Setiap warga negara Indonesia punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin tanpa memandang latar belakang dan kondisi fisik. Hal ini termaktub dalam Pasal 31 ayat 1 UUD 1945.
"Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran."
Artinya kesempatan yang sama semestinya juga diberikan kepada para disabilitas seperti tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna netra maupun autisme. Namun, agaknya hal tersebut masih jauh dari harapan.
Kisah Alanis (10 tahun) menajdi contohnya. Ia ditolak hingga 8 sekolah karena ia penyandang disabilitas. Ia menderita celebral palsy atau kelumpuhan otak parah dan kebutaan. Sekolah menolak karena penyakit yang ia derita terlalu parah sehingga sekolah tidak mau menerimanya. Cerita Alanis, nyatanya tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Sarah, ibunya yang saat itu pernah mengidap penyakit epilepsi dan memperoleh perlakuan tidak menyenangkan.
Â
Kisah Alanis dan ibunya hanyalah  contoh kecil, betapa orang-orang seperti mereka masih belum memperoleh tempat di masyarakat. Faktanya, masih banyak para penyandang disabilitas yang belum bisa mengakses pendidikan.
Padahal Pasal 5 ayat 2 UU No. 20 menyebutkan,Â
"Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus"
Data dari Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan, hanya 56 persen anak penyandang disabilitas yang lulus Sekolah Dasar, dan hampir 3 dari 10 anak dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.
Berdasarkan Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen. Penyandang disabilitas yang belum atau tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,91 persen. Sementara penyandang disabilitas yang tidak bersekolah lagi sebesar 70,62 persen.
Penyandang Disabilitas dalam Kurikulum Merdeka
Pada bulan Februari tahun 2022 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan kurikulum baru yakni Kurikulum Merdeka.Â
Kurikulum ini hadir sebagai salah satu inovasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dikembangkan dengan pendekatan student center yang artinya menempatkan peserta didik sebagai fokus utama dalam pembelajaran.
Dengan pendekatan student center, artinya kurikulum ini memperhatikan karakteristik dari masing-masing peserta didik, juga bisa menyesuaikan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki peserta didik.Â
Kurikulum ini harus mampu menciptakan lulusan yang berkarakter, mandiri, berakhlak mulia, dan berkompeten agar menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Yang kemudian hal ini juga dituangkan dalam profil pelajar Pancasila yakni berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Menilik hal tersebut, seharusnya kurikulum ini dirasa akan ramah untuk peserta didik disabilitas. Peserta didik disabilitas punya beragam kebutuhan tersendiri jika dibandikan peserta didik normal pada umumnya. Maka Kurikulum Merdeka diharapkan bisa sejalan dengan program pendidikan inklusif yang juga turut dikembangkan belakangan ini. Â dapat memfasilitasi kebutuhan semua peserta didik, termasuk peserta didik disabilitas.
Seperti diketahui, program pendidikan inklusif ini lahir sebagai salah satu solusi karena masih terbatasnya sekolah-sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi penyandang disabilitas yang masih berpusat di pusat kota. Sehingga diharapkan semua warga negara bisa mengenyam pendidikan formal melalui lembaga pendidikan reguler.
Namun tentunya ada banyak tantangan yang akan dihadapi pada tahapan realisasi. Jumlah guru pembimbing khusus (GPK) sangat terbatas, masih rendahnya kemampuan mengadaptasi
kurikulum dan pembelajaran, dukungan APBD yang masih minim, masih adanya stigma negatif penyandang disabilitas dan lain-lain.
Melihat tantangan ini maka  sekolah harus membentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas untuk mengelola kurikulum sesuai dengan pedoman pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi individu siswanya (terutama untuk siswa yang memiliki kebutuhan khusus), termasuk penyelenggaraan program khusus.
Selain itu, sinergisitas antara Pemerintah Daerah, sekolah serta orang tua adalah hal penting agar program pendidikan inklusif dalam lingkup untuk mendukung merdeka belajar bisa berjalan dengan baik.
Sehingga melalui Kurikulum Merdeka, pendidikan inklusif diharapkan mampu menyelenggarakan iklim pembelajaran yang menerima dan menghargai perbedaan, baik sosial, budaya, agama, dan suku bangsa. Yuk, saatnya kita semarakkan merdeka belajar untuk semua anak Indonesia termasuk para penyandang disabilitas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H