"I think there's so much masculinity in being vulnerable and allowing yourself to be feminine, and I'm very comfortable with that."
Harry Styles,2018
Beberapa dari kita mungkin sudah sering mendengar berbagai celetukan seperti ; "seorang laki-laki lah yang harus menjadi pemimpin", "laki - laki itu harus jadi nomor satu", "laki-laki itu diatas perempuan", "laki - laki lah yang berkuasa", "perempuan itu harus tunduk pada laki-laki karena perempuan itu lemah". Mengapa ya bisa dinilai seperti itu? Apa hal yang mendasari itu semua?
Semua itu adalah bentuk dari yang namanya Budaya Patriarki. Budaya atau sebuah sistem yang menerapkan norma sosial dimana Laki-laki atau seseorang yang menunjukkan sifat maskulin akan dilihat lebih baik, dihormati, dan memegang kendali lebih baik daripada perempuan atau seseorang yang menganut sifat feminim-hampir semua aspek kehidupan memberlakukan seperti ini.
Kata Maskulin dan Feminim mungkin sudah tidak asing lagi untuk kita dengar, Maskulin atau Feminim merupakan bagian dari gender yang saat ini kata tersebut rancu untuk ditelaah. The World Health Organization (WHO) mengartikan gender sebagai acuan pada karakteristik sosial yang dibangun oleh mereka --perempuan dan laki-laki, seperti norma, peran, dan hubungan antara kelompok perempuan dan laki-laki, itu bervariasi dari masyarakat dan dapat diubah. Jadi gender itu seperti peran di kehidupan, kamu bebas untuk mengambil seperti apa, sebagai apa di kehidupan kamu tanpa melihat kamu terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Namun memang dibeberapa wilayah-termasuk Indonesia sendiri, Gender itu sesuatu yang kaku dan seakan-akan tidak bisa diubah karena norma-norma sosial patriarki itu sudah ditanamkan.
Pernah tidak kalian melihat perempuan yang memiliki perilaku yang 'tomboy'?? pasti ada kan disekitar kita, kita melihat perempuan itu keren karena pandai bermain bola atau hal sporty lainnya-sesuatu yang mencerminkan sifat maskulinitas. Tetapi mengapa ya kalau laki-laki 'melambai' atau yang mengadopsi sifat feminim malah dihina oleh masyarakat? Kenapa ya bisa begitu?
Coba kalian perhatiin, terkadang laki-laki itu suka mencoba keras supaya dapat dibilang cukup laki. Mengikuti tawuran lah, berantem, godain perempuan yang kebetulan lewat didepannya dan juga  berpikir bahwa perempuan harus ada dibawah laki-laki? Bahkan juga kita sering mendengar celetukan seperti, "cowok itu gengsinya tinggi. Jangan melewati batas nanti mereka tersinggung."
Laki-laki yang melakukan itu semua adalah laki-laki yang sedang menjalani nilai -nilai tradisional maskulinitas beracun yang telah turun temurun diajarkan atau kita sebut saja dengan budaya patriarki.
Contohnya seperti : Laki-laki tidak boleh menunjukkan perasaan, mereka harus menjadi seorang individu yang tabah, logis, tanpa emosi. Tentunya disertai dengan stereotip bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis. Emosi seorang lelaki seharusnya hanya ditunjukkan secara dominan, bukan dalam menunjukkan kelemahannya. Stereotip ini berlaku pada laki-laki sejak dini, dan itu menyebabkan perkembangan emosionalnya menjadi buruk.
Seorang laki-laki juga ditekan untuk menjadi pencari nafkah bagi keluarganya. Stereotipnya berupa harapan bagi laki-laki untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Mereka juga didorong untuk mengikuti kegiatan maskulin. Laki-laki baru dianggap sebagai laki-laki apabila mereka terlibat dalam berbagai olahraga kompetitif, baik sebagai penggemar antusias atau sebagai pemain. Sebaliknya, laki-laki tidak diharapkan, bahkan dalam berbagai hal tidak diperbolehkan, untuk terlibat dalam kegiatan rumah tangga seperti memasak dan mengasuh anak.
Ketakutan akan hilangnya kejantanan dan harga diri Laki-laki dapat membuat mereka tertekan. Lebih parahnya, laki-laki tidak diperbolehkan untuk membahas kondisi mentalnya. Melakukan hal tersebut dianggap dapat mengurangi kejantanannya, suatu hal yang harus dihindari dalam masyarakat patriarkal.
Laki-laki juga tidak boleh menunjukkan sedang melakukan perawatan tubuh, mereka dianggap menyalahi kodrat. Ketika laki-laki berperawakan tidak gagah, mereka langsung dituduh sebagai homoseksual. Ada laki-laki yang mengenakan pakaian berwarna pink tanpa alasan apapun langsung dipanggil banci. Hal tersebut dianggap sebagai "tempat yang selayaknya", padahal jalan pikiran tersebut merupakan hal yang berbahaya bagi laki-laki maupun perempuan.
Bahkan terkadang laki-laki itu dicap sebagai Playboy bukan karena mereka mata keranjang, tapi paham-paham patriarki lah yang mengajarkan kalau "Lu bakal hebat kalau punya cewek banyak , kalau bisa bikin cewek nurut melakukan ini- itu buat lo, cowok itu harus suka dan memikirkan soal seks" karena itu seperti hukum yang ada pada laki-laki, mereka harus melakukan itu. "kalau enggak ngelakuin itu semua lu enggak normal. Lu enggak laki, GAK CUKUP LAKI!"
Dan sedihnya bukan hanya laki-laki yang berpikir seperti ini. Perempuan juga memakluminya karena istilah "boys will be boys". Istilah inilah yang seakan-akan mengajarkan untuk memaklumi tingkah laku buruk pada laki-laki tadi. Seakan-akan itu semua normal dilakukan, karena laki-laki memang harus begitu. "Enggak apa-apa bandel, namanya juga cowok". Nah, nilai dari norma sosial seperti inilah yang akan menjadi akar dari adanya toxic masculinity.
Norma sosial adalah sebuah standar sosial atau ekspektasi tidak terlihat yang diikuti agar seseorang dapat merasa diterima dalam situasi yang diberikan, dan membuat kita merasa tidak nyaman ketika kita tidak melakukan norma-norma tersebut. Beberapa norma sosial yang dapat membentuk perilaku toxic masculinity diantaranya:
- Power , Dalam sejarah, laki-laki memiliki kekuatan sosial dan ekonomi yang lebih dibandingkan perempuan dan menjadi grup yang dominan dalam bermasyarakat. Seperti bagaimana laki-laki mendapatkan uang lebih banyak dibandingkan perempuan dan mayoritas menempati posisi pemimpin dalam sektor publik dan pribadi. Salah satu contohnya adalah bagaimana laki-laki merendahkan efek dari kekerasan seksual dan memiliki bias terhadap perempuan. Hal tersebut terjadi karena banyak laki-laki yang tidak merasakan kekerasan seksual atau bias gender karena identitas mereka sebagai laki-laki.
- Privilege atau keuntungan yang terjadi akibat adanya norma gender yang kaku dapat menyebabkan laki-laki tidak sadar bagaimana menjadi laki-laki dan mengikuti norma maskulin memberikan mereka power dan keuntungan yang tidak dimiliki oleh perempuan.
- Masculine power. Didapat melalui norma gender tradisional yang memaksa laki-laki untuk menjadi dominan. Salah satunya adalah mempermalukan laki-laki yang melakukan perilaku yang dianggap "tidak manly". Salah satu contoh dari perilaku "tidak manly" adalah perilaku mengakui kelemahan atau kesalahan, lemah terhadap perasaannya, tidak menggunakan paksaan ketika menyelesaikan masalah, ataupun hal-hal yang dapat mempertanyakan status mereka sebagai laki-laki. Oleh karena itu, ketika laki-laki menghadapi isu yang berhubungan kesehatan mental, mereka kerap merasakan dilemma antara mencari bantuan dan against norma, dan kemudian mendapatkan kritik dari laki-laki lainnya, atau tetap pada norma dan diam saja menghadapi masalahnya.
