Mohon tunggu...
Dwi Rahayu
Dwi Rahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Salatiga

Saya mahasiswa Dari Universitas Islam Negeri Salatiga Program Studi HukumTata Negara , Saya tertarik kedalam bidang kepenulisan, seperti, Novel,Cerpen, dan saya ingin berlatih menulis artikel dengan baik dan benar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Perda yang Bernuansa Syariah di Indonesia Menurut Pandangan Negara Demokrasi

18 Desember 2023   23:24 Diperbarui: 19 Desember 2023   00:19 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


PERDA SYARIAH DALAM PANDANGAN NEGARA DEMOKRASI
Dalam pemikiran yunani, "demokrasi", atau "pemerintahan oleh rakyat", semula berarti jenis politik di mana rakyat memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik.6 Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme dalam arti landasan pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealka berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka Bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.7 Sebagai negara yang baru lahir di pertengahan abad ke-XX (tepatnya) 17 Agustus 1945, sebenarnya terwarisi oleh berbagai konsep kenegaraan dari
sejumlah negara yang telah lebih dahulu membangun negara dan kemerdekaannya. Crouch (2009) dan Candraningrum (2006, 2007) pernah membahas masalah ini. 

Crouch(2009) menyatakan bahwa beberapa perda syariah tampaknya mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas. Salah satu contohnya adalah Perda Propinsi Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat, yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagai objek dari undang-undang. Ayat 1 dari Pasal 6 Perda menyatakan bahwa perempuan dilarang berada di luar rumah tanpa muhrim antara jam 12 malam sampai jam 4 pagi, dan ayat 2 menyatakan bahwa perempuan juga harus berpakaian sopan di tempat umum. 

Aturan serupa tidak berlaku untuk pria. Diskriminasi ini juga ditunjukkan oleh peraturan yang melarang penganut Ahmadiyah beraktivitas di beberapa wilayah. Misalnya, Peraturan Gubernur Sumatra Barat No. 17/2011, Peraturan Gubernur Jambi No. 27/2011, Peraturan Bupati Pandeglang No. 5/2011, dan Peraturan Bupati Bekasi No. 4/2011 menunjukkan hal ini. Masalah dengan standar peraturan daerah, Tidak sedikit dari perda-perda tersebut yang pasal-pasalnya diambil dari pasal-pasal undang-undang atau perda sejenis lainnya. Ini dapat terjadi dalam kasus perda zakat. Untuk contoh, Pasal 3 Perda Kota Padang Panjang No. 7/2008 serupa dengan Pasal 3 Perda Kabupaten Pesisir Selatan No. 31/2003, Pasal 2 Perda Kota Padang No. 2/2010, Pasal 2 Perda Kabupaten Purwakarta No. 3/2007, dan Pasal 2 Perda Kota Cimahi No. 2/2008. Selain itu, Pasal 4 Perda Kota Padang Panjang No. 7/2008 serupa dengan Pasal 3 Perda Kabupaten Solok Selatan No. 18/2006, Pasal 3 Perda Kabupaten Solok Perda No Banyak lagi
contoh kemiripan pasal dalam peraturan zakat. Perda-perda tentang baca tulis Al-Quran, madrasah diniyah, dan busana Muslim juga memiliki kemiripan. Kemiripan pasal dalam peraturan sejenis ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut dibuat tanpa melakukan penelitian mendalam. Pengusul dan pengambil kebijakan tampaknya hanya mengambil kebijakan dari daerah lain tanpa memeriksa apakah peraturan tersebut benar-benar diperlukan dan dapat diterapkan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah setempat. Penerapan undang-undang syariah masih menjadi masalah besar. 

Sebagaimana disebutkan di atas, sangat sedikit, jika bahkan tidak ada, penelitian yang berfokus pada penerapan perda syariah di Indonesia. Misalnya, setelah bertahun-tahun disahkan, perda madrasah diniyah di beberapa daerah di Jawa Barat masih belum diterapkan. Selain itu, siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang di atas harus memiliki sertifikat baca tulis Al-Quran. Kebijakan tersebut hanya "hitam di atas putih" dan belum sampai pada tahap implementasi. Pada akhirnya, perda-perda tersebut hanya kuat dalam wacana, tetapi tidak efektif. Mengingat berbagai persoalan terkait pemberlakuan perda syariah tersebut, ada beberapa catatan yang kiranya dapat dijadikan sebagai vahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan perda syariah di Indonesia :Pertama, pemerintah harus menghindari peraturan daerah yang diskriminatif. Kebijakan yang diskriminatif hanya akan meningkatkan konflik dan ketegangan di masyarakat. Kedua, undang-undang syariah harus dibuat dan disusun berdasarkan penelitian mendalam untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan masyarakat setempat terhadap undang- undang tersebut. Sebelum pejabat yang berwenang mengesahkan perda, masyarakat harus diberi kesempatan yang cukup untuk memberi masukan. Efektivitas dan efisiensi kerugian juga harus menjadi bagian dari evaluasi rencana kerugian. Perda dapat diimplementasikan dengan lebih baik di masa depan daripada hanya menjadi "pajangan" yang tidak berguna. Ketiga, berkaitan dengan poin kedua, pengambil kebijakan harus memastikan bahwa pelaksana kebijakan telah siap untuk menerapkan peraturan yang telah disahkan.

 Untuk melihat sebuah Perda bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak perlu dikaji secara mendalam dan detail terhadap teks maupun substansi aturannya. Apabila memang secara jelas sebuah Perda mengatur tentang kewajiban yang menyangkut persoalan diskriminasi hukum bagi sebagian golongan ataupun pemaksaan menyeluruh bagi semua golongan sementara Perdanya hanya mengatur aspek dari satu komunitas, maka Perda tersebut telah bisa dinyatakan sebagai Perda diskriminatif. Akan tetapi jika muatan Perda yang dianggap bagian Perda berbasis syariah, seperti larangan Perdaran minuman keras, ataupun tertib Bulan Ramadhan masih mengatur wilayah-wilayah ketertiban umum hal itu bisa dibenarkan. 

Implementasi perda syariah di Indonesia merupakan pengejawantahan dari agama, social, kultur dan kearifan lokal daerah yang pastinya berbeda-beda disetiap daerah oleh karena itu perda syariah sendiri mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan perda pada umumnya. Perda syariah sendiri pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat moralitas, Ibadah dan kesusilaan. Karakteristik perda syariah di daerah otonomi khusus dan daerah otonom pada umumnya berbeda. Perbedaan ini dikarenakan aspek yuridis di antara kedua bentuk daerah tersebut. Untuk Daerah otonomi khusus perda syariah yang dihasilkan murni bersumber dari hukum islam baik dalam norma dan sanksi. Sedangkan untuk daerah otonom pada umumnya perda Syariah yang dihasilkan tidak murni bersumber dari hukum islam karena dalam penerapan sanksi masih menggunakan hukum positif (KUHP).

PENUTUP


KESIMPULAN
Peraturan syariah didefinisikan sebagai "setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait, atau setidak-tidaknya dianggap terkait, dengan hukum atau norma-norma ke-Islaman". Definisi ini menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai peraturan syariah kadang-kadang memiliki hubungan langsung dengan hukum Islam.
Implementasi perda syariah di Indonesia merupakan pengejawantahan dari agama, social, kultur dan kearifan lokal daerah yang pastinya berbeda-beda disetiap daerah oleh karena itu perda syariah sendiri mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan perda pada umumnya. 

Perda syariah sendiri pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat moralitas, Ibadah dan kesusilaan. Karakteristik perda syariah di daerah otonomi khusus dan daerah otonom pada umumnya berbeda. Perbedaan ini dikarenakan aspek yuridis di antara kedua bentuk daerah tersebut. Untuk Daerah otonomi khusus perda syariah yang dihasilkan murni bersumber dari hukum islam baik dalam norma dan sanksi. Sedangkan untuk daerah otonom pada umumnya perda Syariah yang dihasilkan tidak murni bersumber dari hukum islam karena dalam penerapan sanksi masih menggunakan hukum positif (KUHP).


Penerapan undang-undang syariah masih menjadi masalah besar. Sebagaimana disebutkan di atas, sangat sedikit, jika bahkan tidak ada, penelitian yang berfokus pada penerapan perda syariah di Indonesia. Misalnya, setelah bertahun-tahun disahkan, perda madrasah diniyah di beberapa daerah di Jawa Barat masih belum diterapkan. Selain itu, siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang di atas harus memiliki sertifikat baca tulis Al-Quran. Kebijakan tersebut hanya "hitam di atas putih" dan belum sampai pada tahap implementasi. Pada akhirnya, perda-perda tersebut hanya kuat dalam wacana, tetapi tidak efektif.


SARAN
Penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam tulisan, dan mereka berharap artikel ini akan bermanfaat bagi pembaca. Akibatnya, penulis mengharapkan kritik dari pembaca untuk membantu membuat dan menulis jurnal berikutnya lebih baik dan sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun