"Ting..ting..ting..." bunyi SMS masuk mengejutkanku.
Kubuka, nomor tak kukenal. "Maaf, aku batal datang memenuhi janji kita. Ada sesuatu yang tak bisa kutinggalkan. semoga kita bisa jumpa lain waktu."
Kukemasi tas dan botol minuman, beranjak pulang. Matahari tak lagi garang, meski tetap setia memancarkan sinar. Kulangkahkan kaki menuju halte. Menunggu bis yang kan mengantarku pulang. Aku ingin segera merebahkan tubuh, menghalau penat ini.
****
"Walau apa yang terjadi, tabahkan hatimu selalu. Jangan sampai kau tergoda, mulut manis yang berbisa...."
Masih terngiang lagu yang kita alunkan dulu. Seiring berjalannya waktu, aku tak lagi yakin rasa itu masih kau jaga. Terlebih aku sudah pasrah dengan hubungan kita. Semua sudah berubah.
Perjalanan ini telah menempaku menjadi keras dan tak lagi cengeng menjalani permainan hidup. Tak ingin lagi aku larut dalam angan semu yang bernama cinta. Barangkali, di masa puber dulu aku begitu menggebu mengejarmu. Tuk membuktikan bahwa aku mampu, menaklukkan hatimu. Ah, kenangan indah masa remaja.
Aku kini hanyalah seorang pemuda dengan sejuta mimpi meraih pelangi. Yang kupunya hanya kemauan keras. Dan tak mungkin aku melibatkanmu di dalamnya. Sudahlah, kita akhiri saja mimpi kanak-kanak dulu. Biarkan kukejar mimpi terkiniku. Walau harus kulepaskanmu dari dekapku.
****
Kudengar kau telah diterima bekerja di sebuah instansi Pemda. Maaf, bila tak lagi kurespon SMS darimu. Semenjak pertemuan kita yang batal siang itu, aku sudah memutuskan untuk tak lagi mengharapkanmu. Biar semua hanya menjadi kenangan manis yang takkan terlupa seumur hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H