- Beberapa norma maskulin mendorong laki-laki untuk pamer seberapa banyak perempuan yang sudah mereka tiduri. Ketika laki-laki berbicara tentang perempuan seperti itu, sama saja mereka memaksakan gagasan kalau perempuan adalah objek yang harus dikuasai. Meskipun tidak terlihat berbahaya, tetapi penelitian menunjukkan kalau laki-laki dengan tradisional maskulin yang besar akan lebih cenderung melakukan kekerasan seksual pada wanita. Norma-norma tersebut dapat membuat seseorang menjadi misogyny, homophobia, violence, dan dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka.
Dapat dilihat bahwa norma-norma yang mengatur mengenai bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan berperilaku dapat menyebabkan munculnya krisis identitas ketika laki-laki mencoba untuk mencapai maskulinitas yang ideal, dan kemudian dapat memberikan efek negatif pada mental dan emosi mereka, seperti :
- Menampilkan emosi yang diredam atau tidak didengar.
- Menunjukkan kurangnya rasa empati.
- Mengalami agresi yang cenderung bertahan lama
- Terlibat dalam perilaku kasar terhadap orang yang.
- Mengalami diagnosis penyakit mental yang lebih.
- Mendapatkan diagnosis gangguan psikologis yang salah.
- Menghindari mencari bantuan dari profesional.
Maka dari itu tidak heran bahwa persentase bunuh diri laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sedih rasanya jika membayangkan kita melarang anak laki-laki kita bahkan tidak segan melukai dan membentaknya bila mereka menunjukkan sisi feminim, padahal sebenarnya jika menunjukkan pun tidak akan membuat mereka langsung menjadi bencong. Saat ini, sangat penting untuk mempromosikan healthy masculinity, atau positive masculinity lewat gerakan feminisme.
Kok bisa? Iya, menjadi seorang feminis sama dengan melawan patriarki dan memperjuangkan kesetaraan gender. Jadi bukan hanya hak perempuan saja yang diperjuangkan feminis, hak pada laki-laki juga.
Namun memang karena perempuan yang lebih jujur dengan 'masalahnya', jadi lebih banyak anggota perempuan didalamnya. Berikut ini adalah nilai-nilai yang diajarkan dalam gerakan feminisme :
- Mengekspresikan berbagai emosi dan merasa emosi yang mereka rasakan diterima
- Mencintai dirinya sendiri (self-care) dan menerima dirinya sendiri kalau kita sendiri tidak harus selalu menjadi lebih baik dari orang lain.
- Bersama --sama meruntuhkan hambatan dan norma sosial beracun dan juga saling merangkul kehidupan aktualisasi diri yang bebas dari kategorisasi dan penilaian yang tidak berdasar
- Memperlakukan orang lain secara sama rata dan dengan rasa hormat dan membuat lingkungan yang aman untuk semua.
- Mendengarkan dan menghargai perempuan.
- Menjadi role model bagi laki-laki yang sebaya dengan mereka dan ikut memperjuangkan kesetaraan gender juga keadilan bagi perempuan maupun laki-laki.
Jadi yuk sekarang kita mulai melawan patriarki bersama untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, aman dan bebas untuk berekspresi. Kalau bukan dimulai dari kamu, siapa lagi yang akan duluan menjalankannya?
Selamat menciptakan ruang aman teman-teman!
Source:
-beberapa artikel dari yayasan pulih dan magdalene.co
-pendapat dari Adelina ayu/ @adelinaayuu (penulis novel 'The name of the game' yg memuat isu toxic masculinity didalamnya) dimuat dalam highlights akun instagram @zioshaiendaryll
- pendapat beberapa akun pada sosial media twitter
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI