Mohon tunggu...
Dwi Putri Oktaviani
Dwi Putri Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

This is me

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Waktu Senin (Bagian 4)

8 Desember 2023   00:37 Diperbarui: 8 Desember 2023   01:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : jam kayu analog (Sumber Gambar: Unsplash)

Pada sore hari kala itu, aku sedang pulang selepas kegiatan ekskul sekolah yang biasa aku lakukan di hari Sabtu. Disitulah aku menangkap sosok Langit yang sedang terduduk terdiam dipinggir taman sekolah yang ingin kulewati agar bisa mencapai gerbang depan sekolah. Entah dapat keinginan dari mana, kakiku mulai bergerak dengan sendirinya untuk menghampiri Langit yang duduk membelakangiku. Dengan rasa penasaran yang sangat amat tinggi entah darimana berasal, kini aku sudah berdiri di dekatnya. Belum sempat mengeluarkan kalimat, suara Langit mengintrupsi terlebih dahulu.

"Menurut kamu, apa arti hidup itu?

Aku terdiam membisu, tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang Langit lemparkan.

Arti hidup? Kenapa berat sekali pertanyaannya? batinku yang kini merasa bingung. Kenapa dengan pertanyaan itu? Apakah itu adalah suatu pertanyaan yang perlu kita pikirkan dan renungkan? Mungkin bagi sebagian orang merasa demikian, namun bagiku yang merasa hidupku tidak semenarik orang - orang yang kukenal, aku tidak merasakan hal yang sama. Arti hidup? tidak pernah sedikitpun terlintas di otakku untuk memikirkan pertanyaan tersebut.

"Aku nggak tahu, yang kutahu cuma aku diciptakan untuk hidup." jawabku jujur sambil menatap kearahnya.

Langit menolehkan kepalanya sambil sedikit mendongak untuk menatapku yang masih berdiri. Angin meniup rambut kami dengan halus saat kami sama - sama terdiam tanpa mengatakan apa - apa dan hanya suara angin yang terdengar. Aku menatap kedua bola mata hitam legam itu, entah mengapa aku merasa kalau itu terasa kosong sama seperti warnanya yang gelap. Tidak ada binar kehangatan atau ketenangan di dalamnya, tidak seperti waktu Senin kala aku menatap sorot matanya. Suara tawa pelan Langit menyadarkanku saat aku hampir tenggelam dalam pikiranku hanya karena sorot matanya. Aku diam - diam mengamati ekspresinya sambil menunggu dia membalas kalimatku sebelumnya.

"Kamu nggak salah, sih. Apa pertanyaanku terlalu aneh?"

Aku mengangkat bahuku sambil mengalihkan pandanganku untuk melihat bangku - bangku taman. "Nggak juga. Tapi emang agak aneh untuk seseorang yang tidak pernah terlihat selama lima hari di Sekolah tiba - tiba menanyakan arti hidup."

Langit tertawa sekali lagi, kali ini agak keras dibandingkan sebelumnya. "Ah iya, kamu benar juga."

Aku tidak mengatakan apa - apa, sebelum pada akhirnya mendengus sambil mengambil tempat untuk duduk disampingnya.

"Maaf."

Kepalaku tertoleh kearahnya saat aku menyadari Langit kini tengah menundukkan kepalanya sambil memainkan kaleng minuman soda di tangannya. Langit melirikku sambil melemparkan senyum tipis di wajahnya sebelum kembali berbicara.

"Maaf karena membatalkan janji untuk kerja kelompok bersama." lanjutnya dengan nada suara yang terdengar bersalah. Aku baru pertama kali mendengar nada ini dari Langit, bahkan saat dia terlambat pada waktu senin saat itu pun tidak ada tanda - tanda ia bersalah ataupun menyesal.

"Aku punya alasan tersendiri dan percayalah kalau itu sama sekali nggak keren untuk diceritain."

Aku mendengus sambil membuang wajahku untuk menatap pemandangan taman sekolah. "Kalau gitu aku juga nggak ada hak untuk mempertanyakan lebih jauh."

"Lain kali kamu harus memberi kabar jika kamu ingin membatalkan janji." lanjutku.

"Hei, tapi kan itu hal yang terjadi secara tiba - tiba dan diluar kendaliku." sanggah Langit sambil tersenyum geli, sepertinya dia merasa ekspresi kesal yang kubuat terlihat menyenangkan untuk dilihat.

"Bukan menjadi alasan, kamu mau membuat orang menunggu tanpa kejelasan?" 

Langit tertawa geli sambil menggerakan kepalanya untuk melihat ekspresiku lebih jelas. "Iya.... Iya.... Aku minta maaf, ya. Aku janji nggak akan membuat janji omong kosong dan nggak akan membuat kamu menunggu lagi."

"Menghilang selama lima hari dan menunda kerja kelompok itu sama sekali nggak keren." keluhku sambil menatap kearahnya.

"Sekarang kamu meniru perkataanku." Langit terkekeh sambil menggelengkan kepalanya sebelum mengangkat kepalanya untuk menatap kearah langit. 

Dia menghela napas sebelum melirik kearahku. "Baik, mau mengerjakan sekarang?"

"Aku nggak bisa hari ini." jawabku sambil berdiri dari tempatku dan melirik kearahnya. "Senin saja, sehabis pulang sekolah."

Langit tersenyum sambil menganggukan kepalanya. Aku beranjak dari sana dan mulai berjalan kearah gerbang sekolah untuk pulang.

"Hati - hati, Arum." teriaknya saat aku mencapai gerbang sekolah. Aku hanya mengangkat jempolku sebagai respon dan terus berjalan dengan hati yang terasa ringan, seperti baru saja mendapatkan kabar baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun