Mohon tunggu...
Dwi Prakoso
Dwi Prakoso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Perakitan 1997, rilis 1998

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggaran Hukum Media Massa dalam Mengeksploitasi Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

18 Juni 2021   20:09 Diperbarui: 18 Juni 2021   20:37 2465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat adanya keputusan mengenai kebebasan pers pada era reformasi 1998, para sektor media mengalami perubahan secara menyeluruh yang menggambarkan adanya peralihan dari state regulation ke market regulation. 

Media sudah tidak lagi memperoleh intervensi oleh negara, akan tetapi pada suatu bentuk mekanisme pasar yang didasari oleh kekuatan pasar. Seiring akan berjalannya waktu, media massa bukan lagi suatu hal dipahami oleh para orang dalam konteks institusi sosial atau politik saja, melainkan juga konteks institusi ekonomi. Perilaku media massa sekarang secara keseluruhan dipengaruhi oleh adanya faktor ekonomi.

Di dalam hal ini sesungguhnya keputusan bertujuan untuk memberikan partisipasi aktif. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam teori Uses and Gratification yang dicetuskan Herbert Gulmer dan Elihu Katz. Pada teori tersebut, publik menggunakan media massa sebagai pemuas kebutuhannya. Untuk itu pengguna media atau publik yang sebenarnya memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media massa tersebut (McQuail, 1987: 236). 

Maka dari itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa wewenang pemilihan program yang nanti ditonton pada akhirnya bermuara pada keputusan publik. Apabila mayoritas publik telah setuju, yaitu program telah dianggap oleh mereka ideal untuk ditonton, maka para pelaku industri media akan mengikuti taste mereka, karena publik adalah pasar yang sesungguhnya.

Akan tetapi, pada publikasinya, media massa ditekankan harus berjalan dengan pedoman etika professional. Para wartawan sebaiknya dapat berlaku untuk memenuhi kewajiban dan bertindak dengan didasari kode etik dengan acuan pada norma sosial yang berlaku pada masyarakat umum. Dijelaskan bahwa penerapan etika professional media massa, yang dalam kasus ini yaitu kode etik jurnalistik menjadi elemen penting untuk selalu dievaluasi karena pemublikasian yang disajikan oleh media massa akan berdampak kepada masyarakat (Masduki, 2004: 36). 

Hal ini perlu diketahui bahwasanya para media massa itu haruslah mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan seperangkat UU lainnya yang memiliki keterkaitan dengan pers. Disebabkan cukup banyak, media massa yang melanggar UU pers, KEJ, dsb, lebih dari itu keterkaitannya dengan publikasi mengenai berita pelanggaran berupa kejahatan seksual. 

Media yang notabennya memiblikasi secara berimbang, independen, dan memiliki kewajiban untuk melindungi identitas korban malah bertindak terbalik. Banyak dari media massa yang secara tidak langsung kita lihat malah kembali memperkosa korban melalui berita yang mereka sebarkan melalui media massa. Mengambil kesimpulan yang bersumber dari kajian analisa Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sampai saat ini telah atau masih banyak media yang memberitakan isu bagi pemenuhan hak korban kekerasan seksual.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Perempuan, analisis yang dilakukan pada 9 media yang, didapati sejumlah 8 media yang mengeksploitasi identitas korban. 

Maksudnya adalah dengan mengeksploitasi identitas korban dengan langsung menuliskan namanya atau tidak menggunakan inisial dari korban, selain melanggar kode etik jurnalis, maka hal ini pun termasuk tidak mengusahakan pemenuhan hak korban. Mengenai pemberitaan untuk pemenuhan hak korban 9 media ini, maka pelanggaran yang paling banyak yaitu: menggunakan diksi yang bias (24,21%), mengungkap identitas korban (23,15%), stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan (15,89%), dan seterusnya. (Sumber: Analisa Media Komnas Perempuan, Januari-Juni 2021).

Seperti halnya kasus program siaran "Bulletin iNews Pagi". KPI Pusat sendiri memberikan suatu sanksi teguran dalam bentuk tertulis pada program siaran jurnalistik "Buletin iNews Pagi" yang ditayangkan GTV. Program jurnalistik ini dinilai mengabaikan ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI perihal kewajiban menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarga dalam pemberitaan. 

Dalam surat teguran yang dilayangkan KPI Pusat pada 20 April 2020 lalu disebutkan bahwa program siaran "Buletin iNews Pagi" yang ditayangkan GTV tanggal 5 April 2020 pukul 04.19 WIB terdapat pemberitaan tentang pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang menampilkan wajah dan identitas ayah korban.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan tampilan wajah dan identitas, baik korban maupun keluarga korban kejahatan seksual dalam pemberitaan, harus mengikuti aturan yang sudah disebutkan dalam Pasal 43 huruf f Standar Program Siaran (SPS) KPI. Karena itu, setiap ada pemberitaan terkait kejahatan seksual yang tidak menyamarkan identitas korban dan keluarga korban, KPI akan menilainya sebagai pelanggaran.

Menampilkan anggota keluarga korban tanpa memberikan efek sensor pada wajahnya adalah salah satu kegiatan yang melanggar Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pasal 43 huruf f yaitu menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya. 

Tentu peristiwa tersebut termasuk pelanggaran karena identitas korban kejahatan seksual dapat terbongkar, sebab tidak mematuhi SPS KPI Tahun 2012 Pasal 43 f, berita tersebut juga melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 22 Ayat (3) yaitu Lembaga Penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Pedoman perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

Program siaran tersebut menayangkan secara eksplisit wajah dan identitas orang tua korban pemerkosaan, KPI pun secara tersurat menegur lembaga penyiaran tersebut. KPI pusat menilai muatan demikian tidak dapat ditampilkan karena dapat mengungkap identitas korban. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas kewajiban program siaran jurnalistik untuk menyamarkan wajah dan identitas keluarga korban kejahatan seksual.

Pemilik industry media harus sadar bahwa dalam memberitakan atau menayangkan sebuah peristiwa kejadian haruslah taat hukum dan etika komunikasi media massa, bukan hanya menganggap sebuah peristiwa sebagai komoditas untuk mencari keuntungan semata tanpa memikirkan nasib korban serta mengesampingkan hati nurani. 

Kesadaran dari pemilik media bisa berupa memperbanyak literasi dan pelatihan terkait Kode Etik Jurnalistik, bagi para pelaku media seperti jurnalis, editor, sekalipun pimpinan redaki dan penanggungjawab selaku gatekeeper. Hal ini penting karena sebagai pelaku media harus pandai dalam mengambil sebuah berita/peristiwa serta memilih mana yang layak untuk ditanyangkan sesuai dengan pedoman penyiaran atau tidak.

Untuk lembaga penyiaran yang menayangkan hal seperti diatas, perlu adanya pengawasan yang ketat dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar bisa memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tidak hanya oleh KPI, pemerintah pun harus mempunyai regulasi yang ketat untuk media massa. Sehingga pada nantinya, apabila lembaga penyiaran yang melanggar namun tetap pasif dengan teguran KPI, maka KPI dibantu oleh pemerintah dapat memberikan sanksi pada lembaga penyiaran sesuai ketentuan atau secara maksimal.

Selain itu, media literasi sebagai kemampuan khalayak untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk medium (Livingstone, 2009). Dengan kemampuan itu publik seharusnya menyadari bagaimana media di konstruksi dan diakses. Kemampuan yang kemudian dibahasakan sebagai media literasi ini seharusnya membuat masyarakat Indonesia tak lagi dipandang secara pasif. 

Mereka diharapkan dapat memahami media massa secara utuh baik dalam konteks peranannya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia pada dimensi kultural namun disisi lain karakteristiknya sebagai industri. 

Masyarakat umum juga diharapkan dapat menciptakan filter bagi dirinya sendiri untuk memaksimalkan porsi manfaat dan meminimalisasi dampak negatif. Idealnya selain memberikan informasi, wawasan, pengetahuan dan perkembangan budaya, televisi berperan memperlancar hubungan dan komunikasi antar manusia dalam masyarakat, memiliki kecepatan dan keakuratan dalam menyajikan berita, melebihi media massa lainnya seperti surat kabar dan radio.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun