Hari ini adalah tepat 1 bulan sebelum pengalaman ini saya dapatkan. Mungkin bagi beberapa awam yang tidak berada pada posisi yang sama dengan saya akan merasa keluhan ini sangat tidak penting, tapi kita tidak tahu siapa saja yang dirugikan waktu dan tenaga pada saat kejadian itu terjadi.Â
Saya pun berharap agar kejadian ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Saya adalah salah satu mahasiswi Universitas Airlangga yang berdomisili di Gresik, Driyorejo. Seperti yang kita tahu, bahwa perjalanan dari daerah Driyorejo menuju Daerah Mulyorejo, kampus C dapat ditempuh paling cepat 50 menit untuk jalan yang lancer, jika terjadi kemacetan mungkin bisa ditempuh selama satu jam lebih lima menit. Tetapi kemacetan adalah hal yang lumrah dalam lalu lintas terutama daerah Surabaya. Seakan macet adalah daily food bagi lalu lintas Surabaya, belum lagi jika harus menemui banyak lampu lalu lintas dalam jarak yang dekat jelas saja sudah terlihat bagaimana padatnya jalanan Surabaya saat sudah memasuki jam kerja.
Banyaknya kegiatan dan transportasi di jalan raya tentu akan selalu berpotensi menyebabkan kemacetan bukan? Sehingga jelas diperlukan pengatur lalu lintas untuk mengurangi resiko kemacetan di jalan, yang sampai sekarang kita kenal dengan lampu lalu lintas (traffic light) atau lampu merah, begitulah mayoritas orang menyebutnya. Lampu lalu lintas merupakan sebuah mesin otomatis yang bekerja untuk memberi isyarat lalu lintas yang nantinya berfungsi pula dalam mengontrol arus lalu lintas. Lalu bagaimanakah sistem kerjanya?Â
Lampu ini bekerja sesuai dengan waktu yang sudah disetting urutan operasinya berdasarkan jumlah yang sama untuk setiap pergerakan lalu lintas dari beberapa arah. Sinyal inilah yang nantinya akan mengubah warna lampu sesuai dengan jumlah lalu lintas di tiap arah. Alat ini menggunakan berbagai jenis sensor yang mampu mendeteksi kendaraan dan melakukan penyesuaian lamanya waktu lampu hijau menyala serta memungkinkan sebanyak mungkin agar kendaraan bisa sebanyak mungkin bisa melalui persimpangan.
Entahlah apa penyebab pasti kejadian waktu itu, entah nasib yang memang sedang tidak beruntung, entah memang kendaraan sedang sangat menumpuk atau tindak lain dibalik keuntungan pribadi seseorang. Apapun penyebab kejadiannya dan siapapun yang harus bertanggung jawab, semoga kita semua bisa memperoleh hikmah positif dari itu semua.Â
Kejadian itu tepat terjadi pada Hari Selasa pukul 13.40 WIB. Seperti yang kita tahu, bahwa rute yang harus dilewati dari Kampus C Unair, Mulyorejo menuju Driyorejo dimulai dari Jalan Kertajaya menuju Jalan Raya Darmo lalu melewati Terminal JoyoBoyo hingga sampai pada pertigaan menuju Jalan Raya Menganti/ Jalan Raya Wiyung. Disitulah semuanya bermula dan tampak sangat timpang, saat lampu merah menyala di pertigaan tersebut, jelas semua kendaraan akan berhenti karena memang sudah seperti itu aturannya.Â
Dari arah Gunung Sari tersebut jika tepat di pertigaan maka akan dibagi menjadi dua arah, ada yang akan lurus menuju Jalan Sepanjang dan jika belok akan menuju ke arah Wiyung. Pada keadaan biasanya, lama waktu lampu merah memiliki durasi 180 detik dan lampu hijau hanya 30 detik. Namun arah yang tetap lurus akan lebih dulu berjalan karena lampu lalu lintas menunjukkan hijau terlebih dahulu setelah itu arah ke Wiyung akan berubah menjadi hijau selanjutnya. Tetapi hal sedikit aneh terjadi, tiba-tiba ada dua sampai tiga bapak berseragam (sengaja disamarkan) yang berdiri di tengah jalan arah ke Wiyung, jelas itu menimbulkan banyak pertanyaan di benak pengendara.Â
"Apa urusan bapak itu berdiri di tengah jalan? padahal cuaca Surabaya saat itu sedang di puncak panasnya", batinku dan beberapa pengendara lain mungkin. Setelah beberapa detik lampu berubah menjadi hijau, saat itulah rasa penasaran kami terjawab, ternyata tujuan bapak tadi berdiri di tengah jalan adalah untuk meghadang pengendara dari arah yang sama dengan saya karena ada sekitar 20 kendaraan alat berat yang sedang melintas sementara itu dari arah saya sudah terjadi keributan, mulai dari pengendara yang berteriak-teriak hingga berperang klakson karena mobilitas kita sudah terhambat dan berhenti selama sekitar empat kali pergantian lampu lalu lintas. Jika satu kali pergantian 180 detik, mungkin saat itu kita sudah menunggu kurang lebih 12 menit karena jalan dari arah kami yang telah di boikot.
Hal ini tentu menyebabkan kekecewaan yang sangat membekas di benak saya, mungkin juga benak pengendara lain. Padahal seperti yang kita tahu, menurut Kepmenhub 69/ 1993 tidak dijelaskan bahwasanya ada kewajiban pengawalan oleh apparat kepolisian saat pengangkutan alat berat dilakukan.Â
Apalagi hingga terjadi pemboikotan jalan dalam kurun waktu tertentu. Mungkin bagi mereka waktu tersebut sangat singkat dan tidak berdampak apa-apa, tapi kita tidak tahu akan kepentingan masing-masing orang, mungkin saja ada beberapa orang yang saat itu harus terburu-buru sampai rumah atau rumah sakit bahkan hingga tempat kerja. Apapun yang terjadi saat itu semoga kedepannya bisa distruktur menjadi lebih baik entah bagaimanapun caranya. Dengan demikianlah pengalaman saya ini dituliskan.
Baik, saya sebagai orang awam yang memang salah mengartikan dan merasa dirugikan atau memang terjadi ketidaksesuaian kita tidak ada yang tahu. Namun satu yang pasti bahwa tulisan ini tidak ditujukan untuk menjatuhkan beberapa pihak yang terlibat dalam pengalaman dalam tulisan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H