minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan suci pernikahan. Istri yang memendam sendiri persoalan tersebut serta menahan rasa sakit baik fisik dan nurani, tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tanpa ada kontak fisik.
Menurut survey, kekerasan yang sering dialami perempuan dalam rumah tangga antara lain :
- Kekerasan fisik, berupa tamparan, pemukulan, mendorong secara kasar, penjambakan, penendangan, penginjakan, pencekikan, pelemparan benda keras, serta penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti : silet, pisau, gunting, setrika serta pembakaran. Tindakan kekerasan tersebut mengakibatkan rasa sakit, timbulnya memar, jatuh sakit dan luka berat, dimana korban sampai harus dirawat di rumah sakit dan bahkan sampai meninggal dunia.
- Kekerasan psikologis, berupa tindakan merendahkan citra dan harga diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun perbuatan (seperti : ucapan yang menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, serta ancaman). Tindakan tersebut dapat mengakibatkan efek berkelanjutan antara lain: ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,serta rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang.
- Kekerasan ekonomi, berupa tindakan dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana tidak diberi nafkah secara rutin atau dalarn jumlah yang cukup, membatasi serta melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali suaminya.
Menurut penelitian, Suami lebih dominan dalam melakukan tindak kekerasan kepada istrinya. Karena, perilaku istri yang dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, Adanya cemburu suami kepada orang lain, dan yang paling fatal pergi tanpa pamit. Dalam Agama pun sudah diperingatkan, bahwa haram hukumnya jika seorang istri pergi sebelum mendapat izin dari suaminya. Hal ini lah yang diyakini oleh pihak istri , sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.Budaya yang telah berkembang di masyarakat, bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga yang sifatnya superior sedangkan perempuan adalah makmum yang sifatnya inferior sehingga laki-laki mendapat kekuasaan untuk mengontrol dan menguasai perempuan.
Seorang istri harus menuruti semua yang dikatakan oleh suaminya, jika istri menolak atau berdebat, maka akan dipukul. Kultur ini telah mengakar di masyarakat. Dulu masyarakat beranggapan, adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah privasi, baik orang lain ataupun masyarakat tidak boleh ikut campur. Namun semenjak berlakunya Undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya masalah internal (suami dan istri saja) melainkan sudah menjadi urusan public. Sehingga masyarakat pun dapat ikut mencegah serta mengawasi kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan dalam Rumah tangga antara lain :
- Laki-laki dianggap sebagai pemimpin keluarga, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
- Suami melarang istinya untuk bekerja, sehingga mengakibatkan istri ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
- Istri yang tidak bekerja, akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tugas mulia dan menanggung beban tanggung jawab untuk mengasuh anak nya . Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
- Adanya konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,yang mengakibatkan Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya dengan tujuan agar mereka taat dan patuh terhadap semua aturan dalam rumah tangga.
Keadaan ini menyebabkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, seperti: sering tidak diberi hak atas warisan, dibatasi peluang bersekolah, direnggut hak untuk kerja di luar rumah, dipaksa kawin muda, kelemahan aturan hukum yang ada yang seringkali merugikan perempuan.Kekerasan terhadap perempuan terjadi tidak hanya dalam rumah tangga saja, melainkan masih banyak bentuk kekerasan lain di masyarakat seperti
- Masih adanya Perdagangan perempuan (Trafficking)
- Pemerkosan dan pencabulan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tak menutup kemungkinan dapat dilakukan oleh orang terdekat, baik keluarga, tetangga atau orang yang baru dikenal.
- Pelecehan seksual bisa terjadi dimanapun baik di tempat kerja, tempat umum, kampus bahkan sekolahan . Pelecehan ini bisa dialami oleh siapapun dan kapanpun.
Fenomena Kekerasan terhadap perempuan dan anak yang hampir setiap hari menghiasi media pemberitaan di Televisi, membuat hati kami sebagai sesama wanita kian teriris melihat saudara kami diperlakukan tidak selayaknya manusia. Pelecehan dan pencabulan yang terjadi pada anak kecil dan pada usia dewasa, juga kian menohok hati nurani kami, betapa biadab dan kejinya para pelaku yang dalam sekejap telah merusak masa depan jiwa-jiwa muda penerus bangsa.
Sekarang lah saat nya kita ikut berpartisipasi dalam mengawasi dan mencegah adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jika ada yang bertanya, Mengapa baru sekarang kita ikut berperan serta dalam pencegahan tindak kekerasan ? Bukankah kita sudah terlambat ? Tidak ada kata terlambat untuk ikut berperan mencegah adanya tindak kekerasan. Sebelum mata rantai terputus maka kekerasan akan terus berlanjut.Salah satu upaya pencegahan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dengan menyerukan gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang serta mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan yang disebut dengan program Three Ends.
Gerakan yang telah diserukan oleh KPPPA ini, telah saya rasakan sendiri saat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan kunjungan ke Stasiun Pasar Senen pada tanggal 4 Juli 2016 yang bertepatan dengan Arus Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Menurut saya langkah ini sangat tepat, karena situasi padat dengan jumlah massa yang banyak ,maka sangat cocok untuk menyerukan Gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tak jarang kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi di tempat umum dengan situasi yang padat. Dengan ruang gerak yang sempit, Peluang terjadinya pelecehan terhadap perempuan dan anak akan lebih besar. Oleh karena itu, perempuan dan anak –anak dihimbau untuk selalu waspada dan hati-hati saat berada ditempat umum dengan situasi serupa.
Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sempat masuk kedalam gerbong kereta untuk melakukan pengecekan kondisi para pemudik terutama perempuan dan anak-anak. Saat itu saya berada di dalam kereta yang akan membawa saya dan seluruh pemudik ke Jawa Tengah hingga ke JawaTimur (Surabaya). Tak hanya itu, dalam sosialisasi ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selain memproklamirkan Gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, juga memberikan bingkisan kepada para pemudik yang berisikan snack dan beberapa souvenir yang berkaitan dengan KPPPA dan Program Three Ends. Sosialisasi Gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak harus sering dideklarasikan agar masyarakat mengerti dan paham. Bahwa peran serta mereka sangat berarti dalam mengawasi dan mencegah tindak kekerasan dengan tujuan untuk memutus mata rantai dan memberantas pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pemerintah dan masyarakat harus saling bekerjasama, jika hanya salah satu pihak saja yang ikut berperan, maka pencegahan tindak kekerasan tidak berjalan secara maksimal. Dengan demikian diperlukan usaha bersama untuk menolong perempuan dan anak dari tindak kekerasan antara lain : Melatih kader-kader (LSM) agar dapat melakukan pendampingan kepada korban kekerasan, merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban, memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan, serta fokus dalam meningkatkan harga diri para korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H