Rasa kebanggan dan kecintaan kita (saya khususnya) terhadap Indonesia dan segala yang terkandung didalamnya tiba-tiba terkerek naik. Cukup drastis. Mengapa?
Kita baru saja diperlihatkan perjuangan tak kenal lelah, berujung prestasi membanggakan para atlet yang berlaga dalam kompetisi empat tahunan Asian Games 2018.
Ratusan atlet Indonesia, baik yang mendapatkan medali maupun yang belum, telah berjuang sepenuh jiwa untuk membawa Indonesia ke puncak prestasi.Â
Dimulai dari gemerlap dan kesuksesan opening ceremony, momentum Antony Shinisuka Ginting yang tetap memilih melanjutkan pertandingan meski harus menahan rasa sakit.
Dan yang terbaru, 9 torehan medali emas dari cabang pencak silat menjadi bukti, betapa kita harus bangga terhadap Indonesia.
25 medali emas, 19 medali perak dan 29 medali perunggu menjadi salah satu hal yang cukup menggembirakan bagi kita.
Di tengah suasana menghangat antara #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi, torehan prestasi atlet-atlet tersebut menjadi penyatu segala keretakan, sekaligus pelipur lara dan suka, salah satunya bagi korban bencana alam di NTB yang mengiris-iris rasa keprihatinan kita yang mendalam.Â
Ditambah lagi, perolehan medali tersebut, oleh sebagian atlet kita juga dipersembahkan kepada saudara-saudara di Lombok yang tertimpa musibah bencana alam gempa bumi.
Kembali ke pencak silat, olahraga ini seakan kembali ke rumahnya sendiri. Pertama kali ditampilkan di ajang Asian Games, pencak silat langsung "Coming Home."
Hal itu, tentunya cukup kontras dengan negeri asal Sepakbola, Inggris, di mana di momen Piala Dunia kemarin malah gagal "Coming Home."
Tak hanya sukses secara prestasi, rupanya pencak silat juga mulai "dilirik" dunia internasional, tepatnya film Hollywood, dimana sang pendekar Iko Uwais mampu membawa pencak silat ke dalam industri internasional berkat film "Mile 22."
Yes. Akhirnya pencak silat, tradisi nenek moyang Indonesia yang ratusan tahun lalu menjadi senjata ampuh mengusir penjajah dari bumi Pertiwi ini kembali menjadi "penakluk" dan membawa Indonesia menjadi macan Asia.
Sebenarnya, tidak harus kita membaca literatur utama tentang pencak silat, bisa menyimpulkan betapa bela diri satu ini menjadi trade mark Indonesia.
Tengok saja film-film action Indonesia yang sangat kondang di masanya, disitu kita akan menemukan betapa pencak silat menjadi sarana ampuh, buat melawan musuh, mencari istri, menyatukan dua insan yang dilanda asmara, mencari saudara, hingga perekat persatuan dan kesatuan.
Di film Saur Sepuh misalnya, pencak silat mampu menyatukan sebuah keluarga, yang saling mencintai.
Berkat pencak silat, pendekar Arya Kamandanu menjadi suka sama Mei Shin, dan disisi lain Mantili yang aduhai juga menyintai pendekar dengan pedang naga Puspa yang batang pedangnya berupa gigi yang menyeringai.
Memang sih, ketika berbicara film action kolosal yang tayang di tivi-tivi itu, ingatan kita akan langsung tertuju kepada sang raja yang naik burung terbang. Lalu mendarat di depan toko untuk beli es krim. Tapi harus diakui, betapa pencak silat telah terinternalisasi sampai ke lubuk hati yang terdalam masyarakat Indonesia.
Atau di film Wiro Sableng misalnya, kita bisa menyaksikan betapa banyak perguruan silat di negeri ini sekaligus kita bisa menyaksikan  betapa banyak jurus-jurus dengan kosakata yang unik, aneh dan membuat kita bilang: Mashook Pak Eko...!!
Jurus "Kunyuk Melempar Buah", pukulan matahari, hingga penamaan tokoh yang membuat kita akan terbelalak, hah, ada "Kakek Segala Tahu", "Tiga Setan Darah" hingga "bidadari angin timur" dan menyimpulkan, betapa Bastian Tito mampu mengemas kata-kata dengan baik untuk menciptakan cerita tentang pencak silat.
Menurut saya itu adalah mahakarya. (Spoiler alert: pada akhirnya, Bidadari Angin Timur menikah dengan Wiro Sableng, dan hidup bahagia, di dunia nyata).
Belum lagi, bagi Anda generasi 90an, menyaksikan bahwa Wiro Sableng kala itu dengan pencak silatnya, mampu memupuk rasa persaudaraan diantara penonton kala itu. (Saat itu belum ada perang tagar-tagaran itu, hanya adanya senyum manis dan kelompencapir).
Kenapa Wiro Sableng memupuk persaudaraan? Ya karena saat itu kita akan bersama-sama nonton Wiro Sableng  di rumah tetangga yang tayang tiap Minggu di RCTI oke.
Lalu esoknya saling bercerita dengan teman sebangku kita, "eh bagaimana nasib setan Tenggarong kemarin?" Atau ada yang bilang "eh, Raja Rencong dari Utara udah kalah belum?."
Percakapan seperti itu rupanya memupuk ukhuwah diantara kita. Dan itu semua karena pencak silat.
Itu cerita dulu, dan cerita itu sepertinya mulai berlanjut hingga saat ini dan ke depan. Betapa olahraga pencak silat, bukan hanya sebuah olahraga. Dia adalah olahraga yang menyatukan, dia adalah budaya yang harus terus dilestarikan.
Dan membaca kisah-kisah heroik pencak silat, sembari menengok hasil Asian Games yang mendekati closing ceremony. Disitulah saya merasa rasa kebanggan kita terhadap Indonesia semakin terkerek. Drastis.
Dan membuat kita mau tidak mau harus sering mengucapkan" Mashook pak Eko."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H