Mohon tunggu...
Dwi Safty Wulandari
Dwi Safty Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Untuk menjadi bintang, kamu harus bersedia untuk ditempatkan di titik paling gelap. Karena bintang tidak dapat bersinar tanpa malam.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelisik Ikatan Pernikahan dalam Kacamata Hukum Perdata Islam di Indonesia

29 Maret 2023   21:05 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:16 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Dwi Safty Wulandari

NIM : 212121030

Kelas : 4A

Prodi : Hukum Keluarga Islam

A. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Perdata Islam di Indonesia merupakan suatu peraturan atau aturan yang mengatur hak serta kewajiban seseorang dalam permasalahan munakahat (pernikahan, perceraian, talak, dan hal lainnya yang berkaitan dengan masalah keluarga), lalu ada permasalahan dalam surat perintah (warisan, ahli waris, pembagian waris, dan lainnya), dan yang terakhir adalah permasalahan mu’amalah (sewa menyewa, pinjam meminjam, jual beli, dan hal yang berkaitan dengan mu’amalah).

Tentu saja, peraturan atau aturan tersebut haruslah bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits yang dimana kedua sumber peraturan itu adalah landasan utama di dalam agama Islam. Kemudian barulah peraturan atau aturan itu menyesuaikan dengan norma serta adat dan budaya yang berada di Indonesia, baik itu menyesuaikan dengan asas-asas yang berada di dalam Pancasila maupun di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Hukum Perdata ini juga disebut sebagai hukum privat yang dimana hukum tersebut hanya mengatur hak serta kewajiban dari perseorangan atau individual, baik itu perseorangan maupun badan hukum. Berbeda dengan Hukum Pidana yang mengatur hukum publik dan kepentingan umum yang dimana hukum pidana memerlukan adanya dua unsur penting didalamnya yaitu niat dan perbuatan tindak pidana, sedangkan di dalam hukum perdata jika seseorang tersebut hanya memiliki niat tanpa adanya perbuatan maka ia tidak dapat dikategorikan dari pelanggaran hukum. 

Karena di dalam hukum perdata memerlukan pelaporan dari pemohon atas suatu perbuatan dan saat di Pengadilan nanti diperlukannya bukti-bukti yang valid untuk membuktikan atas salah atau tidaknya seseorang tersebut, dan hal itulah yang membuat adanya pihak menang dan pihak yang kalah, dan bagi pihak yang kalah seseorang itu harus mengganti rugi.

B. Prinsip Perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI

a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b) Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c) Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

d) Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. 

Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

C. Pendapat Penulis Mengenai Pentingnya Pencatatan Perkawinan Serta Dampak Apabila Pernikahan Tidak Dicatatkan (Dilihat dari sisi Sosiologis, Religius dan Yuridis)

Menurut konteks Sosiologis itu sendiri, masyarakat haruslah menjadi saksi aatau tahu bahwa pasangan tersebut telah menikah dan pernikahan keduanya sudah tercatat oleh negara, agar tidak adanya fitnah dan baik dari pasangan itu sendiri maupun keluarga dari kedua belah pihak dapat hidup dengan aman dan damai serta menghasilkan keturunan yang sah di mata agama dan juga negara. 

Dan untuk dampak dari yang akan terjadi apabila pasangan yang sudah menikah tidak mencatatkan pernikahannya maka hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan yang berujung pada pemikiran negatif sehingga timbul fitnah dan buah bibir bagi masyarakat yang berada di sekitar lingkungannya. Sehingga membuat pasangan maupun keluarga dari pasangan tersebut merasa tidak nyaman karena menjadi buah bibir dari masyarakat di sekitar.

Sedangkan menurut konteks Religius, agama haruslah memenuhi hak-hak serta kewajibannya. Banyak ulama fiqh berpendapat bahwa, sebuah pernikahan itu merupakan salah satu ibadah yang apabila dilaksanakan maka hal tersebut dapat menyempurnakan separuh agama. 

Dalam pencatatan perkawinan itu sendiri lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya, sehingga diharuskan bagi pasangan yang telah menikah untuk mencatatkan pernikahannya. Meskipun pencatatan pernikahan itu sendiri tidak disebutkan di dalam Al-Quran maupun Hadits, namun jika kita melihat dari sisi era atau perkembangan zaman, sudah tentu populasi manusia saat ini semakin bertambah dan jika tidak mencatatkan pernikahan, kita akan sulit untuk mendapatkan hak juga kewajiban kita.

Yang terakhir adalah menurut  konteks yuridis, yang dimana di dalam pencatatan perkawinan ialah pembuatan pencatatan hukum sekaligus sebagai peristiwa hukum yang mengandung nilai sakral oleh ketentuan hukum agama dan juga penentu dari keabsahan perkawinan tersebut. Apabila tidak dicatatkan dalam pencatatan perkawinan, maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan di mata hukum, karena tidak adanya bukti bahwa keduanya pernah melangsungkan pernikahan, hal ini sangat merugikan bagi pihak wanita.

D. Pendapat Ulama dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil

Di dalam Kompilasi Hukum Islam, telah mengatur persoalan perkawinan wanita hamil yang terdapat di dalam Pasal 53 yang berbunyi:

1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Sedangkan menurut pendapat  para ulama mengenai perkawinan wanita hamil, ada beberapa pendapat dari para ulama terkait permasalahan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa menikahi wanita hamil tersebut dinilai sah. 

Namun sebagian ulama lainnya melarang hal ini. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad yang dimana didukung kuat oleh firmal Allah SWT. Dalam Q.S. An-Nur ayat 3 yang artinya, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”

Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi dua syarat: Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala. 

Kedua: Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim). Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina.

E. Cara Untuk Menghindari Perceraian

Perceraian adalah sesuatu hal yang dibenci oleh Allah SWT. namun hal tersebut diperbolehkan apabila tidak adanya jalan keluar di dalam suatu perselisihan dalam rumah tangga, tetapi sebaiknya perceraian haruslah dihindari oleh seorang muslim. Dibawah ini adalah cara untuk menghindari perceraian yang dibenci oleh Allah SWT.

Yang pertama, sebagai pasangan suami istri haruslah saling dan sering berkomunikasi. Ketika ada suatu unek-unek yang sedang dirasakan oleh salah satu pihak, alangkah lebih baiknya jika memberitahu pasangannya. Hal ini dapat menghindari rumah tangga dari suatu perselisihan. Atau bahkan sebelum adanya unek-unek pun tidak masalah. Karena kunci utama di dalam suatu hubungan adalah komunikasi. Jangan sampai terjadi miskomunikasi yang mengakibatkan pasangan suami istri menaruh rasa curiga.

Yang kedua, peka dan mengerti terhadap pasangan. Cara yang pertama dengan yang kedua ini saling berkaitan dan berhubungan. Sebagai pasangan yang baik seseorang haruslah memiliki kepekaan terhadap pasangannya. Semua tabiat, tingkah laku, kebiasaan pasangan perlu kita ketahui dan pahami, supaya meskipun salah satu pasangan tidak mengatakannya pun pihak pasangan lainnya sudah lebih dulu mengerti kemauan sang pasangan. Sikap toleransi dan juga saling memaklumi juga sangat penting di dalam suatu hubungan rumah tangga.

Yang ketiga adalah saling menaruh kepercayaan. Jika pasangan suami istri tidak saling menaruh rasa percaya kepada pasangannya, selama pernikahan itu berlangsung maka akan selalu ada rasa curiga yang dapat mengakibatkan perselisihan diantara keduanya dan berujung kepada perceraian.

F. Review Buku

Judul Buku : Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.

Penulis : Dr. Mardani.

Penerbit : PT RajaGrafindo Persada.

Terbit : 2015 Cetakan : Cetakan Kedua, Januari 2015.

Kesimpulannya adalah, Buku karya Dr. Mardani yang berjudul “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia” ini secara pasti membahas mengenai hukum waris islam yang berada di Indonesia, dimulai dari pembahasan mengenai pengertian hukum kewarisan islam, pembagian harta warisan dalam agama islam, wasiat dan hubungannya dengan hukum kewarisan, hibah, serta waris islam dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. dari masuknya islam ke Indonesia yang  melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian dan juga politik. 

Lalu untuk ulama-ulama sebelum kemerdekaan Indonesia itu sendiri ialah Sultan Maliki Zahir dari Kerajaan Samudera Pasai, lalu ada Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, kemudian Nuruddin Ar-Raniri, Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili, Syekh Arsad Al-Banjari, Syekh Abdul Malik bin Abdullah Trengganu, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdul Hamid Hakim, dan lain-lain. Lalu untuk perbedaan antara Waris, Hibah, dan Wasiat terdapat dari segi waktu, segi penerimanya, segi nilai atau ketentuannya, dan dari segi hukum. 

Untuk dari segi waktunya, kalau waris dan wasiat itu setelah wafat sedangkan hibah itu sebelum wafat. Lalu dari segi penerima waris haruslah sang ahli waris, kalau hibah bisa dari ahli waris dan bukan ahli waris, sedangkan wasiat bukan dari ahli waris. Sedangkan dari segi nilainya adalah waris harus sesuai dengan faraidh, untuk hibah itu bebas, dan untuk wasiat maksimal 1/3. Yang terakhir dari segi hukumnya, jika waris itu wajib sedangkan hibah dan wasiat itu hukumnya sunnah.

Kemudian untuk kesan setelah membaca buku ini adalah, penulis jadi lebih banyak belajar mengenai Hukum Kewarisan Islam yang ada di Indonesia baik itu dari segi Islam, segi Hukum di Indonesia yang tidak hanya berfokus pada segi Islam tetapi ada dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), lalu ada juga yang sesuai dengan hukum adat. 

Kemudian dalam penentuan warisan, wasiat, dan hibah itu juga tidak sembarang dan asal-asalan tetapi ada hukum-hukum, ketentuan-ketentuan, rukun-rukun, syarat-syarat, dan bahkan ada juga larangan-larangan dalam penentuan pembagian masalah warisan, wasiat, dan hibah tersebut. Karena jika waris, wasiat, dan hibah dilakukan tanpa adanya ketentuan-ketentuan maka bisa menimbulkan permasalahan yang rumit, seperti misalnya adalah perpecahan keluarga karena konflik warisan yang dirasa oleh beberapa ahli waris itu tidak cukup adil dalam pembagiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun