Mohon tunggu...
Dwi Indah Larasati
Dwi Indah Larasati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional - Universitas Jember

Mahasiswa hubungan internasional yang mengembangkan kemampuannya dalam memberikan opini melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Aksi Dedolarisasi BRICS dan ASEAN

29 Februari 2024   11:11 Diperbarui: 29 Februari 2024   11:16 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa negara di dunia mulai meninggalkan dolar Amerika Serikat (AS) dalam transaksi perekonomiannya. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Fenomena ini dikenal dengan istilah dedolarisasi. Negara yang melakukan dedolarisasi akan menggunakan mata uangnya sendiri dalam bertransaksi di pasar global. Sehingga dominasi dollar AS dalam pasar global menurun.

Dedolarisasi dilakukan bukan hanya untuk melemahkan dominasi AS di pasar global. Tetapi juga untuk mempertahankan mata uang lokal. Penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral akan memperkecil risiko kesalahan nilai tukar. Sehingga dapat mendorong perdagangan bilateral. Dedolarisasi juga dapat meminimalisasi manipulasi keuangan oleh bank besar dan lembaga keuangan lainnya. Di mana nantinya sistem transaksi ekonomi global akan selaras, sehingga tercipta persaingan perdagangan yang sehat.

Aksi dedolarisasi telah dilakukan oleh sejumlah negara yang ingin mengurangi dependensi terhadap dolar AS. BRICS menjadi salah satu kelompok negara yang memutuskan untuk tidak lagi menggunakan dolar AS dalam perdagangannya. Kelompok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan ini juga menjadi pelopor dan pemimpin aksi dedolarisasi untuk tinggalkan dolar AS. Bahkan, BRICS berencana untuk membuat mata uang sendiri seperti Uni Eropa yang menggunakan euro dalam kegiatan ekonominya.

Saat ini, anggota-anggota BRICS menggunakan yuan Tiongkok dalam bertransaksi. Tiongkok sebagai pemimpin BRICS, menginternasionalisasi yuan dengan cara mendekati banyak perusahaan untuk melakukan kegiatan ekspor dan impor. Upaya lain yang dilakukan Tiongkok untuk menginternasionalkan yuan adalah dengan memperpanjang masa trading. Di mana nantinya para investor dapat melakukan transaksi dengan mata uang yuan dalam waktu yang lebih lama. Upaya Tiongkok membuahkan hasil dengan menjadikan yuan sebagai mata uang dengan pertumbuhan trading tercepat menurut data The Bank for International Settlements. Di mana rata-rata penggunaan mata uang yuan per hari meningkat 70%. Pada tahun 2022, penggunaan yuan dalam perdagangan internasional meningkat 26,6% menurut data Standard Chatered Renminbi Globalization Index.

Optimisme BRICS dalam melemahkan dominasi dolar AS dalam pasar global sangat kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari bergabungnya negara-negara Arab dalam aliansi BRICS. Bergabungnya Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir semakin memperkuat upaya BRICS dalam membangun dunia yang adil, inklusif, dan makmur. Walaupun dalam perkembangannya BRICS sering kali mendapat sanksi dari AS. Hal tersebut tidak membuat BRICS mundur untuk melemahkan dominasi dolar AS di pasar global. Bahkan, BRICS berencana untuk merekrut negara berkembang lainnya yang memiliki potensi pasar yang tinggi untuk memperluas aliansi BRICS.

Tidak hanya BRICS yang meninggalkan dolar AS dalam bertransaksi. Negara-negara ASEAN juga perlahan meninggalkan dolar AS dalam transaksi perdagangannya. Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia telah melakukan kerja sama dedolarisasi dengan beberapa negara ASEAN. Tidak hanya dengan negara ASEAN, Indonesia juga melakukan dedolarisasi dengan Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Hal tersebut dilakukan Indonesia untuk meningkatkan akselerasi penggunaan uang lokal.

Local Currency Transaction (LCT) menjadi bentuk kerja sama antara Indonesia dengan beberapa negara ASEAN yang sepakat untuk meninggalkan dolar AS. Kerja sama tersebut disetujui pada saat KTT G20 di Indonesia, 2022 silam. Tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama Regional Payment Connectivity (RPC). Di dalam MoU tersebut juga terdapat kesepakatan Fast Payment dan QR Code Indonesian Standard (QRIS) dalam transaksi perekonomian negara-negara ASEAN. Kesepakatan tersebut disepakati oleh 5 negara ASEAN. Di mana proses pembayaran dalam transaksi ekonomi dipermudah dengan adanya digitalisasi.

Kesepakatan tersebut diawali oleh Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Kesepakatan tersebut bertambah luas dengan bergabungnya Singapura dan Filipina. Kesepakatan ini dilakukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Bahkan, Vietnam telah resmi bergabung dalam kerja sama ini. Di mana akan diterapkan metode pembayaran dengan QRIS, Fast Payment, dan sistem pembayaran Real Time Gross Settlement (RTGS). Brunei Darussalam, Laos, dan Kamboja belum tergabung dalam kerja sama tersebut. Dikarenakan negara tersebut masih dalam proses membenahi pembayaran domestiknya, dengan cara membangun dan mememperkuat sistem pembayarannya. Diharapkan ketiga negara tersebut dapat bergabung dengan kerja sama ini. Agar tujuan dibentuknya kerja sama ini dapat tercapai dengan maksimal.

Kerja sama pembayaran lintas batas di ASEAN dapat menguntungkan anggotanya. Pembayaran digital melalui QRIS akan menarik banyak turis asing untuk berwisata di ASEAN. Hal tersebut membuat para turis dapat bertransaksi dengan mudah tanpa harus menukarkan mata uang. Hal tersebut dapat dilihat dari data Bank Indonesia, di mana terdapat 14.455 transaksi atau senilai Rp8,54 miliar dengan menggunakan Thai QR Codes. Turis Thailand juga telah melakukan transaksi sebanyak 492 kali. Kerja sama tersebut juga meningkatkan hubungan dagang antar negara ASEAN. Di mana kegiatan ekspor dan impor antar negara akan terjaga. Selain itu, para eksportir dan importir sangat diuntungkan, karena biaya perdagangan lebih murah.

Dedolarisasi oleh BRICS dan ASEAN tidak hanya untuk melemahkan dominasi dolar AS di pasar global. Hal ini dilakukan kedua aliansi tersebut untuk menjaga nilai tukar mata uang masing-masing anggota dalam jangka panjang. Sehingga transaksi ekonomi anggota-anggota BRICS dan ASEAN tidak bergantung pada dolar AS. Karena dalam beberapa tahun terakhir deficit neraca pembayaran melanda AS.  Di mana hal tersebut menyebabkan dolar AS sensitif terhadap fenomena global. Sehingga BRICS dan ASEAN memutuskan untuk meninggalkan dolar AS agar tidak terkena dampaknya. Dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi di masing-masing anggota akan berkembang. Dikarenakan terjadi peningkatan investasi dan kegiatan perdagangan global akibat stabilitas mata uang masing-masing negara.

Untuk melemahkan dominasi dolar AS dibutuhkan waktu yang lama. Karena dominasi dolar AS yang sangat kuat dalam perekonomian global. Hal tersebut disebabkan oleh istilah "King Dolar" melekat  erat pada AS. Di mana dolar AS telah menguasai perekonomian global sejak tahun 1920an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun