Berkali-kali kami terjebak di jalan dengan pasir yang tebal, maka kami harus melihat kira-kira rute mana yang bisa kami lalui agar roda ini tetap menggelinding. Terjatuh, bangun, berusaha keluar dari pasir dan anakku berlari duluan. Aku berusaha menuju jalan yang lebih tipis pasirnya. Berkali-kali kami jatuh, bangun, memacu kendaraan dengan tinggi dengan setir yang belok-belok sungguh membuat adrenalin terpacu tinggi. Kadang aku tidak segera bangun karena kurang tenaga untuk membangunkan motor kami. Mungkin tenaga kami banyak berkurang sehingga makin lama makin berat saja untuk membuat motor berdiri kembali.
Sekilas aku berpikir bagaimana caraku kembali nanti kalau masih menuju ke kawah saja tantangannya begitu berat? Aku pengemudi, insyaallah bisa. Ini hanya butuh usaha yang pantang menyerah. Setelah bergulat dengan jalanan berpasir selama setengah jam maka kamipun bisa melihat rute menuju kawah. Aku menuju tempat parkir di kaki gunung menuju kawah. Gelak tawa selalu menghiasi bibir kami memikirkan kebodohan, keseruan dan keberhasilan melewati rintangan yang kadang terasa di luar nalar.
Matahari pukul 09.30 WIB sudah terasa terik sekali. Kami mulai berjalan kaki menuju puncak yang terdapat kawah. Jalanan menanjak, bau kotoran kuda dan debu yang tebal membuat pernapasan terganggu. Baru seratus meter naik, aku harus berhenti untuk mengatur napas. Tiba-tiba seluruh tubuh merinding, kepala mulai berat, napas sesak, aku mau pingsan! Aku berusaha mengendalikan diri, menetralkan diri dengan mengatur napas, jangan sampai pingsan. Setelah berhenti beberapa menit, napasku mulai normal dan alhamdulilah aku tidak pingsan. Â Aku mulai berjalan lagi. Aku berhenti lebih dari lima kali karena bernapas sudah benar-benar susah dilakukan.
Meski lambat, semangat selalu aku tanamkan di dada. Aku pasti mampu tiba di puncak, melihat kawah seperti yang banyak orang lakukan. Ini seperti sebuah inti perjalanan ke gunung Bromo. Sulit dan butuh kesabaran tinggi dengan kemampuan diri ini. Finally .. aku tiba di tujuanku. Rasa syukur memenuhi dada, tak terasa meleleh air mataku karena sangat bahagia. Dengan energi yang sudah tidak dijaga dengan baik ini, saya masih mampu naik motor dan berjalan sampai di kawah ini. Aku berhasil mengalahkan kekawatiran dan membuktikan kalau raga ini masih mampu bergerak sampai di tempat ini.
Setelah berhenti beberapa puluh menit, kami memutuskan untuk kembali. Tidak butuh waktu lama ketika jalan turun ke tempat parkir karena napas baik-baik saja. Perjalanan melintasi lautan pasir menuju ke penanjakan masih diwarnai dengan rasa takjub bagaimana bisa mendobrak batas ketidaknormalan diri berkendara. Harus mengemudi dengan kencang, belok-belok agar bisa sampai tujuan. Tidak mudah mengikuti teori yang tidak biasa ini sehingga sering motor aku pacu dengan pelan dan akhirnya benar-benar jatuh lagi dan lagi.
Sampailaah kami di akhir perjalanan lautan pasir dan memantapkan hati menantang diri melewati tanjakan tajam. Terlihat tulisan pakai gigi satu, dan aku mematuhinya. Lima puluh meter pertama aku masih berterima kasih karena motorku terasa sehat. Tikungan tajam disertai tanjakan dengan kemiringan jalan 70 derajat, pelan-pelan sambil menjaga konsentrasi tinggi dengan menggumamkan surah Alfatihah dan kamipun sudah melewati seratus meter pertama. Tanjakan masih berlanjut dengan kemiringan bervariasi antara 60 sampai 75 derajat. Kurang lebih 500 meter tanjakan akhirnya bisak ami lalui. Cukup lega rasanya dua hal yang paling aku kawatirkan bisa aku lalui.
Banyak syukur atas nikmat sehat sehingga secara mental dan fisik bisa mengendalikan dengan baik tantangan-tantangan yang ada. Capek pasti, tetapi senyum kami merekah bak kuntum di musim semi. Mau kemana  petualangan kita selanjutnya?
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H