"Peran Guru dalam Membangun Pendidikan melalui Kurikulum yang Relevan''
Oleh Dwi Meilani Hasmiyatni
                      Â
        Dalam kajian sosiologi, kurikulum dilihat sebagai hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan, ekonomi, politik, budaya, dan ideologi (Hidayat, 2013). Merujuk pendapat yang dinyatakan oleh Rahmat Hidayat tersebut maka kajian kurikulum dalam perspektif sosiologi tidak hanya sekadar dipandang sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan yang berupa aturan, tujuan, isi, dan bahan pelajaran juga metode yang digunakan dalam proses pembelajaran melainkan juga sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh berbagai kepentingan masyarakat, termasuk kekuasaan, ekonomi, politik, budaya, dan ideologi.
        Di masyarakat, sering terdengar pendapat yang mengatakan bahwa "Ganti presiden, ganti menteri, ganti kurikulum." Opini ini muncul karena kurikulum sering kali dianggap mencerminkan kepentingan politik atau ideologi dari pemimpin yang sedang berkuasa. Hal ini tidak mengherankan, mengingat pemerintah atau pemimpin suatu negara memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah pendidikan melalui kurikulum yang diterapkan. Kurikulum, dalam konteks ini, bisa digunakan untuk menanamkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip tertentu yang sejalan dengan visi pemerintah, serta untuk mengontrol atau membentuk pola pikir masyarakat.
    Baru-baru ini, Abdul Mu'ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah sering menjadi sorotan terkait dengan opininya yang beredar di media sosial tentang perubahan kurikulum yang disampaikan mengarah pada konsep deep kurikulum didasarkan mengacu pada tiga pilar utama: mindfull learning, meaningfull learning, dan joyfull learning. Dewasa ini, hal tersebut memicu diskusi publik mengenai apakah perubahan tersebut benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau justru lebih dipengaruhi oleh agenda politik tertentu.       Â
    Terlepas bagaimana wujud konkret konsep kurikulum yang nanti oleh pemerintah baru kita akan digulirkan, di Indonesia sendiri kurikulum terus mengalami perubahan. Perubahan kurikulum tersebut merupakan suatu bentuk penyesuaian sistem pendidikan dengan perubahan yang terus terjadi baik perubahan dibidang politik, ekonomi, sosial, dan juga teknologi.Â
        Sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang, pendidikan di Indonesia telah dirancang dengan tujuan mendukung kepentingan kolonial. Belanda memperkenalkan sekolah rakyat (Volks School) yang hanya mengajarkan 3R (Baca, Tulis, Hitung) untuk kaum pribumi, sementara Jepang lebih menekankan pendidikan berbasis militer dan pengabdian kepada Kaisar Jepang. Setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mereformasi sistem pendidikan agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan kebutuhan negara yang baru merdeka. BP-KNIP mengusulkan kurikulum yang mengedepankan pendidikan yang adil dan gratis untuk semua, serta mengakomodasi pengajaran agama sesuai keyakinan. Ini melahirkan Rentjana Pembelajaran 1947, yang menjadi dasar kurikulum pertama Indonesia, mencerminkan semangat inklusivitas dan akses pendidikan yang lebih luas. Seiring perkembangan zaman, kurikulum Indonesia terus beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik, bergerak dari kepentingan kolonial ke nilai-nilai demokrasi, dengan tujuan utama memastikan pendidikan tetap relevan dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Rentjana Pembelajaran 1947.
        Kurikulum pertama di Indonesia pasca kemerdekaan, yakni Rentjana Pembelajaran 1947, diperkenalkan pada tahun 1950 dengan fokus pada pembentukan bangsa yang berdaulat dan berlandaskan Pancasila, meskipun masih dipengaruhi oleh sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Kurikulum ini mencakup 16 mata pelajaran, termasuk latihan kemiliteran, bahasa Indonesia, sejarah, olahraga, seni, dan pendidikan moral, dengan penekanan pada relevansi materi terhadap kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dilakukan melalui ceramah, dan penilaiannya bersifat kualitatif tanpa sistem penskoran formal. Rentjana Pembelajaran 1947 juga mendorong pembentukan Sekolah Rakyat untuk meningkatkan pendidikan dasar, serta pengembangan pendidikan guru dan kejuruan, seperti sekolah dagang dan teknik. Meskipun pendidikan didorong oleh semangat patriotisme dan terdapat program pendidikan gratis, upaya pengentasan buta huruf pasca kolonialisme kurang maksimal karena kurikulum ini lebih menekankan pembentukan karakter dan kesadaran bernegara, daripada pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik siswa.
Rencana Pelajaran Terurai 1952
        Pada tahun 1952, Indonesia memperkenalkan Rencana Pelajaran Terurai 1952, yang menjadi tonggak penting dalam sistem pendidikan dengan fokus pada relevansi materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1950 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 1954, kurikulum ini bertujuan mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dan mencetak tenaga terampil yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kurikulum dibagi dalam enam kelompok pengetahuan, dengan setiap guru mengajar satu mata pelajaran tertentu, sementara kelas Masyarakat disediakan untuk lulusan Sekolah Rakyat yang tidak melanjutkan ke SMP dan lebih berfokus pada keterampilan praktis. Proses belajar berpusat pada guru, yang berfungsi sebagai teladan dalam menanamkan kedisiplinan dan nilai-nilai, sementara siswa lebih bersifat pasif dalam menerima informasi. Penilaian dilakukan dengan ulangan harian, ujian caturwulan, dan ujian akhir, dengan kelulusan ditentukan oleh nilai minimal 5 di empat mata pelajaran.
Rentjana Pembelajaran 1964.
        Pada awal kemerdekaan Indonesia, kurikulum pendidikan mengalami pembaruan melalui Rentjana Pembelajaran 1964, yang menekankan pembelajaran aktif, kreatif, dan produktif dengan tujuan membantu siswa mengembangkan keterampilan pemecahan masalah secara mandiri. Kurikulum ini berfokus pada lima aspek utama: cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang dibagi ke dalam lima bidang studi sesuai dengan konsep Pancawardhana: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmani. Pendidikan dasar menjadi prioritas utama, dengan tambahan kegiatan "hari krida" setiap Sabtu, di mana siswa dapat berpartisipasi dalam aktivitas seni, olahraga, dan budaya. Penilaian untuk kelas I dan II diubah menjadi huruf A, B, C, D, sementara kelas III hingga VI tetap menggunakan angka. Dengan pendekatan kurikulum subjek terpisah, tujuan utamanya adalah memberikan pengetahuan dasar kepada siswa, guna memenuhi kebutuhan pemerintah agar semua rakyat Indonesia memiliki dasar pendidikan yang memadai.
Kurikulum 1968
        Kurikulum 1968, yang menggantikan Rencana Pembelajaran 1964, lahir pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan tujuan untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki moral dan keyakinan beragama yang kuat. Kurikulum ini dibangun atas tiga komponen utama: Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus, yang bertujuan mengembangkan manusia Pancasila yang sehat dan kuat. Menggunakan pendekatan didaktik metodik, kurikulum ini menekankan peran guru sebagai pusat pembelajaran, dengan materi yang lebih teoritis dan kurang terhubung dengan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kurikulum ini berlandaskan pada teori belajar kognitivistik yang lebih fokus pada proses belajar daripada sekadar hasil akhir, memberikan ruang bagi siswa untuk memahami konsep dengan lebih mendalam.
Kurikulum 1975
        Kurikulum 1975 dikembangkan untuk memperbaiki kurikulum sebelumnya dengan penekanan pada pencapaian tujuan yang lebih jelas dan sesuai dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Kurikulum ini mengutamakan fleksibilitas, efektivitas, dan efisiensi, dengan prinsip pendidikan seumur hidup yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dibagi menjadi tiga tingkat: tujuan institusional yang bersifat umum, tujuan kurikuler untuk masing-masing bidang pelajaran, dan tujuan instruksional yang lebih spesifik dan operasional. Metode PPSI digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun kurikulum ini memberikan kerangka yang terstruktur, ada kelemahan, yaitu guru terlalu fokus pada pencapaian tujuan yang membuat mereka sibuk, sementara siswa kurang aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Evaluasi pun dapat dilakukan kapan saja dalam proses belajar, bukan hanya di akhir semester.
Kurikulum 1984
        Kurikulum 1984 membawa perubahan signifikan dengan memasukkan elemen kebudayaan dalam pendidikan nasional, bertujuan untuk mengembangkan kepribadian siswa secara menyeluruh, mencakup aspek intelektual, moral, dan estetika. Dalam kurikulum ini, peran guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang melibatkan orang tua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Meskipun begitu, penerapannya menghadapi beberapa tantangan, seperti sentralisasi yang menyulitkan penyesuaian di daerah, kualitas guru yang belum memadai, serta keterbatasan dana yang menghambat pelaksanaan kurikulum. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diterapkan pun sering kali tidak efektif, bahkan menimbulkan keributan di kelas. Kendala-kendala ini menjadi dasar untuk perbaikan kurikulum selanjutnya agar lebih relevan dan efisien.
Kurikulum 1994
        Kurikulum 1994, yang diterapkan mulai tahun ajaran 1994/1995, merupakan pembaruan dari Kurikulum 1984 untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan menekankan kebermaknaan pembelajaran. Berbeda dari kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan pada keaktifan siswa, kurikulum ini mendorong siswa untuk lebih memahami materi dengan cara yang lebih bermakna, baik secara mental, fisik, maupun sosial. Tujuannya adalah untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga terampil dan siap kerja. Beberapa perubahan besar terjadi, seperti penambahan jam pelajaran untuk mata pelajaran utama di SD, SLTP, dan SMU, serta pengenalan konsep Muatan Lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Selain itu, kurikulum ini juga mencerminkan pengaruh kebijakan Orde Baru dengan penekanan pada Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPK). Meskipun memiliki banyak kelebihan, seperti memberi lebih banyak waktu bagi siswa untuk memahami materi dan adanya program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di SMK, kurikulum ini juga menghadapi tantangan, seperti perbedaan pemahaman tentang muatan lokal, beban berat pada siswa SMK dalam beradaptasi dengan dunia kerja, dan kurangnya fleksibilitas dalam penerapan pendekatan keterampilan.
Kurikulum 2004
        Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, yang diterapkan di Indonesia, menekankan pentingnya pencapaian kompetensi siswa, baik secara individu maupun kelompok, dengan pendekatan pembelajaran yang lebih variatif. Berbeda dengan sistem sebelumnya, guru berperan lebih sebagai fasilitator yang membantu siswa mengembangkan keterampilan dalam penerapan IPTEK, sementara siswa didorong untuk berkompetisi dan bekerja sama. Pembelajaran berfokus pada hasil dan proses, dengan penilaian yang mencakup ujian tertulis, penugasan, proyek, dan portofolio. Silabus yang disusun oleh sekolah dan daerah mengatur berbagai aspek pembelajaran, termasuk materi, media, dan alokasi waktu. Evaluasi dilakukan secara berkala untuk memastikan kurikulum ini relevan dan efektif, serta memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan lokal. Hasil evaluasi ini digunakan untuk memperbaiki kebijakan pendidikan dan meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga kurikulum berbasis kompetensi dapat terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
Kurikulum 2006
        Kurikulum 2006 (KTSP) diperkenalkan sebagai respons terhadap tantangan globalisasi dan kebutuhan pendidikan lokal pasca reformasi di Indonesia. Kurikulum ini memberikan kebebasan pada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, namun tetap dalam kerangka yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP mengedepankan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan sekolah dalam manajemen pendidikan, dengan fokus pada pencapaian kompetensi siswa melalui mata pelajaran standar, seperti agama, kewarganegaraan, sains, dan teknologi. Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) diterapkan untuk menghubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa bertanggung jawab atas kemajuan belajarnya. Meskipun memberikan kebebasan kreatif bagi sekolah, KTSP juga menimbulkan kesenjangan kualitas antara sekolah-sekolah yang lebih unggul dan yang biasa. Selain itu, KTSP menghadapi tantangan dalam mencapai standar lulusan yang seragam, yang memunculkan kebutuhan untuk penyempurnaan sistem pelaksanaan dan evaluasi, serta penerapan pendidikan multikultural yang menghargai keragaman budaya.
Kurikulum 2013
        Kurikulum 2013 muncul sebagai respon terhadap perubahan politik di masa pemerintahan SBY dan melibatkan masyarakat dalam penyempurnaannya melalui uji publik. Meskipun sudah disosialisasikan, banyak yang meragukan penerapannya karena dianggap terburu-buru, ditambah lagi buku ajar untuk guru dan siswa sering direvisi. Kurikulum ini mengatur pembelajaran dengan sistem semester, menentukan beban belajar berdasarkan jam pelajaran, dan menawarkan mata pelajaran wajib serta pilihan yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa. Di SMA/MA, mata pelajaran dibagi dalam kelompok peminatan untuk persiapan perguruan tinggi, sementara di SMK/MAK lebih menekankan pada vokasi. Pembelajaran difokuskan pada pendekatan saintifik dengan model-model pembelajaran inovatif seperti Inquiry Based Learning dan Project Based Learning. Kurikulum ini juga menuntut peran guru yang lebih aktif, tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator, motivator, dan pengelola pembelajaran yang berpusat pada siswa. Namun, kendala muncul karena banyak guru yang belum sepenuhnya memahami cara mengimplementasikannya, yang menghambat efektivitas pembelajaran. Berbeda dengan KTSP, di Kurikulum 2013, guru lebih berperan sebagai pengarah, sementara siswa didorong untuk lebih aktif dan menggali pengetahuan secara mandiri.
Kurikulum merdeka
        Kurikulum Merdeka dirancang untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dengan fokus pada pengembangan karakter pancasila peserta didik. Prinsip utamanya meliputi pengembangan kompetensi, fleksibilitas, dan muatan esensial yang relevan. Pembelajaran dalam kurikulum ini dirancang dengan asesmen berkelanjutan, metode yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa, serta refleksi kolaboratif antara pendidik untuk memastikan proses belajar yang efektif. Struktur Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan, memadukan elemen positif dari kurikulum sebelumnya, dan menyesuaikan dengan konteks lokal. Implementasinya melibatkan persiapan matang, pelatihan pendidik, dan kolaborasi dengan komunitas untuk menciptakan lingkungan belajar yang dinamis. Dengan pendekatan ini, Kurikulum Merdeka tidak hanya menekankan konten, tetapi juga menumbuhkan kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik.
        Dari perkembangan kurikulum di Indonesia tersebut dapat terlihat bahwa perubahannya menunjukkan evolusi signifikan dalam komponen, landasan, dan bentuk rencana pembelajaran dari waktu ke waktu, mencerminkan perubahan dalam pendekatan pendidikan. Kurikulum pertama, Rentjana Pembelajaran 1947, berfokus pada pengajaran subjek secara tradisional untuk mendukung kebutuhan kolonial, sementara Rentjana Pelajaran Terurai 1952 menekankan penguasaan materi dengan pendekatan yang lebih terstruktur. Pada 1964, Kurikulum Rentjana Pendidikan memperkenalkan pembelajaran yang lebih fleksibel dan relevan secara sosial, diikuti dengan Kurikulum 1968 yang mengintegrasikan pengembangan moral dan karakter siswa. Kurikulum 1975 mulai fokus pada keterampilan praktis, dan Kurikulum 1984 membawa pendekatan tematik untuk mendukung kreativitas siswa. Selanjutnya, Kurikulum 1994 menekankan penguasaan kompetensi dasar sesuai perkembangan siswa, sementara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 fokus pada pengembangan kompetensi yang relevan dengan dunia kerja. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyesuaikan kurikulum dengan konteks lokal, sementara Kurikulum 2013 (K-13) berfokus pada pembelajaran berpusat pada siswa dan pengembangan karakter. Terakhir, Kurikulum Merdeka menekankan fleksibilitas, inovasi, dan penyesuaian dengan kebutuhan siswa, menciptakan lingkungan belajar yang dinamis. Transformasi ini mencerminkan upaya untuk menciptakan pendidikan yang semakin relevan dan responsif terhadap perkembangan sosial dan kebutuhan masa depan.
        Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memahami esensi dan prinsip yang terkandung dalam setiap kurikulum, bukan sekadar mengandalkan perangkat pembelajaran yang harus dikumpulkan. Guru harus mampu mengaplikasikan kurikulum secara tepat, mengubah metode pengajaran, dan mengembangkan pendekatan yang inovatif. Jika guru tetap menggunakan metode yang sama tanpa menyesuaikan dengan perubahan kurikulum, transformasi kurikulum tersebut tidak akan berdampak signifikan pada pengalaman belajar siswa.
     Peran guru dalam mengimplementasikan perubahan kurikulum sangat penting untuk memastikan bahwa transformasi tersebut berdampak positif pada pengalaman belajar siswa. Tidak cukup hanya dengan menyusun perangkat pembelajaran yang sesuai, guru harus mampu memahami esensi dan prinsip-prinsip dasar dari setiap kurikulum yang diterapkan. Ini berarti, seorang guru tidak hanya berfokus pada administrasi pendidikan atau kewajiban administratif, tetapi juga pada bagaimana cara menghubungkan materi yang diajarkan dengan kebutuhan siswa dan perkembangan zaman.
       Guru perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang tujuan dan struktur kurikulum yang diterapkan. Mereka harus mampu melihat kurikulum sebagai sebuah alat untuk menciptakan pengalaman belajar yang relevan dan bermakna bagi siswa, bukan hanya sekadar daftar materi yang harus disampaikan. Oleh karena itu, guru harus bisa menyesuaikan metode pengajaran mereka agar lebih dinamis dan sesuai dengan konteks kurikulum yang diterapkan. Ini bisa melibatkan penggunaan berbagai pendekatan seperti pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning), pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning), atau teknik pembelajaran lain yang dapat mendorong siswa untuk aktif berpikir dan berkreasi.
     Selain itu, guru juga perlu mengembangkan pendekatan inovatif dalam proses pembelajaran. Misalnya, dengan memanfaatkan teknologi, mengintegrasikan pembelajaran luar kelas, atau merancang kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif siswa. Ketika guru melakukan inovasi dalam pengajaran, siswa akan lebih termotivasi untuk belajar, dan materi pembelajaran akan lebih mudah dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
     Jika seorang guru tetap menggunakan metode yang konvensional atau tidak beradaptasi dengan perubahan kurikulum, maka perubahan yang diharapkan dari kurikulum tersebut tidak akan tercapai dengan maksimal. Tanpa adanya perubahan dalam cara mengajar, kurikulum yang baru tidak akan memberikan dampak yang signifikan pada perkembangan keterampilan dan pengetahuan siswa. Oleh karena itu, peran guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat memanfaatkan kurikulum sebagai sarana untuk menciptakan pengalaman belajar yang berkualitas dan relevan.
Sekali lagi guru sebagai ujung tombak pendidikan, guru perlu beradaptasi dengan perubahan ini dan menerapkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dengan cara ini, pendidikan yang relevan dan responsif dapat terwujud, mempersiapkan generasi penerus yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter, sesuai dengan tujuan setiap kurikulum yang diterapkan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H