Mohon tunggu...
Dwi Putri Oktaviani
Dwi Putri Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

This is me

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Waktu Senin (Bagian 7)

23 Desember 2023   00:33 Diperbarui: 23 Desember 2023   00:34 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : jam kayu analog (Sumber Gambar: Unsplash)

Aku terheran ketika melihat keberadaan Langit selain di hari Senin. Kali ini pertama kalinya aku mengetahui bahwa ternyata dirinya bisa juga masuk di hari biasa selain hari Senin. Cengiran khasnya itu ia berikan ketika menyadari aku yang sudah memasukki gerbang sekolah, dia sedikit berlari ketika menghampiriku dan berdiri di hadapanku.

"Hai," sapanya hangat dengan senyuman terhias di wajahnya. Anehnya aku merasa sorotan mata dan senyumannya tidak berbinar seperti biasanya, bahkan ia terlihat pucat.

"Kamu sakit?" tanyaku tanpa membalas sapaannya. Dia sedikit tersentak dengan wajah yang sedikit cemberut.

"Tidak, tuh. Yuk ah, ke kelas!" ajaknya sambil menggandeng tanganku, ah- sepertinya lebih tepat untuk mengatakan bahwa dia menarikku untuk mengikutinya.

Aku tidak membalas dan hanya membiarkannya menyeretku untuk ke kelas kami. Sepanjang jalan tidak ada pembicaraan, hanya aku yang berada di balik punggungnya dan mengikutinya seperti anak ayam. Sorotku terpaku pada punggungnya dan kemudian mengarah ke bahunya hingga lengannya, kenapa dia terlihat semakin kurus?

Namun entah kenapa aku kelu untuk sekadar bertanya, rasanya tidak terdengar penting untuk di tanyakan. Aku hanya membiarkan waktu berjalan semestinya tanpa merasa khawatir akan apapun, seperti biasanya.

---

Hari berlalu cepat dan tak terasa sekarang sudah hari Minggu saja. Aku sudah terbiasa dengan adanya Langit yang selalu menganggu kehidupanku, bahkan rasanya ini pertama kalinya aku melihat Langit tidak pernah absen semenjak kejadian waktu senin sebelumnya. Ia juga sering pulang bersamaku dan terkadang aku pulang sedikit larut hanya untuk menuruti permintaannya untuk berjalan - jalan disekitar taman sambil berbincang bersama. Kami bertukar cerita, hobi, kebiasaan, dan bahkan hal yang menurutku tidak penting pun ikut luput dalam pembicaraan kami. Bahkan sekarang aku merasa bahwa kehidupanku mengalami perubahan, sebelumnya aku benar - benar merasa gitu - gitu saja, tetapi sekarang berbeda.

Aku mulai dapat memandang dunia sebagai semestinya dan mulai memperhatikan sekitarku. Aku yang tidak peduli apapun tentang hal yang menurutku tidak penting, kini aku mulai membiasakan diriku untuk tidak menganggap remeh yang ada di sekitarku. Kehadiran Langit juga membantuku dalam mengungkapkan apa yang sedang aku pikirkan atau aku merasa terbebani, sisi ceria dan menghibur yang Langit berikan kepadaku terkadang memberikan banyak arti bagiku. Membuatku semakin paham mengapa anak ini banyak disenangi orang banyak, dibalik sikapnya yang terkadang seenaknya tetapi tidak menutupi sifatnya yang sebenarnya hangat dan juga menyenangkan.

"Aku seneng," ungkapku kala kami menyusuri pinggir taman sambil mengenggam stik es krim di tangan masing - masing, sehabis menikmati es krim yang kami beli di koperasi.

"Aku seneng bisa kenal kamu Langit, padahal cuma berawal dari stik ini." lanjutku sambil mengangkat stik es krim yang telah habis dan mengarahkannya ke langit yang sudah berubah menjadi lembayung.

Langit tertawa, tawanya terdengar hangat. "Aku juga seneng, Rum. Akhirnya aku nggak terus - terusan dapet sorot tajam matamu itu."

Aku mendengus sambil melirik kearahnya dan membuang stik es krim ke tong sampah sekitar taman, ia melakukan hal yang sama. Kami berhenti sambil menghadap satu sama lain dengan langit yang telah berubah menjadi warna oranye. Aku menatap wajahnya, menghabiskan waktu bersama Langit setiap di sekolah hingga pulang menuju rumah mau tidak mau membuatku memperhatikan apapun yang aku lihat pada dirinya. Langit terlihat sangat tirus, sorot matanya yang terlihat lelah dan juga senyum pucat yang ia paksakan untuk terus tersenyum. 

"Langit, langit itu nggak harus terus jadi cerah cuma demi bumi, kan?" tanyaku pada keheningan sore menjelang matahari terbenam itu, Langit terlihat tesenyum tipis sambil memiringkan kepalanya.

"Langit itu harus terus jadi cerah cuma demi Arum kali," candanya membuatku mendengus kesal sekali lagi.

"Aku serius," aku menghela napas dan melihat kearah matanya dengan serius. "Aku juga ngomongin tentang langit, bukan kamu."

"Aku tahu." jawab Langit dengan senyum tipisnya. "Bukannya lebih bagus kalau langit terus cerah?"

Aku terdiam, pembicaraan ini semakin tersirat sesuatu saat kami mulai memahami apa yang dikatakan satu sama lain dengan bahasa kami sendiri. Langit masih tetap menatapku dengan sorotnya yang selalu terlihat hangat tapi kosong dan lelah, membuat hatiku tak terasa berdetak tidak teratur dan badanku terasa menggigil.

"Iya..... terus cerah, ya." jawabku pada akhirnya dengan binar mata yang mulai membentuk suatu harapan. Langit mengangguk dan berbisik.

"Aku janji."

---

Kali ini, untuk pertama kalinya aku tidak melihatnya di waktu senin. 

Jam pulang sekolah sudah selesai dari setengah jam yang lalu, tetapi aku masih disini, terduduk diam di bangkuku sambil melirik kearah secari kertas yang tergeletak di mejaku. Aku membuang wajahku menghadap jendela yang menampilkan langit yang sedang dilanda hujan deras dengan tatapan kosong. Aku benci saat ini, aku benci saat merasakan bahwa tubuhku terdiam bisu dengan perasaan yang benar - benar berkecamuk. Adrenalinku semakin tidak beratur saat aku merasakan sesak dan nyeri di hatiku, benci mengetahui fakta bahwa Langit tidak akan terlihat lagi selamanya. Waktu senin, maupun hari lainnya, minggu lalu adalah waktu berharga dimana aku merasakan kesenangan yang jarang sekali kurasakan.

"Langit, meninggalkan secarik kertas bahwa kamu selama ini memiliki penyakit, permintaan maaf karena akan meninggalkanku, dan juga permohonan kepadaku untuk tetap mempertahankan perasaan baru yang kurasakan bukanlah hal yang keren. Kamu benar - benar membuatku merasakan hal yang tidak pernah terbayang di benakku bahwa ini akan menyakitkan." gumamku sambil menatap langit yang masih menangis dan tak terasa air mataku turun untuk mengikuti bagaimana langit menangis.

"Kamu udah janji........ kamu udah janji untuk terus cerah kan, langit?"

"Iya kan, Langit?"

Tidak ada perpisahan terucap langsung dengan aku yang tidak pernah tau kebenarannya. Tubuhku gemetar dalam tangis saat ingtanku kembali teringat akan hal yang kami lakukan bersama. Itu menyenangkan, sangat menyenangkan, aku ingin merasakan itu lagi Langit, denganmu.

Tidak adil, ini benar - benar tidak adil untukku, Langit.

Aku mendecih, merasa Langit pastinya akan menertawakanku disana jika ia melihatku yang seperti ini. Aku membuang muka dan pandanganku terhenti di secarik kertas yang terbuka dengan stik es krim diatas tulisan Langit. Bocah lelaki itu memang selalu merepotkanku, ya.

Menyebalkan. 

Kali ini aku mengalah Langit, aku kalah.

Tanganku menggepal saat aku menahan diriku untuk tidak menumpahkan tangisan lagi, tidak baik untuk beradu tangisan dengan langit diluar sana. Aku menghadap langit dengan dagu terangkat berani, kemudian berucap dengan lirih dan sesak.

"Selamat jalan, Langit. Terima kasih." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun