Mohon tunggu...
Dwi Sakti
Dwi Sakti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hegemoni Maskulinitas dan Praktik Poligami

16 Agustus 2015   16:25 Diperbarui: 16 Agustus 2015   16:40 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Pada kesempatan kali ini saya hanya ingin bercerita sedikit mengenai hegemoni maskulinitas dan praktik poligami yang pernah menjadi bagian dari perjalan hidup saya. Sebagai anak yang lahir dalam keluarga poligami , dan tumbuh di lingkungan keluarga yang menganut ajaran agama kuno (kuno = apapun yang dilakukan pemimpin agama selalu benar ) saya menerima praktik poligami yang dilakukan orang tua saya tanpa pertanyaan sama sekali, mungkin saat itu saya tidak pernah berpikir bahwa itu salah dan berdampak luar biasa. tapi yang jelas saat itu saya tidak menggungat apapun dan siapapun termasuk mengugat Tuhan.

 

Seperti yang sudah saya jelaskan, tidak ada siapapun yang saya gugat atas kondisi saya yang terlahir di tengah keluarga yang menganut praktik poligami, saya menerima begitu saja, bahkan saat saya menyadari bahwa hanya ibu, yang ada setiap waktu di samping saya, bahwa hanya tandatangan ibu yang ada di lembar raport TK sampai SMA, bahwa hanya ibu yang harus datang kesekolah saya, saya tetap menerima itu. Sosok ayah bisa dikatakan tidak ada di setiap proses tumbuh kembang dan setiap moment berharga yang saya miliki . Namun tetap saya juga tidak mengungat eksistensi beliau sebagai ayah pada waktu itu. Saya sangat menghormati beliau sebagai ayah dan bahkan saya sangat menyayanginya.

 

Sebagai anak produk poligami, saya merasa cukup bahagia hidup dalam institusi keluarga yang hanya punya satu orang tua yang selalu ada, yaitu ibu ,dan harus berbagai ayah dengan banyak orang, bertemu dengan ayah mungkin hanya sebulan sekali, dan dengan beberapa pandangan negative dari masyarakat, saya tetap merasa seperti anak lain pada umumnya yang memiliki orang tua lengkap yang selalu ada di tengah tengah mereka, saya tidak merasa frustasi, bahkan saya masih ingat betul, seringkali saya mendapatkan buku – buku cerita baru, sepeda baru dan makanan makanan “kota” yang mungkin anak anak disekitar rumah saya belum mendapatkanya, semua saya dapatkan dari kiriman ayah. Saya menikmati masa kanak kanak sampai masa dewasa dengan baik meskipun saya masih mengingat betul beberapa orang tua dari teman yang melarang anaknya untuk bermain dengan saya hanya karena praktik poligami yang dilakukan oleh orang tua saya. ( Saya menjadi tidak membayangkan jika di zaman sekarang masih ada anak yang diintimidasi seperti itu, yang harus menjadi korban dari keputusan yang dilakukan orang tuanya ). Namun yang jelas pada saat itu sebagai anak produk poligami, saya tidak merasakan “kesengsaraan “ saya tetap menjalani hidup saya seperti biasa, tumbuh dan berkembang dengan bahagia, dan saat ini saya sadar betul bukan karena kebesaran hati saya, yang membuat saya tetap bisa hidup normal tapi karena ketidaktahuan saya akan betapa hebatnya dampak poligami bagi anak anak, perempuan dan keluarga.

 

Sekarang saya mulai belajar, bahwa ketidaktahuan seseorang akan satu hal terkadang juga menyelamatkan hidup mereka, saya mulai berterimaksih pada Tuhan bahwa saat itu saya tidak di beri gambaran tentang dampak hebat bagi anak anak dan perempuan yang orang tua atau suaminya melakukan praktik poligami. Poligami sesungguhnya adalah salah satu bukti dari hegemoni maskulinitas yang tidak disadari oleh mayarakat pada waktu itu. Bagaimana laki laki ( ayah saya ) mencoba menujukan dominasi dan kekuasaanya sebagai laki laki, dengan mengambil keputusan untuk berpoligami. Beliau diuntungkan menjadi laki –laki yang lahir ditengah budaya patriaki yang kemudian secara tidak langsung memberinya ”tiket “ emas untuk mendominasi apapun disekitarnya, Tidak ada yang salah, karena mungkin beliau sendiri tidak paham apa yang beliau lakukan, beliau lahir saat budaya patriaki memang sudah mengakar. Begitu juga dengan ibu saya pada waktu itu, mungkin beliau juga tidak menyadari bahwa beliau hidup dalam jeratan hegemoni maskulinitas ayah saya yang sebenarnya juga merugikan beliau sebagai perempuan. saya masih teringat dengan jelas, seumur hidup ayah saya, jika beliau pulang kerumah kami, saya tidak pernah melihat beliau melakukan pekerjaan domestic dalam keluarga, semua dilakukan oleh ibu saya, yang pada saat itupun sebagai perempuan, istri dan ibu beliau juga disibukan dengan pekerjaan mencari nafkah. namun ibu tidak mengenal istilah double burden dan tetap saja menikmati peran peran itu tanpa mengugatnya sama sekali, mungkin pada waktu itu selain tidak memahami konsep ketidakadilan berbasis gender, doktrin agama juga menyumbang peran yang sangat besar untuk “melegalkan “ praktik poligami dan kekerasan terselubung lainya serta bisa membuat perempuan merasa berdosa jika mempertanyakanya atau bahkan menggugatnya.

 

Sampai hari ini, doktrin agama juga masih digunakan oleh laki laki untuk melegalkan niat mereka berpoligami. Mereka keluarkan berbagai ayat dalam Al-quran untuk dijadikan jurus sakti melegalkan praktik poligami, bahkan ada alasan yang menurut saya terlalu konyol ketika berpoligami dijadikan jawaban agar laki laki tidak berselingkuh, atau berzina dengan perempuan lain, itu tidak ada relevansinya sama sekali, karena ketika laki laki sudah terikat perkawinan dengan satu perempuan, godaan ingin berselingkuh atau berzina bisa mereka redam dengan berpuasa atau sholat, anjuran itu juga jelas ada di Al-quran bukan? lalu kenapa memilih poligami, ketika kita sabenarnya sangat sadar poligami adalah pintu dari serangkaian kekerasan dan ketidakadilan untuk banyak pihak.. Dalam Islam, nabi Muhammad berpoligami bahkan setelah ditingal wafat oleh istri beliau yang pertama, beliau berpoligami juga karena alasan yang sangat mulia, karena pada waktu itu banyak sekali istri dari sahabat beliau yang menjadi janda ketika suami mereka wafat di medan perang, dan bukan semata mata karena nafsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun