kesehatan.Berangkat dari berita demo ribuan dokter dan nakes  di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat pada 11 Juli 2023 lalu. Mereka menolak adanya pengesahan RUU kesehatan OBL karena beragam alasan.
Tulisan ini sebenernya hanyalah respon saya sebagai orang awam yang kurang mengerti banyak soal undang-undang apalagi kaitannya soalDilansir dari beragam sumber, aksi tersebut diikuti ribuan orang yang tergabung dalam lima organisasi profesi di antaranya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Beragam protes dari sejumlah pihak dalam setiap momen pengesahan RUU memang bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Hal ini lantaran DPR dinilai terkesan terburu-buru setiap kali mengesahkan RUU. Tak hanya itu, DPR pernah mengesahkan UU ciptaker saat tengah malam demi meminimalisir protes. Di sisi lain, RUU yang diprotes untuk segera disahkan justru diulur-ulur, seperti pembahasan RUU perampasan aset.
Yah, urusan pengesahan ini mungkin tergantung prioritas apakah mendesak atau tidak. bisa jadi karena alasan penting atau tidak penting. Meski realitasnya dan sepertinya sudah jadi rahasia umum bahwa pembahasan RUU atau kebijakan lain segera disahkan hanya karena kepentingan.
Balik lagi ke pembahasan RUU kesehatan, lalu sebenarnya apa yang jadi tuntutan para nakes ya? Mengapa mereka melakukan gelombang protes? Sayapun mulai mencari, protes apa saja yang mereka layangkan.
Salah satu hal yang menjadi sorotan dari pembahasan Omnibus Law RUU Kesehatan adalah dihapuskannya ketentuan Pasal Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 2009 yang mengamanatkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN.
Hal ini menurut penilaian Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang kesehatan, namun hasilnya tidak bagus.
"Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuannya. Tujuan kita bukan besarnya mandatory spending, tapi adanya komitmen spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor itu bisa berjalan," ujar Budi.
Namun benarkah bahwa adanya Mandatory spending hanya dianggap buang-buang anggaran?
Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending ini untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Maka sebagai implementasi dari Pasal 28H ayat (1) UUD RI 1945 ini, maka dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di Pasal 171 ayat (1) dan (2), mengamanatkan Pemerintah mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk Kesehatan di luar gaji.
Sebagai orang awam saya justru menilai penghapusan ini merupakan langkah mundur dan bentuk dari upaya mengurangi tanggungjawab pemerintah di bidang kesehatan. Meski dalam realitasnya alokasi nana belanja tersebut masih banyak yang ter optimalkan namun hilangnya anggaran tersebut akan berpengaruh terhadap target yang akan dicapai seperti target prioritas stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kualitas pelayanan kesehatan.
Lebih dari itu, penghapusan ini akan berefek pada sulitnya realisasi program pembangunan kesehatan di daerah karena alasan terbatasnya anggaran. Yang terjadi, efeknya karena minimnya porsi pemerintah maka akan terjadi liberalisasi di sektor kesehatan dan semakin besarnya peran swasta yang akan mempersulit masyarakat miskin mendapatkan hak kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H