Pernahkah kamu mendengar kata retorika dan kamuflase?. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, retorika (kbbi.web.id) merupakan keterampilan berbahasa secara efektif dan efisien. Dimana menurut Plato (2002:8) Retorika adalah kemampuan di dalam mengaplikasikan bahasa lisan yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan sempurna. Â Sedangkan kamuflase adalah perubahan bentuk, rupa, sikap, warna, dan sebagainya menjadi lain agar tidak dikenali. Jadi hubungan retorika dan kamuflase adalah bagaimana seseorang meyakinkan orang yang diajak berbicara dengan seluruh kalimat bujukkannya dan kepalsuan agar mengikuti kehendaknya baik untuk kepentingan pribadinya maupun untuk kepentingan pendengarnya.
      Dalam kajiannya, retorika yang ada dalam proses belajar di sekolah, biasanya memperlihatkan tentang bagaimana seorang siswa diminta untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya dengan cara dibujuk, dan dipaksa. Atau bahkan ada juga yang memang pada sasarnya memiliki kesadaran sendiri untuk melakukannya proses belajar yang dilaluinya.  Sebagai (researchgate.net) seorang guru yang memfasilitasi siswa  harus mampu menggunakan retorika dengan baik.  Demi mencapai target pendidikan itu sendiri. Sebab, jika guru tersebut mampu menggunakan retorika yang baik, siswa yang ada di dalam sekolah bahkan kelasnya akan menjadi sedikit lebih betah dan bersemangat ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar. Alhasil dalam retorika yang dilakukan oleh seorang guru ini, biasanya selalu saja disertai dengan kamuflase yang dibuat mereka untuk meyakinkan siswa agar mau mengikuti proses belajar-mengajar sesuai kehendaknya.
      Penggunaan kamuflase yang dilakukan oleh seorang guru, dalam bentuk berupa upaya beriming-iming hadiah, beasiswa, nilai baik, dan lulus tanpa kendala. Membuat para siswa akhirnya ingin mengikutinya. Sehingga para siswa tersebut, termotivasi dan tergerak mengikuti segala macam kegiatan baik secara akademis dan non-akademis. Seperti mengikuti kegiatan organisasi yang ada disekolah tersebut atau perlombaan dan kegiatan positif lainnya yang sebenarnya bertujuan untuk membangun diri siswa itu sendiri.
      Dalam dunia pendidikan retorika dan kamuflase ini sering dilakukan oleh para guru untuk  meyakinkan siswanya. Terutama untuk melakukan suatu kegiatan pada proses pembelajaran dan beberapa kegiatan di sekolah. Seperti melakukan kegiatan estrakulikuler dan kegiatan-kegiatan lain untuk mengembangkan skill dan kemampuan siswanya. Tidak jarang kita melihat ada guru yang membujuk bahkan sampai memaksa siswanya untuk melakukan suatu kegiatan di sekolah yang biasanya diiming imingi masa depan yang cerah serta pengalaman yang banyak dan berguna untuk mengasah dan mengembangkan skill nya untuk masa depan.
      Terutama di kurikulum Merdeka Belajar yang memberikan kebebasan kepada pendidik untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang melahirkan pelajar yang bekualitas pula. Meskipun siswa diberi kebebasan untuk memilih  materi sendiri proses dan cara belajar mana yang ingin ditempuhnya bukan berarti disini guru tidak memiliki peranan lagi. Guru dalam posisinya masih sama dalam kurikulum Merdeka Belajar ini yaitu tetap memiliki pesanan sebagai orang tua yang harus mampu mengarahkan bahkan mengontrol proses pendidikan siswanya. Meskipun (kompas.id) dalam idealnya pendidikan yang ada di kurikulum merdeka berorientasi pada siswa, tetapi tetap saja guru harus bisa dituntut untuk membangun pendekatan yang memanusiakan manusia. Agar siswanya mampu menyesuaikan pelajarnya dengan kebutuhkan, kemampuan dan minatnya. Sehingga para siswanya dapat mengembangkan potensi dirinya. Oleh karena,  itu dalam proses belajar di Merdeka Belajar ini dituntut harus mampu beretorika dan berkamuplase dengan siswanya di sekolah. Sebab untuk menciptakan siswa yang berkuaitas perlu ada sedikit dorongan melalui retorika dan kamuflase positif ini. Terlebih lagi sekarang ini banyak generasi sekarang cenderung enggan menggali potensi dan skill yang dimilikinya. Maka dari itu retorika dan kamuflase positif ini berguna dalam menggali skill dan potensi dalam siswa yang tidak mengetahui apa skill nya. Dengan sedikit paksaan dari retorika ini maka siswa akhirnya bisa memiliki potensi dan skill yang berguna untuk masa depannya.
      Adapun bentuk dari retorika yang biasa dilakukan oleh guru kepada siswa yaitu sebagai berikut. Pertama, mengajak siswa mengerjakan tugas sekolah dengan baik dengan cara mengirimkan tugas dengan baik dan tepat waktu apabila tidak mengerjakan akan mendapatkan sanksi dan konsekuensinya. Kedua, mematuhi peraturan sekolah dengan memakai pakaian sesuai jadwal, melengkapkan atribut sekolah, mengenakan seragam yang telah ditentukan seperti sepatu harus hitam dan lain sebagainya. Ketiga, lebih giat dalam belajar tidak malas malasan dalam belajar. Keempat, mengikuti kegiatan estrakulikuler di sekolah seperti Pramuka, OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), dan sebagainya. Kelima, menjadi siswa yang baik dan memiliki akhlak yang baik sesuai norma agama dan norma sosial seperti lemah lembut saat berbicara kepada orang yang lebih tua, tidak memotong pembicaraan orang lain, selalu menghormati dan menghargai orang lain dan sebagainya. Terakhir, ikuti lomba untuk meningkatkan pengalaman baik akademis maupun non-akademis seperti OSN, O2SN, FLS2N, dan lain sebagainya. Biasanya hal-hal tersebut akan dilakukan oleh guru untuk kebaikan siswa itu sendiri.  Agar siswa mampu menyadari sangat penting untuk meningkatkan skill maupun pengalamannya Terutama ketika dirinya berproses dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pada Kurikulum Merdeka ini.
      Berdasarkan retorika yang sering diutarakan kepada siswa tersebut, selanjutnya guru memainkan peranannya agar ajakan tersebut dapat diikuti bersama dalam proses pembelajaran yang dilakukannya. Perlu ada sedikit kamuflase seperti seolah-olah marah pada anak muridnya yang nakal dan tidak mengerjakan tugas sebagai dorongan agar anak tersebut mengerjakan tugas tersebut. Serta terkadang harus bertingkah agar terlihat sedikit tegas namun seperti kasar dimata sisw. Untuk memudahkan guru tersebut dalam membimbing siswanya dengan sedikit ekspresif. Sehingga pembelajaran tersebut bisa dengan mudah terarahkan. Sebab siswa merasa khawatir jika tidak melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Melalui dorongan-dorongan tersebut maka siswa akan lebih memahami konsekuensi atas perlakuannya.  Dan hal ini sering disalah artikan oleh siswa yang menganggap bahwa perlakuan tersebut adalah bentuk dari kemarahan guru terhadapnya. Padahal itu semua demi kebaikan siswanya sendiri.
      Misal, bentuk kekesalan guru yang diekspresikan dengan kemarahan terhadap siswa dikarenakan tidak mengerjakan tugas. Pastilah siswa ini beranggapan guru tersebut jahat padanya.  Bahkan tidak jarang ada diantara siswa saat ini ada yang membantah dan melawan guru.  Padahal itu juga demi kebaikan dan masa depan murid tersebut. Seandainya guru tersebut tidak perduli sama sekali dengan siswanya yang tidak mengerjakan tugas dan terjadi secara terus-menerus, maka otomatis pemahaman siswa tersebut akan kurang dan sangat sedikit didapatkannya. Sehingga hal ini akan memberi dampak yang buruk pada kemampuan yang bisa dimiliki siswa serta masa depannya sendiri.
      Contoh lainnya lagi, ketika guru yang meminta siswanya untuk mengikuti kegiatan lomba atau kegiatan pelatihan yang sangat berguna untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Hal ini bahkan terkesan memaksa bagi para siswa yang enggan untuk melakukannya.  Padahal itu semua dilakukan demi mengembangkan mental, pengalaman, dan skill siswa agar setelah lulus sekolah dirinya sudah memiliki pengalaman dasar dalam melakukan suatu kegiatan.
      Kericuhan yang disebabkan dari proses pembelajaran ini sering dikaitkan dengan  undang-undang perlindungan anak. Sehingga membuat upaya seorang guru untuk membentuk siswanya terlihat semakin berjarak. Dikit-dikit retorika yang terlihat tegas dan memaksa dalam proses belajar siswa saat ini. Lapor ke orang tua, "mama papa mental ku rusak karena dibentak oleh guru itu". Begitu celotehan yang banyak ditayangkan dalam beberapa akun media sosial terhadap bagaimana mental seorang siswa tumbuh dan berkembang saat ini.
      Berdasarkan pasal 76 c UU tahun 2014 (peraturan.bpk.go.id) yang berbunyi "setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak". Undang-undang ini sering disalahgunakan oleh siswa dan orang tua siswa. Misal ada guru yang memarahi dan memberikan sedikit sangsi yang memanusiakan kepada  siswa dengan kondisi anak yang tidak terima atas hal tersebut. Siswa ini biasanya akan melaporkan kepada orang tuanya dan mengusut apa yang terjadi pada anaknya tanpa mengoreksi diri terhadap penyimpangan yang telah dilakukannya. Biasa mereka akan langsung mengaitkan dengan undang-undang tersebut untuk menuntut guru. Padahal guru melakukan itu demi kebaikan siswanya. Untuk mengembangkan siswanya dari berbagai aspek seperti kedisiplinan, kesopanan, serta akhlaknya.
      Perbandingan ini bisa dilihat jika siswa generasi sekarang disandingkan dengan kualitas siswa generasi terdahulu. Dimana cara mereka menanggapi perlakuan dan ekspresi guru jauh berbeda. Misalnya jika dimarahi guru generasi dahulu lebih cenderung untuk mengintropeksi diri apakah benar perlakuan mereka itu salah. Sedangkan generasi sekarang cenderung marah kepada guru apabila mereka ditegur atau dimarahi guru. Bahkan ada juga yang tidak segan-segan membentak dan melawan guru padahal jelask sekali dirinya sendiri yang melakukan kesalahan. Adab dalam belajarnya dimana jika terus retorika dan kampulase positif yang diupayakan guru di perlakukan seperti itu.
      Bila menoleh ke pendidikan di masa lalu, siswa dahulu sangatlah disiplin dan sangat menaati peraturan. Jika ada tugas mereka selalu mengerjakannya dengan baik dan mengumpulkan tepat waktu, sedangkan generasi sekarang sangat jauh dari kata disiplin dan bahkan ada yang bangga apabila melanggar peraturan. Adapulaa yang mengerjakan tugas nya dengan sikap malas-malasan. Bahkan ada yang sampai tidak mengerjakan tugas tersebut. Jadi darimana guru bisa mendapatkan nilai, kalau kita tidak mau diminta melakukan apapun yang berkaitan dengan proses belajar di sekolah.
       Dengan ini perbaikan diri siswa harus dilakukan. Mulai dari merubah cara pandang terhadap semua respon yang salah dari retorika dan kamuflase positif dan membangun agar  siswa memiliki kesadaran terhadap pentingnya proses belajar untuk masa depannya. Kesadaran akan adanya perkembangan yang buruk ini sangat penting  untuk menentukan cara memperbaiki kualitas sikap, karakter dan adab  siswa pada proses pembelajaran. Sebab retorika dan kamuflase positif bisa di artikan negatif sehingga akan memberi dampak kepada hasil dari proses belajar itu sendiri. Retorika dan kamuplase yang mendapat respon yang negatif, akan membuat guru mengalami kesulitan dalam melakukan proses dalam merdeka belajar ini. Hal tersebut dapat mempengaruhi keyakinan siswa untuk mengikuti mengikuti arahan atau tidaknya ketika belajar dengan menggunakan Kurikulum merdeka belajar tersebut.
      Sebagai dampak dari penyampaian retorika dan kamuflase yang sering disalah artikan oleh siswa ini biasanya mempengaruhi proses yang dilakukannya ketika belajar.  Seperti, menunda-nunda pengerjaan tugas yang diberikan oleh guru. Dengan alasan sibuk dan malas. Semua ini akhirnya menjadi pemicu para guru kita akhirnya berprilaku masa bodoh ketika siswa tidak membuat tugasnya. Selanjutnya retorika dan kamuflase yang disalah artikan oleh siswa, bisa juga membuatnya kesulitan untuk memahami pelajaran. Sebab tidak mendapat ridho dari ilmu yang di sampaikan oleh guru kepadanya. Hal ini terjadi akibat prasangka buruk yang di pikirkan oleh siswa itu sendiri terhadap upaya yang dilakukan gurunya untuk membuatnya mau berproses dalam kegiatan belajar ini. Selain, mengundang amarah guru, tindakan yang menyepelekan tugas yang diberikan dan menganggapnya sebagai suatu pekerjaan yang berat. Keridhoan seorang guru terhadap ilmu yang diberikannya akan sulit diberikan kepadanya jika tindakan menyepelekan itu terjadi. Karena belajar merupakan (2021:76) ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang iklas, siswa wajib menuntut ilmu dan menghormati gurunya serta berusaha memperoleh ridho guru dengan cara yang baik. Oleh karena itu, berprasangka baik terhadap retorika dan kamuplase yang dilakukan guru untuk kebaikan dirinya sendiri, serta mengerjakan setiap tugas belajar yang diberikan menjadi harga mutlak dan yang tidak bisa ditawar oleh siswa. Jika hal ini tidak dilaksanakan hal ini akan berdampang pada sulitnya siswa untuk bersosialisasi mendapatkan pendidikan yang lebih dari gurunya sendiri. Sebab sudah terlanjur berpifik bahwa retorika dan kamuflase yang digunakan guru tersebut salah dimatanya.
      Oleh sebab itu, retorika dan kamuflase yang dilakukan dan diberikan oleh seorang guru harus direspon dengan baik siswa. Terlebih jika retorika dan kamuflase tersebut bertujuan untuk membina, membangun serta membentuk diri siswa itu sendiri. Maka hal ini harus harus pahami oleh murid sebab sangat berguna dalam membantu kelancaran proses pembelajaran yang dilakukannya. Sehingga bentuk emosional dari retorika dan kamuflase positif yang dilakukan oleh guru terhadap siswa harus disikapi dengan bijak. Selain itu juga harus diiringi dengan penyampaian retorika dan kamuflase yang memanusiakan manusia agar pesan yang ingin disampaikan bisa tersampaikan dengan baik. Seperti siswa diajak berpikir untuk memberikan pandangan terhadap apa yang harus dilakukannya dalam mencapai masa depan yang lebih baik dengan retorika yang nyata ada di lingkungan sekitarnya. Sehingga kamuflase dari retorika yang diupayakan bisa diterima dengan baik oleh siswanya.
      Kerjasama antara murid dan guru penting dilakukan disini. Sebab dalam retorika dan kamuflase positif ini akan mempengaruhi bagimana proses belajar dalam Merdeka Belajar ini berlangsung. Sebagai pengirim dan penerima pesan dari retorika dan kamuplase dalam proses belajar ini, guru dan siswa harus menyatukan visi misi yang sama antara satu dengan lainnya. Guru bertugas menyampaikan retorika dan kamuflase positif yang memanusiakan manusia. Sedangan siswa menerimanya dengan iklas tanpa memiliki prasangka yang negatif dari penyampaian retorika dan kamuflase ini. Supaya guru bisa dengan leluasa melaksanakan tugasnya dalam mengembangkan potensi dan bakat siswa, serta memberikan ilmu pengetahuan yang berguna bagi siswa kedepannya. Dan siswa bisa jauh lebih mengembangkan diri serta berprestasi ketika menanggapi retorika dan kamuflase yang dilakukan ini dengan baik.  Sejimga semua ini akhirnya menjadi salah satu aspek yang sangat memberikan pengaruh terhadap perkembangan proses pendidikan sekarang.
 ****************
Sumber :
Aristoteles. Terj: Dedi Sri Handayani. 2002. Retorika (Seni Berbicara), Yogjakarta: Basabasi.
Rahmat, Azwar, Ahmad Mufit Anwari, Fatimah , Halimatus Sa`Diyah , Nur Kholik , Miftahul Ulum. 2021. KONSEP DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM. Jawa Barat: EDU PUBLISHER.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6496312/pengertian-retorika-tujuan-dan-jenis-jenisnya
 https://kbbi.web.id/retorika
https://bahteraindonesia.unwir.ac.id/index.php/BI/article/view/38
https://www.researchgate.net/publication/339440181_PERAN_RETORIKA_DALAM_BIDANG_PENDIDIKAN
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38582/uu-no-6-tahun-2014
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/19/pembelajaran-berpusat-pada-siswa-atau-guru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H