Mempertahankan idealisme dalam dunia politik adalah tantangan yang kompleks, sulit bahkan mustahil. Ketika seseorang masuk ke dunia politik, idealisme sering kali diuji oleh realitas pragmatis dan tuntutan kompromi. Untuk memperoleh dukungan, memenangkan pemilu, atau mencapai posisi berpengaruh, seorang politisi sering kali harus menyesuaikan sikap dan mengambil langkah-langkah yang pragmatis---bahkan jika itu berarti mengorbankan idealisme yang dulu menjadi pijakan utama mereka.
Idealisme adalah visi atau nilai-nilai tinggi yang seseorang yakini sebagai panduan untuk menciptakan perubahan. Namun, dalam dunia politik, idealisme tersebut kerap kali diuji oleh tuntutan praktis yang datang dari berbagai pihak, seperti partai, konstituen, rekan politik, atau bahkan pendonor dana.Â
Seorang politisi yang mencoba bertahan pada idealismenya secara kaku akan menghadapi dilema ketika kepentingan publik atau dukungan politik memerlukan fleksibilitas. Akibatnya, banyak politisi akhirnya mengambil jalan kompromi, yang sering kali menjauhkan mereka dari visi ideal semula.
Mempertahankan idealisme dalam dunia politik sering kali dianggap sulit, dan ada pandangan bahwa idealisme cenderung luntur ketika seseorang masuk ke dalam arena politik. Kasus Muhaimin Iskandar, atau yang lebih dikenal sebagai Cak Imin, bisa menjadi contoh nyata betapa sulitnya mempertahankan idealisme dalam dunia politik.
Cak Imin awalnya dikenal sebagai tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) yang membawa semangat pembaruan dan suara dari kalangan santri. Namun, seiring perjalanan karier politiknya, ia beberapa kali dianggap berkompromi dengan berbagai kepentingan, bahkan dalam kasus yang mengundang kritik luas.Â
Langkah-langkah politiknya, seperti berkoalisi dengan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan visi awalnya, atau bergabung dengan kubu yang dulunya dikritik, menimbulkan tanda tanya tentang sejauh mana ia masih memegang idealismenya.
Kondisi ini menunjukkan betapa kompleksnya politik, di mana untuk bertahan dan memperoleh dukungan, seorang politisi sering kali harus melakukan negosiasi bahkan kompromi yang sulit dengan prinsip awal mereka.Â
Dalam kasus Cak Imin, ia terlihat harus beradaptasi demi menjaga eksistensi dan relevansi politiknya. Hal ini sering kali menimbulkan persepsi bahwa idealisme tidak dapat dipertahankan ketika seseorang benar-benar terjun dalam dunia politik yang penuh kepentingan beragam.
Kasus seperti ini memperlihatkan bahwa, meskipun idealisme dapat menjadi titik awal seorang politisi, sistem politik yang pragmatis dan penuh persaingan kerap kali memaksa para politisi untuk lebih realistis, bahkan jika itu berarti mengorbankan nilai-nilai awal mereka. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus Cak Imin, idealisme tampaknya sulit untuk tetap utuh di tengah tuntutan dan kompromi yang ada dalam politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H