Mohon tunggu...
dwi setiawan
dwi setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Founder Sekolah Kita Menulis Cabang Langsa

CIVIL ENGINEERING ʟᴀᴋɪ-ʟᴀᴋɪ ɪᴛᴜ ᴛᴜᴀɴ ᴅᴀʀɪ ɴᴇɢᴇʀɪ ɴʏᴀ ꜱᴇɴᴅɪʀɪ. 𝗬𝗮𝗸𝗶𝗻 𝘂𝘀𝗮𝗵𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tong Kosong, Siapa Untung?

6 September 2024   07:21 Diperbarui: 6 September 2024   07:21 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena "kotak kosong" menjadi larut dalam konotasi baru saat ini. Seakan menjadi sebuah trend baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Namun menurut penulis sendiri, praktik borong partai ini justru dapat menjadi sebuah fenomena yang dapat diartikan bahwa rakyat tak usah lagi perlu bingung memilih pemimpin terbaiknya. 

Sebab dengan galangan kekuatan, dinasti ataupun kelompok partai yang sudah mencapai tingkatan terkuatnya (overpower) karna sudah memiliki kekuatan (kursi) sepenuhnya yang menguasai daerah tersebut. Maka cukup dengan kesepakatan itu saja, pemimpin tanpa lawan itu yang didorong untuk maju, mewarisi kekuasaan untuk dijalankan.

Memang kalau mengacu dalam sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada), istilah "kotak kosong" ini memang diartikan berjalannya proses pilkada tersebut yang hanya memiliki satu pasangan calon, sehingga dibuatlah kotak lain yang kosong alias tak berisi nama. 

Namun jika ini terjadi, artinya sistem demokrasi didaerah tersebut sudah mencerminkan adanya kemungkinan terdapat masalah mendasar dalam sistem politik dan pilkada. Karna pemimpin yang harusnya lahir dari proses demokrasi yang berjalan sempurna karna sudah memilih pemimpin terbaik dari yang terbaik oleh rakyat dan kedepannya berjalan dengan keseimbangan, kemungkinan sudah tak berjalan dengan keseimbangan lagi nantinya.

Partai politik bisa dibilang gagal menjadi bagian dari keterwakilan masyarakat, karna perannya melahirkan pemimpin melalui kaderisasi tidak berjalan semestinya. Atau barangkali Partai Politik semakin pragmatis sebab mengedepankan negosiasi politik yang menguntungkan partai dan demi cari aman untuk menjadi bagian yang memenangkan pemilihan.

Kekuasaan atau pemerintahan yang sudah ditempa oleh kesepakatan para elite kuasa (koalisi), mungkin tidak akan berjalan dengan semestinya, sebab ditakutkan kursi-kursi legislatif yang harusnya mengawasi, justru sudah sepenuhnya menjadi bagian dari lahirnya eksekutif (pemimpin) yang mewariskan kekuasaan melalui sistem "kotak kosong" ini. Sehingga berjalannya pemerintahan nanti akan berjalan searah tanpa ada keseimbangan antar legislatif dan eksekutif.

Sungguh rakyat yang sangat dirugikan jikalau fenomena "kotak kosong" ini terus terjadi. Sebab bagi para politikus jabatan pemimpin adalah sumber kekuasaan dan peluang memupuk keuntungan. Sedangkan bagi rakyat, pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin berkualitas yang dengan visi misi nya, dapat membuat daerah semakin maju dan rakyat pun bisa merasakan kesejahteraan.

Kekhawatiran pun semakin menjadi, sebab trend "kotak kosong" semakin lama semakin meningkat. Jika kita melihat beberapa pengalaman Pilkada beberapa waktu lalu di Indonesia, fenomena "kotak kosong" ini justru terus saja meningkat di setiap pilkada nya.


Dimulai dari Pilkada tahun 2015 yang hanya terdapat 3 daerah yang menjalankan sistem kotak kosong ini, justru terus meningkat pada Pilkada tahun 2017 menjadi 9 daerah, kemudian bertambah lagi pada Pilkada 2018 menjadi 16 daerah, dan yang terakhir pada Pilkada 2020 meningkat kembali menjadi lebih banyak hingga mencapai 25 daerah. (dihimpun dari berbagai sumber).

Fenomena "kotak kosong" inipun mulai kembali ramai diperbincangkan menjelang akan diselenggarakan nya Pilkada 2024 nanti. Sebab jika fenomena ini terus terjadi dan semakin meningkat lagi nantinya. Berarti ada indikasi bahwa kualitas demokrasi kita sudah semakin merosot dan jatuh.

Meskipun fenomena "kotak kosong" ini bukan barang haram, dan memang tersedia dalam sistem pilkada kita. Namun bagi penulis ini merupakan awal dari kekusutan dalam berdemokrasi. Karna barangtentu akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dalam memilih dan masyarakat pun tak bisa menghalangi jalannya pemilihan yang hanya menyodorkan 1 pasangan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun