EKSISTENSI PERDA YANG BERNUANSA SYARIAH DI INDONESIA
MENURUT NEGARA DEMOKRASI
Dwi Rahayu _33030200001
Prodi Hukum Tata Negara
Fakultas Syari'ah
Universitas Islam Negeri Salatiga
dwira2801@gmail.com
Abstrak
Peraturan Daerah sebagai salah satu produk hukum daerah merupakan sesuatu yang inheren dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai dampak dari sistem otonomi daerah itu sendiri yang didasari oleh kemandirian. Kemandirian itu sendiri diartikan sebagai daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Eksistensi perda Syariah yang sedang marak bahkan sampai mengatur hal hal yang masuk ke ranah privat seperti cara berpakaian dan waktu keluar malam. Dan hal tersebut dianggap sebagai dekriminaasi kelompok minoritas dan tidak tertera jelas urgensinyya dalam masyarakat. pemerintah harus menghindari peraturan daerah yang diskriminatif. Kebijakan yang diskriminatif hanya akan meningkatkan konflik dan ketegangan di masyarakat. Kedua, undang-undang syariah harus dibuat dan disusun berdasarkan penelitian mendalam untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan masyarakat setempat terhadap undang-undang tersebut.
Kata Kunci : Peraturan Daerah, Peraturan Daerah Syariah, Demokrasi
Abstrack
Regional Regulations as one of the regional legal products are something inherent to the Regional Autonomy system. This is the impact of the regional autonomy system itself which is based on independence. Independence itself is defined as the region having the right to regulate and manage the domestic affairs of its own government. The widespread existence of Sharia regulations even regulates things that enter the private realm, such as how to dress and when to go out at night. And this is considered decriminalization of minority groups and its urgency is not clearly stated in society. The government must avoid discriminatory regional regulations. Discriminatory policies will only increase conflict and tension in society. Second, sharia laws must be created and drafted based on in-depth research to find out how much the local community needs these laws.
Keywords : Local regulation,Sharia Regional Regulations, Democracy
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum, dimana segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Syariah, yang merupakan peraturan daerah yang didasarkan pada prinsip-prinsip agama Islam. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, atau kota, dan Dewan Perwakilan Provinsi dan Kabupaten memiliki otoritas untuk menetapkan peraturan daerah syariah. Ini adalah manifestasi dari gagasan otonomi daerah, yang didefinisikan sebagai "hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia".Â
Salah satu konsekuensi dari pengaturan urusan pemerintahan daerah adalah bahwa pemerintah daerah harus memiliki kemampuan untuk membuat instrumen hukum yang sesuai dengan keadaan lokal. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah sebagaimana yang diberikan oleh Undang-Undang, bersama dengan tanggung jawab lain yang diberikan oleh peraturan daerah. Memang persoalan penerapan syariat Islam sebenarnya menjadi bagian dari pendekatan panjang dalam sejarah umat Islam Indonesia. Usaha memperjuangkan syariat Islam sesungguhnya tidak pernah kendur. Selalu saja bermunculan individu atau kelompok yang berusaha keras memperjuangkan penerapan syariat Islam lewat jalur konstitusi. Jika ini kita amati secara saksama bahwa usaha mereka sesungguhnya telah memberikan beberapa hasil konkrit contohnya saja beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi syariat Islam adalah (1) Undang-Undang no 1 tahu 1971 tentang Perkawinan, (2) Peraturan Pemerintah no 28 tahun 1977 tentang Perwakafan, (3) Undang-Undang no 23 tahun 1999 tanteng system Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syariah, (5) Inpres no 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (6) Undang-Undang no 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan (7) Undang- Undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat.
METODE PENELITIAN
Pada dasarnya, metode penelitian adalah metode ilmiah untuk mengumpulkan data untuk tujuan dan tujuan tertentu. Pada dasarnya, penelitian ini mencari kebenaran, yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan atau pertanyaan yang belum diketahui. Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan atau penelitian normative. Sumber lain yang digunakan peneliti terdiri dari informasi yang diungkapkan oleh media serta komentar dari pakar agama dan hukum yang ditampilkan dalam berita tersebut. Tentu saja, sumber-sumber ini akan dievaluasi lagi sesuai dengan peraturan dan undang-undang agama di Indonesia.
PEMBAHASAN
DEFINISI PERDA SYARIAH
Peraturan daerah adalah salah satu produk perundang-undangan tingkat daerah yang dibentuk oleh kepala daerah, baik daerah Provinsi maupun daerah Kabupaten/Kota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat secara legal dan harus ditegaskan dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta secara teknis diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya.2 Untuk membentuk Peraturan Daerah dianggap cukup rumit karena memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang cukup terutama tentang teknik  pembentukannya dan kondisi masing-masing daerah, sehingga Peraturan Daerah yang dibentuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum. Peraturan syariah didefinisikan sebagai "setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait, atau setidak-tidaknya dianggap terkait, dengan hukum atau norma-norma ke-Islaman".
 Definisi ini menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai peraturan syariah kadang-kadang memiliki hubungan langsung dengan hukum Islam. Namun, ada yang benar-benar tidak berkaitan dengan hukum Islam Peraturan syariah didefinisikan sebagai "setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait, atau setidak-tidaknya dianggap terkait, dengan hukum atau norma-norma ke-Islaman". Definisi ini menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai peraturan syariah kadang-kadang memiliki hubungan langsung dengan hukum Islam. Namun, ada yang benar-benar tidak berkaitan dengan hukum Islam. elain hal tersebut bagi kalangan yang sepakat dengan penerapan Syariat Islam secara formal di Indonesia setidaknya memiliki 3 (tiga) permasalahan yang cukup serius;5 Pertama, menyangkut masalah historis. Secara historis, gagasan formalisasi Syariat Islam dalam politik kenegaraan bukan gagasan yang baru. Kalangan Islam tempo dulu memperjuangkan secara serius, sebagaimana terlihat dalam Piagam Jakarta, yang lantas menjadi tonggak historis bagi kalangan penuntut ide formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Di Indonesia, ada tujuh jenis perda syariah. Pertama, undang-undang moral. Ini terdiri dari perda-perda yang berkaitan dengan zakat, infaq, dan shadaqah, kedua, perda-perda yang membatasi perjudian, minuman keras, dan prostitusi, dan ketiga, perda-perda yang berkaitan dengan pendidikan Islam.Â
Perda-perda ini mencakup baca tulis Al-Quran dan madrasah diniyah, dan keempat adalah perda yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi Islam. Perda mengenai Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) termasuk dalamnya. Kelima, hukum tentang iman Muslim. Ini mencakup undang-undang yang melarang kegiatan Ahmadiyah atau sekte Muslim lainnya yang dianggap sesat. Keenam, undang-undang yang mengatur pakaian Muslim, termasuk kewajiban perempuan untuk mengenakan jilbab. Ketujuh, undang-undang syariah dalam jenis lain. Perda-perda yang termasuk dalam kategori ini termasuk peraturan tentang masjid agung, pelayanan haji, dan penyambutan Ramadhan.
PERDA SYARIAH DALAM PANDANGAN NEGARA DEMOKRASI
Dalam pemikiran yunani, "demokrasi", atau "pemerintahan oleh rakyat", semula berarti jenis politik di mana rakyat memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik.6 Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme dalam arti landasan pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealka berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka Bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.7 Sebagai negara yang baru lahir di pertengahan abad ke-XX (tepatnya) 17 Agustus 1945, sebenarnya terwarisi oleh berbagai konsep kenegaraan dari
sejumlah negara yang telah lebih dahulu membangun negara dan kemerdekaannya. Crouch (2009) dan Candraningrum (2006, 2007) pernah membahas masalah ini.Â
Crouch(2009) menyatakan bahwa beberapa perda syariah tampaknya mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas. Salah satu contohnya adalah Perda Propinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat, yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagai objek dari undang-undang. Ayat 1 dari Pasal 6 Perda menyatakan bahwa perempuan dilarang berada di luar rumah tanpa muhrim antara jam 12 malam sampai jam 4 pagi, dan ayat 2 menyatakan bahwa perempuan juga harus berpakaian sopan di tempat umum.Â
Aturan serupa tidak berlaku untuk pria. Diskriminasi ini juga ditunjukkan oleh peraturan yang melarang penganut Ahmadiyah beraktivitas di beberapa wilayah. Misalnya, Peraturan Gubernur Sumatra Barat No. 17/2011, Peraturan Gubernur Jambi No. 27/2011, Peraturan Bupati Pandeglang No. 5/2011, dan Peraturan Bupati Bekasi No. 4/2011 menunjukkan hal ini. Masalah dengan standar peraturan daerah, Tidak sedikit dari perda-perda tersebut yang pasal-pasalnya diambil dari pasal-pasal undang-undang atau perda sejenis lainnya. Ini dapat terjadi dalam kasus perda zakat. Untuk contoh, Pasal 3 Perda Kota Padang Panjang No. 7/2008 serupa dengan Pasal 3 Perda Kabupaten Pesisir Selatan No. 31/2003, Pasal 2 Perda Kota Padang No. 2/2010, Pasal 2 Perda Kabupaten Purwakarta No. 3/2007, dan Pasal 2 Perda Kota Cimahi No. 2/2008. Selain itu, Pasal 4 Perda Kota Padang Panjang No. 7/2008 serupa dengan Pasal 3 Perda Kabupaten Solok Selatan No. 18/2006, Pasal 3 Perda Kabupaten Solok Perda No Banyak lagi
contoh kemiripan pasal dalam peraturan zakat. Perda-perda tentang baca tulis Al-Quran, madrasah diniyah, dan busana Muslim juga memiliki kemiripan. Kemiripan pasal dalam peraturan sejenis ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut dibuat tanpa melakukan penelitian mendalam. Pengusul dan pengambil kebijakan tampaknya hanya mengambil kebijakan dari daerah lain tanpa memeriksa apakah peraturan tersebut benar-benar diperlukan dan dapat diterapkan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah setempat. Penerapan undang-undang syariah masih menjadi masalah besar.Â
Sebagaimana disebutkan di atas, sangat sedikit, jika bahkan tidak ada, penelitian yang berfokus pada penerapan perda syariah di Indonesia. Misalnya, setelah bertahun-tahun disahkan, perda madrasah diniyah di beberapa daerah di Jawa Barat masih belum diterapkan. Selain itu, siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang di atas harus memiliki sertifikat baca tulis Al-Quran. Kebijakan tersebut hanya "hitam di atas putih" dan belum sampai pada tahap implementasi. Pada akhirnya, perda-perda tersebut hanya kuat dalam wacana, tetapi tidak efektif. Mengingat berbagai persoalan terkait pemberlakuan perda syariah tersebut, ada beberapa catatan yang kiranya dapat dijadikan sebagai vahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan perda syariah di Indonesia :Pertama, pemerintah harus menghindari peraturan daerah yang diskriminatif. Kebijakan yang diskriminatif hanya akan meningkatkan konflik dan ketegangan di masyarakat. Kedua, undang-undang syariah harus dibuat dan disusun berdasarkan penelitian mendalam untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan masyarakat setempat terhadap undang- undang tersebut. Sebelum pejabat yang berwenang mengesahkan perda, masyarakat harus diberi kesempatan yang cukup untuk memberi masukan. Efektivitas dan efisiensi kerugian juga harus menjadi bagian dari evaluasi rencana kerugian. Perda dapat diimplementasikan dengan lebih baik di masa depan daripada hanya menjadi "pajangan" yang tidak berguna. Ketiga, berkaitan dengan poin kedua, pengambil kebijakan harus memastikan bahwa pelaksana kebijakan telah siap untuk menerapkan peraturan yang telah disahkan.
 Untuk melihat sebuah Perda bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak perlu dikaji secara mendalam dan detail terhadap teks maupun substansi aturannya. Apabila memang secara jelas sebuah Perda mengatur tentang kewajiban yang menyangkut persoalan diskriminasi hukum bagi sebagian golongan ataupun pemaksaan menyeluruh bagi semua golongan sementara Perdanya hanya mengatur aspek dari satu komunitas, maka Perda tersebut telah bisa dinyatakan sebagai Perda diskriminatif. Akan tetapi jika muatan Perda yang dianggap bagian Perda berbasis syariah, seperti larangan Perdaran minuman keras, ataupun tertib Bulan Ramadhan masih mengatur wilayah-wilayah ketertiban umum hal itu bisa dibenarkan.Â
Implementasi perda syariah di Indonesia merupakan pengejawantahan dari agama, social, kultur dan kearifan lokal daerah yang pastinya berbeda-beda disetiap daerah oleh karena itu perda syariah sendiri mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan perda pada umumnya. Perda syariah sendiri pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat moralitas, Ibadah dan kesusilaan. Karakteristik perda syariah di daerah otonomi khusus dan daerah otonom pada umumnya berbeda. Perbedaan ini dikarenakan aspek yuridis di antara kedua bentuk daerah tersebut. Untuk Daerah otonomi khusus perda syariah yang dihasilkan murni bersumber dari hukum islam baik dalam norma dan sanksi. Sedangkan untuk daerah otonom pada umumnya perda Syariah yang dihasilkan tidak murni bersumber dari hukum islam karena dalam penerapan sanksi masih menggunakan hukum positif (KUHP).
PENUTUP
KESIMPULAN
Peraturan syariah didefinisikan sebagai "setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait, atau setidak-tidaknya dianggap terkait, dengan hukum atau norma-norma ke-Islaman". Definisi ini menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai peraturan syariah kadang-kadang memiliki hubungan langsung dengan hukum Islam.
Implementasi perda syariah di Indonesia merupakan pengejawantahan dari agama, social, kultur dan kearifan lokal daerah yang pastinya berbeda-beda disetiap daerah oleh karena itu perda syariah sendiri mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan perda pada umumnya.Â
Perda syariah sendiri pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat moralitas, Ibadah dan kesusilaan. Karakteristik perda syariah di daerah otonomi khusus dan daerah otonom pada umumnya berbeda. Perbedaan ini dikarenakan aspek yuridis di antara kedua bentuk daerah tersebut. Untuk Daerah otonomi khusus perda syariah yang dihasilkan murni bersumber dari hukum islam baik dalam norma dan sanksi. Sedangkan untuk daerah otonom pada umumnya perda Syariah yang dihasilkan tidak murni bersumber dari hukum islam karena dalam penerapan sanksi masih menggunakan hukum positif (KUHP).
Penerapan undang-undang syariah masih menjadi masalah besar. Sebagaimana disebutkan di atas, sangat sedikit, jika bahkan tidak ada, penelitian yang berfokus pada penerapan perda syariah di Indonesia. Misalnya, setelah bertahun-tahun disahkan, perda madrasah diniyah di beberapa daerah di Jawa Barat masih belum diterapkan. Selain itu, siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang di atas harus memiliki sertifikat baca tulis Al-Quran. Kebijakan tersebut hanya "hitam di atas putih" dan belum sampai pada tahap implementasi. Pada akhirnya, perda-perda tersebut hanya kuat dalam wacana, tetapi tidak efektif.
SARAN
Penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam tulisan, dan mereka berharap artikel ini akan bermanfaat bagi pembaca. Akibatnya, penulis mengharapkan kritik dari pembaca untuk membantu membuat dan menulis jurnal berikutnya lebih baik dan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Buehler, M. (2008). The rise of shari'a by-laws in Indonesian districts: An indication for changing
patterns of power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research.
Crouch, M. (2009). Religious regulations in Indonesia: Failing vulnerable froups? Review of
Indonesian and Malaysian Affairs.
Tesano, "Hirarkisitas Kedudukan Peraturan Menteri dengan Peraturan Daerah dalam Sistem
Peraturan Perundang-undangan diTinjau dari Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011," Jurnal Nestor Universitas Tanjungpura, 2015.
A.Zarkasi, S.H., "Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan",
Jurnal Hukum Inovatif Universitas Jambi, Jambi, 2010.
Kurniawan Zein, Sarifuddin MA (Ed), Syariat Islam Yes Syariat Islam No Dilema Piagam Jakarta
dalam Amandemen UUD 1945, Cetakan Pertama, Paramadina, Jakarta, 2001, h. 94-95
dikutip dari, Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Daerah Bernuansa
Syariah, (Yogyakarta, Safiria Insanai Press, 2010).
Rusli Kustiaman Iskandar, Pemilihan Umum Sebagai Implementasi Kedaulatan Rakyat Di
Indonesia, Disertasi, Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, 2016.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986).
Jimly Asshiddique, Perihal Undang-undang (Jakarta: Konstitusi Press, 2000).
Dedi Supriyadi, 2010, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Cv Pustaka Setia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H