Besoknya, aku tidak melihat tanda – tanda akan kehadiran sosok Langit di Sekolah. Awalnya aku berpikir bahwa ia akan datang terlambat lagi seperti kemarin. Namun, sudah melewati dua jam pelajaran pertama tidak ada pergerakan sama sekali dari pintu kelas yang tertutup itu. Mau tidak mau, dengan berat hati aku perlu untuk bertanya perihal absennya Langit hari ini.
“Aku nggak lihat Langit sama sekali hari ini.” gumamku pelan dan terdengar sedikit kaku, aneh rasanya menanyakan tentang keberadaan seseorang yang bahkan aku baru mengenalnya kemarin.
Sarah berhenti mencatat materi pelajaran di bukunya dan mengalihkan atensinya ke arahku. “Kamu nggak tau kalo orang tuanya dateng ke Sekolah hari ini buat minta izin ke wali kelas kalau Langit bakal gabisa hadir buat empat hari kedepan?”
Aku sedikit tertegun mendengarnya. “Nggak, baru tau. Kamu tau darimana, Sar?”
Sarah mulai memainkan pena-nya dan bibirnya mengerucut, berusaha mengingat sesuatu. “Aku tuh tadi kebetulan pas masuk kelas bareng Gilang, ketua kelas kita. Pas sambil ngobrol dia cerita soal itu ke aku. Cuma itu doang yang aku tau.”
“Kenapa ya menurutmu?”
Sarah mengangkat bahunya acuh. “Setauku dia itu jago main piano dan suka di daftarin perlombaan sama orang tuanya, mungkin itu alasannya.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Sarah barusan. Seharusnya kalau memang dia benar ada kegiatan diluar jam Sekolah, dia tidak membuat janji bahwa hari ini kita akan kerja kelompok. Aku mulai meruntukki sosok Langit di dalam hati, sambil menyumpah serapah kalau nanti dirinya akan tersedak ketika minum. Ini benar – benar tidak adil bagiku yang tidak diberi tahu informasi apa – apa darinya, apa karena kami tidak memiliki kontak satu sama lain? Tetapi kan dia bisa menginformasikan ke salah satu teman kelasku, menyebalkan.
"Kenapa kamu tiba=tiba membahas Langit? Ada sesuatu yaaa?" Sarah mulai melontarkan godaannya terhadapku sambil memasang wajah yang terlihat menyebalkan di mataku.
"Bukan begitu, sepertinya kamu salah paham" Aku menggerutu sambil menarik napas kasar dan membuang wajahku kearah buku tulisku. "Kemarin dia berjanji akan kerja kelompok denganku. Tetapi seperti yang kamu lihat, hari ini dia tidak masuk"
Sarah bergumam sambil meletakkan ujung pensil dibawah bibirnya yang mengerucut lagi. "Yah... Mungkin seperti itulah lelaki, mudah memberikan janji tanpa menempati."
Aku mendengus sambil menyenggol lengannya. "Ungkapan itu terlalu berlebihan."
"Hei, aku hanya bercanda. Lagipula memang pada dasarnya semua lelaki itu sama saja, mereka berjanji tanpa menempatinya." ungkap Sarah sambil menampilkan raut kesal di wajahnya. "Seperti contoh minggu lalu aku-"
Helaan napas panjang keluar dari mulutku, aku menatap dan mendengarkan Sarah yang berceloteh tentang Pria yang ia sukai-yang bahkan aku saja tidak mengenal siapa orang itu-hal seperti ini sudah menjadi keseharianku menjadi teman sebangku Sarah, Sarah memiliki banyak cerita yang terjadi di kehidupannya yang terkadang menarik untuk di dengarkan.
Sepertinya memang kehidupanku saja yang tidak menarik untuk diceritakan.
"Kamu melamun ya?"
Teguran Sarah membuatku tertegun, aku memfokuskan atensiku kearahnya yang kini sudah berkacak pinggang sambil menatapku dengan galak.
"Eh? Maaf, aku tidak bermaksud."
Sarah menghela napas dan hendak mengulang kembali ceritanya, namun teguran diberikan guruku yang menyadari bahwa kami tidak memperhatikan pelajaran. Akhirnya kami pun memutuskan untuk berhenti mengobrol dan mulai memperhatikan kembali pelajaran, Guruku hanya menggelengkan kepala dan kembali menerangkan pelajaran hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H