Mohon tunggu...
Dwi Nugroho
Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Relawan - Universitas Tadulako

Saya adalah salah satu mahasiswa Universitas Tadulako program studi Antropologi dan ingin belajar menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Review Buku "Ketika Sejarah Berseragam"

15 November 2022   10:40 Diperbarui: 15 November 2022   10:49 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://s1.bukalapak.com/img/6998834811/w-1000/Buku_Ketika_Sejarah_Berseragam_Membongkar_ideologi_militer_d.jpg

Bab 3 dengan topik “Sejarah Untuk Membela Rezim Orde Baru” membahas berbagai macam upaya Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan didirikannya Pusat Sejarah ABRI, kemudian segera menerbitkan kisah usaha kudeta dengan versi yang pertama. Buku dengan judul 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November dianggap penting karena berisi tentang propaganda Angkatan Darat mengenai kudeta dan berhubungan dengan keterlibatannya PKI dalam peristiwa itu.

Selanjutnya juga terbit kisah ini dalam versi bahasa Inggris, yang digunakan untuk disebarluaskan pada dunia dalam usaha untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru juga mengupayakan untuk menanamkan antikomunisme pada masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibuatnya Monumen Lubang Buaya dan peringatan peristiwa G-30-S setiap tahunnya.

Penulisan sejarah selalu menyudutkan PKI sebagai pelaku utama dari peristiwa yang mengenaskan tersebut. Masyarakat kemudian bertanya-tanya mengenai kebenaran sejarah bangsanya di masa lampau. Namun walau begitu, masyarakat tetap setia pada versi kisah yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI. Antikomunisme sudah berhasil ditanamkan oleh Orde Baru pada masyarakat Indonesia, bahkan setelah era kepemimpinan Soeharto telah selesai. Kisah kudeta yang disampaikan lebih berfokus pada kisah mengenai Orde Baru, bukanlah fokus kepada kudeta itu sendiri yang sebenarnya merupakan topik utama.

Kisah kudeta ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai inti yang diselaraskan dengan agama dan moralitas. Sumur Lubang Buaya dijadikan alat sebagai pengingat peristiwa sadis yang dialami oleh Jenderal Angkatan Darat. Relief pada Monumen Pancasila Sakti mengisahkan tentang perjalanan bagaimana terjadinya krisis nasional pada masa Soekarno, kemudian adanya pengaruh amoral dari PKI, yang kemudian terjadi pemulihan krisis pada masa Soeharto.

Kompleks ini menjadi sangat sakral karena memperkokoh tema kesaktian Pancasila dan ancaman komunis yang mengancam Pancasila sila pertama. Selain itu juga dibuat film Pengkhianatan Gerakan 30 September beserta peringatan Kesaktian Pancasila yang semakin memperkuat penanaman antikomunisme serta penderitaan Angkatan Darat dan perjuangannya dalam menjaga Pancasila. Dari peristiwa G-30-S, Nugroho Notosusanto dengan Pusat Sejarah ABRI kemudian mengembangkan penulisan sejarah Indonesia yang lain untuk memperkokoh peran militer dalam penulisan sejarah Indonesia.

Bab 4 di buku ini dengan judul “Mengkonsolidasi Kesatuan Militer”. Dalam penulisan sejarah, terdapat beberapa gambaran yang terputus-putus antara legitimasi dan kenyataannya. “Karena militer menyadari dampak keterbelahan yang pernah terjadi antara komando territorial dengan angkatan-angkatan militer, dalam dekade pertama masa Orde Baru militer Indonesia bekerja keras untuk memupuk suatu rasa kebersatuan militer dengan nilai-nilai yang konsisten” (Katherine McGregor, 2008: 245-246).

Awal tahun 1970-an, kepemimpinan militer juga memikirkan dampak yang diakibatkan dari penyerahan kekuasaan kepada generasi militer yang tidak mengalami dan tidak mengikuti perang kemerdekaan. Pada seminar tahun 1972, memperkenalkan interpretasi yang baru mengenai nilai-nilai 1945. Nilai Pancasila dan UUD 1945 ditampilkan sebagai representasi inti dari nilai-nilai 1945, sedangkan nilai-nilai TNI 45 khusus menampilkan nilai-nilai pertahanan, etika militer, pengorbanan, dan kepatuhan. Seminar ini lebih mempromosikan tentang nilai-nilai 1945. Proyek sejarah yang lainnya juga terinspirasi dari seminar ini, dengan tujuan untuk memperkenalkan militer dan konsep dwifungsi.

Bab 5, selanjutnya dengan topik “Mempromosikan Militer dan Dwifungsi Kepada Masyarakat Sipil”. Seminar pada tahun 1972 bertujuan untuk menciptakan rasa hormat kepada militer Indonesia melalui konsep nilai-nilai 1945. Memoir militer, menonton film tentang revolusi Indonesia, maupun membaca buku-buku yang telah disetujui militer, menjadi sarana media agar masyarakat Indonesia mendapatkan nilai-nilai 1945 dan peran-peran militer di masa lalu nasional yang diagungkan.

Nugroho Notosusanto membela versi sejarah-sejarah yang terkait dengan militer miliknya. Termasuk media yang paling berpengaruh yaitu Volume Lima dan Enam Sejarah Nasional Indonesia yang diawasi olehnya. Nugroho Notosusanto masih tetap mengagungkan militer hingga akhir hayatnya di tahun 1985. Ia percaya bahwa militer adalah pemimpin yang terbaik untuk bangsa, dan mungkin ia juga memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi orang yang berpengaruh.

Bab 6 yang merupakan bab terakhir, dengan topik “Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-Musuh Negara”. Sepeninggalan Nugroho Notosusanto dan pensiunnya para anggota militer generasi 1945, Pusat Sejarah ABRI sudah tidak lagi membahas tema-tema yang berkaitan dengan pada era sebelumnya. Kajiannya berkaitan dengan bentuk usaha militer untuk melegitimasi dari generasi-generasi selanjutnya. Proyek yang pertama kali dikerjakan adalah Museum Keprajuritan Nasional yang fokusnya terletak pada pahlawan sebelum kemerdekaan dan perlawanan antikolonial. Museum itu juga menekankan pada tradisi keprajuritan Indonesia serta sumber alternatif untuk keberlanjutan dominasi militer dalam politik serta pembangunan.

Terdapat peristiwa-peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi militer di Indonesia, seperti Gerakan Darul Islam atau DI/TII pada sekitar tahun 1970 dan 1980-an. Walau begitu, tetap kisah kudeta 1965 menjadi fokus utama dalam legitimasi. Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) lebih menekankan pada sifat siklis komunisme serta ancamannya bagi bangsa yang kian berlanjut. Adegan-adegan sadis dipertunjukkan di dalam museum tersebut secara rinci. Museum ini bertujuan untuk membiadabkan musuh rezim Orde Baru sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat Indonesia tentang adanya sifat anti-Pancasila dan anti-rezim. Dengan melakukan cara-cara seperti inilah, militer dengan mudah mengendalikan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun