Mohon tunggu...
Dwi Purnawan
Dwi Purnawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya adalah seorang pegiat literasi digital dan jurnalis di salah satu media online lokal di Jawa Timur

Lifetime learner | be a super dad | online jurno

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Ragu, Malu, dan Pekewuh dalam Tradisi Jawa

13 Maret 2012   00:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 4086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_176140" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Masih tertarik untuk membicarakan tradisi dan budaya jawa dan segala yang ada didalamnya. Selain karena saya sendiri adalah seorang truly javanian, juga budaya jawa memberikan banyak sekali pembelajaran yang sayang untuk tidak kita ambil sebagai hikmah dalam kehidupan kita. Dan kalau dalam kesempatan artikel sebelumnya saya banyak berbicara tentang unggulnya budaya Jawa, kali ini saya sedikit mengupas tentang satu tema, yang barangkali sebagai orang Jawa, apalagi jawa tulen, kita masih memilikinya. Yang akan saya bicarakan dalam tulisan saya kali ini adalah beberapa sifat yang cenderung ‘negatif’ yang masih dimiliki oleh orang jawa. yaitu sikap ragu – ragu mengambil keputusan, malu – malu padahal mau, dan sikap pekewuh.

Yang pertama yang akan saya bahas adalah sikap pekewuh dalam menyikapi sesuatu. Pekewuh kalau saya bahasakan dalam bentuk yang lebih sederhana adalah sikap tidak enak hati, budaya pekewuh ini biasa tercermin dalam ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh, serta sedulur, selembur, sekasur membuat orang jadi enggan menyakiti hati atau menyengsarakan orang lain. Atau dalam pemaknaan lain, Pekewuh adalah perasaan tidak enak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu kepada orang lain karena takut menyinggung atau memberi kesan kurang sopan dan tidak menyenangkan.

[caption id="attachment_176130" align="alignright" width="180" caption="Blangkon Jawa"]

13315976121758601813
13315976121758601813
[/caption]

Sebenarnya budaya pekewuh ini ketika diejawantahkan untuk hal – hal yang baik sih tak masalah, tetapi yang masalah, akhir – akhir ini kita sering menjumpai politik ewuh pekewuh, baik dari yang terkecil dilingkup desa atau kampung kita, atau yang besar di negara kita tercinta. Sebenarnya kalau rasa pekewuh ini digunakan untuk hal – hal yang positif, misalnya pekewuh karena orang yang terlalu baik kepada kita, dan kita pekewuh untuk tidak berbuat baik kepadanya, ini menjadi tidak apa – apa. Akan tetapi ketika sifat pekewuh ini juga berlaku ketika orang yang berbuat baik melakukan kesalahan, dan kita menjadi pekewuh untuk menegurnya, nah ini, ini yang perlu dan harus dihindari, agar sifat pekewuh itu disesuaikan pada tempatnya.

Yang kedua saya ingin membicarakan masalah keragu – raguan sikap yang kadang masih saja ada didalam jiwa para javanian, para orang jawa, dan sikap ini saya langsung korelasikan dengan sifat malu – malu tapi mau, ragu, malu – malu tapi mau, ini beberapa juga masih ada dan mengkarakter dalam diri orang Jawa. kalau kita ambil pemaknaan kata ragu dalam kamus besar bahasa Indonesia, skep-tis artinya kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Walaupun sebenarnya sikap – sikap seperti ini baik dalm kondisi tertentu, tetapi belum tentu juga baik dalam kondisi yang lainnya.

Misalnya, suatu ketika dalam percakapan saya dengan salah satu teman akrab dan juga teman dekat saya, saya sebenarnya hanya ingin membantu saja memberikan buku yang dia minta, tetapi dia menjadi bingung, jadi diterima atau ditolak pemberian dari saya itu, sehingga melahirkan kebingungan yang mendalam dalam dirinya, padahal saya sangat yakin dia itu sebenarnya sangat mau. Nah lho, kalau ragu – ragu, malu – malu tapi mau ini tidak kita tempatkan pada tempatnya, akan menjadikan kita bingung, dan kebingungan – kebingungan inilah yang nanti menimbulkan efek – efek tidak baik dalam diri kita. Bolehlah kita sebagai orang Jawa mememlihara sifat – sifat tersebut, pekewuh, malu, dan lain sebagainya, tetapi memang dalam kondisi tertentu, sifat – sifat tersebut saya kira kurang pas untuk diterapkan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terpenting dalam hidup kita.

Menjadi orang jawa seutuhnya, dengan segala budaya yang ada didalamnya itu wajib untuk kita internalisasikan dalm keseharian kita sebagai orang Jawa. Memelihara keluhuran budaya Jawa dan segala hal yang ada didalamnya itu menjadi suatu keharusan bagi kita orang Jawa, namun kadang, kitapun harus menjadi orang Batak, kitapun kadang harus jadi orang betawi, harus jadi orang Manado dalam beberapa hal. Walaupun saya yakin bahwa budaya Jawa itu memiliki keunggulan, tetapi dalam beberapa aspek kita harus belajar dari mereka, orang Batak yang kadang tak ragu mengambil keputusan, ataupun orang manado atau Bugis yang tak malu – malu untuk mengungkapkan segala sesuatunya, ataupun kita harus belajar pula kepada mereka – mereka yang diluar sana. Karena bagi saya pribadi, prinsip belajar sebelum memimpin itu selalu menjadi inspirasi untuk terus berkarya. Akhirnya selamat mengambil hikmah dari budaya dan tradisi Jawa, selamat menginspirasi Indonesia.

Oleh : Raden Mas Panji Anom Kaliwinong (Dwi Purnawan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun