"Aku seneng bisa kenal kamu Langit, padahal cuma berawal dari stik ini." lanjutku sambil mengangkat stik es krim yang telah habis dan mengarahkannya ke langit yang sudah berubah menjadi lembayung.
Langit tertawa, tawanya terdengar hangat. "Aku juga seneng, Rum. Akhirnya aku nggak terus - terusan dapet sorot tajam matamu itu."
Aku mendengus sambil melirik kearahnya dan membuang stik es krim ke tong sampah sekitar taman, ia melakukan hal yang sama. Kami berhenti sambil menghadap satu sama lain dengan langit yang telah berubah menjadi warna oranye. Aku menatap wajahnya, menghabiskan waktu bersama Langit setiap di sekolah hingga pulang menuju rumah mau tidak mau membuatku memperhatikan apapun yang aku lihat pada dirinya. Langit terlihat sangat tirus, sorot matanya yang terlihat lelah dan juga senyum pucat yang ia paksakan untuk terus tersenyum.Â
"Langit, langit itu nggak harus terus jadi cerah cuma demi bumi, kan?" tanyaku pada keheningan sore menjelang matahari terbenam itu, Langit terlihat tesenyum tipis sambil memiringkan kepalanya.
"Langit itu harus terus jadi cerah cuma demi Arum kali," candanya membuatku mendengus kesal sekali lagi.
"Aku serius," aku menghela napas dan melihat kearah matanya dengan serius. "Aku juga ngomongin tentang langit, bukan kamu."
"Aku tahu." jawab Langit dengan senyum tipisnya. "Bukannya lebih bagus kalau langit terus cerah?"
Aku terdiam, pembicaraan ini semakin tersirat sesuatu saat kami mulai memahami apa yang dikatakan satu sama lain dengan bahasa kami sendiri. Langit masih tetap menatapku dengan sorotnya yang selalu terlihat hangat tapi kosong dan lelah, membuat hatiku tak terasa berdetak tidak teratur dan badanku terasa menggigil.
"Iya..... terus cerah, ya." jawabku pada akhirnya dengan binar mata yang mulai membentuk suatu harapan. Langit mengangguk dan berbisik.
"Aku janji."
---