Pendahuluan
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram tidak hanya memungkinkan orang untuk terhubung, tetapi juga menjadi alat penting dalam menyebarkan informasi, membentuk opini publik, dan mendukung gerakan sosial.
Namun, seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial, muncul kekhawatiran mengenai dampak negatifnya, seperti penyebaran berita palsu, ujaran kebencian, dan radikalisasi. Oleh karena itu, beberapa pemerintah telah mempertimbangkan atau bahkan menerapkan pembatasan akses media sosial dengan dalih menjaga keamanan nasional dan ketertiban umum. Pertanyaannya adalah, apakah tindakan ini merupakan solusi efektif atau justru pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi yang fundamental?
Pembahasan
Pembatasan akses media sosial sering kali dianggap sebagai langkah yang diperlukan untuk mencegah penyebaran informasi berbahaya dan melindungi masyarakat dari potensi kerusuhan. Misalnya, di negara-negara tertentu, pemerintah telah memblokir akses ke platform media sosial selama periode ketegangan politik atau kerusuhan untuk mencegah penyebaran hoaks yang dapat memperburuk situasi.
Pendukung pembatasan ini berargumen bahwa media sosial dapat menjadi alat yang sangat kuat bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk merekrut anggota baru, menyebarkan propaganda, dan mengkoordinasikan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, membatasi akses dianggap sebagai tindakan preventif yang sah untuk menjaga keamanan publik.
Namun, di sisi lain, pembatasan akses media sosial menimbulkan pertanyaan serius tentang pelanggaran kebebasan berekspresi. Media sosial telah menjadi platform penting bagi individu dan kelompok untuk menyuarakan pendapat mereka, terutama di negara-negara di mana media tradisional dikendalikan oleh pemerintah.
Pembatasan ini dapat dilihat sebagai bentuk sensor yang mengekang hak-hak individu untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Selain itu, tindakan tersebut sering kali tidak proporsional, di mana seluruh populasi dirugikan oleh pembatasan yang hanya ditujukan untuk mengendalikan segelintir orang. Hal ini dapat menciptakan ketidakpercayaan antara warga dan pemerintah, serta memperburuk ketegangan sosial.
Pembatasan tersebut menuai banyak respon dari banyak kalangan dan aktivis karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” maupun instrunmen hukum Hak Asasi manusia lainnya. (Johan Imanuel / Advokat, “Pembatasan Akses Sosial Media Ditinjau dari UU Telekomunikasi”, diakses dari: https://www.peradi.or.id/index.php/infoterkini/detail/pembatasan-akses-sosial-media-ditinjau-dari-uu-telekomunikasi)
Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO), pembatasan ini dilakukan untuk membatasi penyebaran hoaks dan konten provokatif yang beredar luas di media sosial. "Kami harus mengambil langkah tegas untuk memastikan keamanan nasional dan menjaga ketertiban umum," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika dalam konferensi pers yang diadakan pada hari Selasa. "Pembatasan ini bersifat sementara dan akan dicabut begitu situasi kembali kondusif."
Namun, Menko Polhukam menambahkan bahwa pembatasan media sosial yang telah dilakukan pada 22 hingga 25 Mei lalu sudah selesai dan dicabut. “Itu hanya kita gunakan kalau keadaan betul-betul membutuhkan. Kami sudah meminta maaf kepada masyarakat pengguna internet dan medsos yg dirugikan. Tetapi, kami juga memberikan pemahaman bahwa kepentingan negara dan bangsa lebih besar dari kepentingan perorangan dan kelompok,” ucap Menko Polhukam di kantornya, Kamis (13/6/2019).