Kekuasaan seperti pisau bermata dua, disatu sisi dapat menciptakan stabilitas dan kemajuan tetapi disisi lain kekuasaan yang tidak terkendali dapat menimbulkan  ketidakadilan dan penindasan. Di tengah kekuasaan yang tidak adil, pendidikan dapat muncul sebagai alat yang ampuh dalam melawan ketidakadilan dan menciptakan perubahan. Pendidikan sebagai simbol dari ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir, memiliki potensi untuk membebaskan diri dari abuse of power serta membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. Dalam catatan sejarah, pendidikan memainkan peran penting dalam berbagai perlawanan. Misalnya pada masa penjajahan Belanda, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa untuk rakyat pribumi yang digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dengan menanamkan nilai-nilai kebebasan, kesadaran nasional atau semangat kebangsaan. Dalam era modern saat ini, pendidikan dapat menjadi alat untuk melawan diskriminasi, ketidaksetaraan gender dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Pendidikan adalah kunci dari perubahan. Pendidikan bukan hanya menjadi proses transfer pengetahuan dan keterampilan tetapi juga dapat sebagai alat pembebasan dari ketidakadilan. Pendidikan yang membebaskan berarti memberdayakan individu untuk berpikir rasional, mengkritisi realitas sosial, dan mengambil tindakan untuk menciptakan perubahan.  Filsuf Yunani Kuno Socrates (469-399 SM) melihat bawah kebebasan melalui pendidikan dapat tercapai melalui metode "dialetika" yaitu melibatkan dialog dan pertanyaan kritis dan mendalam untuk mendorong siswa mencapai pemahaman yang lebih baik. Kebebasan sejati datang ketika seseorang mampu berpikir secara mandiri dan kritis, tanpa terpengaruh oleh dogma atau otoritas. Dengan menggugah pemikiran melalui pertanyaan yang mendalam, Socrates berusaha membebaskan manusia dari ketidakpastian dan ketidaktahuan. Senada dengan itu Paulo Freire (1970) filsuf dari Brazil yang terkenal dengan karyanya Pedagogy of the Oppressed memperkenalkan metode pendidikan yang membebaskan masyarakat dari penindasan. Ia percaya bahwa pendidikan seharusnya menjadi dialog untuk menyadarkan rakyat tentang ketidakadilan sosial, sehingga mereka dapat melawan tirani. Pendidikan pembebasan harus berfokus pada dialog antar guru dan siswa. Siswa bukanlah objek pembelajaran yang hanya menerima informasi/ pengetahuan tetapi harus menjadi subjek atau pelaku utama dalam pembelajaran. Mereka harus aktif terlibat dalam kegiatan belajar, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, dan membuat keputusan. Sedangkan pendidikan kebebasan dalam pandangan Ki Hajar Dewantara  (1889-1959) adalah pendidikan harus dapat membebaskan individu dari segala bentuk penjajahan baik ekonomi, sosial maupun budaya. Pendidikan harus dapat menciptakan manusia yang berkarakter sehingga kebebasan yang dimaksud dalam pendidikan adalah kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab moral dan sosial
Mewujudkan Pendidikan Kebebasan melalui Ruang Kelas
Pendidikan pembebasan adalah proses anak mengenal diri dan dunianya sehingga mampu mencapai kebahagiannya secara bertanggung jawab. Proses ini dapat dimulai dari ruang-ruang kelas untuk membebaskan anak dari ketidaktahuan, ketidaksetaraan, ketidakadilan dan keterbatasan. Untuk mewujudkannya, proses pembelajaran dirancang dalam suasana demokratis dan saling menghormati dengan pendekatan yang berpusat pada siswa, inklusif dan kritis. Hal paling penting dalam pendidikan pembebasan di ruang kelas adalah hubungan antar guru dan siswa dalam relasi kesetaraan. Pernyataan ini menyiratkan bahwa pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan tetapi proses yang melibatkan interaksi yang setara antara guru dan siswa dimana kedua pihak memiliki peran yang sama penting dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran yang Berpusat pada Peserta Didik
Sebagai sebuah alat pembebasan, dalam proses pembelajaran peserta didik  harus dipandang sebagai subjek aktif yang terlibat dalam proses pembelajaran, bukan sekadar objek penerima informasi. Freire mengkritik keras sistem pendidikan konvensional yang ia sebut sebagai "pendidikan gaya bank". Siswa dianggap sebagai "tabungan" dan guru sebagai "penabung" yang mendepositkan pengetahuan ke dalamnya. Ia mengingatkan pentingnya menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran yang aktif dan kritis. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi alat untuk memberdayakan individu dan masyarakat. Pembelajaran yang berpusat pada siswa menciptakan ruang dialog yang setara antara siswa dan pendidik. Siswa bukan hanya penerima informasi, tetapi juga mitra yang aktif dalam membangun pengetahuan bersama. Dengan pendekatan ini, pembelajaran tidak lagi sekadar transfer informasi satu arah. Siswa didorong untuk menjadi peserta aktif yang terlibat dalam proses penemuan pengetahuan. Mereka diajak untuk mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman pribadi, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan mudah diingat. Selain itu, mereka juga dilatih untuk membuat keputusan, memecahkan masalah, dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri. Tujuan akhir dari pendekatan ini adalah membentuk individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan. Dalam proses pembelajaran  guru dapat memberikan kendali yang lebih banya kepada siswa melalui student choice, student voice, dan ownership. Student choice yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide dan pendapatnya tentang proses pembelajaran. Guru dapat memberikan opsi dalam memilih metode, evaluasi sesuai dengan gaya belajar mereka (student choice), serta pembelajaran harus mendorong siswau ntuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri (ownership).
Pembelajaran Dialogis
Dalam proses pembelajaran diharapkan menggunakan pendekatan dialogis yang menekankan pada interaksi multi arah antara pendidik dan peserta didik melalui dialog yang setara dan kolaboratif. Dialog menekankan pemikiran kritis sebagai usaha mengungkapkan suatu objek pembahasan untuk pemahaman yang mendalam. Melalui dialog siswa diajak untuk berpikir kritis, menggali pemahaman mendalam dan menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman serta realitas sosial mereka. Dalam implementasinya guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan pemantik untuk memicu diskusi kelas, menanyakan lebih mendalam dari jawaban yang disampaikan siswa sehingga mereka terlatih untuk memperjelas ide-ide mereka dan dapat mendefinisikan konsep yang mereka maksud dengan mendetail dan mendalam. Metode ini bukan untuk menguji benar atau salah jawaban yang diberikan tetapi menggali logika berpikir untuk membentuk pikiran yang kritis. Materi-materi yang disampaikan harus dihubungkan dengan pengalaman nyata yang dihadapi peserta didik sehingga lebih relevan dan bermakna. Setelah dialog, guru dapat mengajar sisiwa untuk membuat refleksi apa yang telah dipelajari dan penerapannya dalam kehidupan nyata.
Menghargai Keberagaman
Keberagaman dalam pendidikan juga berfungsi sebagai alat untuk membebaskan individu dari stereotip dan prasangka. Dalam keberagaman, peserta didik memiliki kesempatan untuk saling belajar dan bertumbuh. Dengan menghargai perspektif yang berbeda, anak dapat memperluas wawasan dan memperkaya pengalaman hidup serta membentuk karakter inklusif dan saling menghargai. Ketika siswa diajarkan untuk menghargai perbedaan, mereka tidak hanya menghindari diskriminasi, tetapi juga belajar untuk menghormati hak-hak dan martabat orang lain. Pendidikan yang inklusif memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk mencapai potensi maksimalnya, terlepas dari latar belakang mereka.
Tantangan