Pada setiap negeri yang besar terkadang ada satu kota atau beberapa kota yang dispesialkan menjadi barometer/ukuran sebuah ketahanan dan kenyamanan satu negeri. Indonesia pun tak luput dari hal-hal demikian. Beberapa kota menjadi rujukan, disini akan dibahas 3 kota saja. Sadar atau tidak, sungguh ada sesuatu  yang sedang terjadi pada 3 kota barometer utama negeri ini. Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia, Bali pusat wisata dan Jogja pusat pendidikan. Akhir-akhir ini ketiga kota tersebut tampaknya perlahan mulai tak sehebat dulu. Sebenarnya hal itu tidak begitu saja terjadi, semua bila dirunut memang menyimpan berbagai kejutan yang benar-benar diluar dugaan, lebih disayangkan lagi sikap masyarakat yang mulai pragmatis, mudah digiring pada alur fikir media konvensional.
Generasi saat ini benar-benar disuguhkan tantangan besar yang bila tidak tepat dalam menyikapi akan berimbas pada pelemahan semangat kebangsaan namun selalu ada sisi baik untuk segala hal, termasuk dalam hal ini juga, ini akan menjadi kabar gembira bila sigap, tangkas dalam menyikapi, terukur dalam tindakan, semuanya akan berubah, kalau difikir tentunya hal ini juga berpotensi menyatukan kembali simpul-simpul kebangsaan yang akhir-akhir ini sedekit merenggang. Social blog sekelas kompasiana, seword, rumah kaca dan media sejenis lainnya hadir di puncak kejenuhan akan penjejalan opini mainstream yang dipaksakan media-media komersil yang notabene dikuasai  oleh orang itu-itu saja, sedangkan sudah rahasia umum jika sedikit dari mereka yang bisa mempertahankan objektivitas, lebih-lebih satu moment keberpihakan setiap media itu semakin kentara saat berlangsung  hajatan akbar yang telah berlangsung beberapa waktu lalu dan sialnya  beberapa kota akan dilakukan putaran kedua.
Kembali pada tiga kota barometer utama Indonesia. Jakarta sedari zaman kerajaan-kerajaan  memang menempati posisi yang special. Konon, Jakarta serupa episentrum, titik pusat awal peradaban nenek moyang yang letaknya secara geografis memang sangat strategis meski posisinya tidak terlalu jauh dari garis pantai dan sebagian kontur tanahnya berupa rawa, untuk menghindari air menggenang suku asli betawi membuat rumahnya rata-rata lebih tinggi dari pada tanah lingkungan sekitar, pun demikian keadaan tersebut tetap setimpal dengan kenyamanan hidup, ketersediaan hasil bumi yang melimpah pada masa itu.
Sebenar ini juga bukan salah pemimpin 100%, namun pemimpin yang baik akan selalu memiliki langkah untuk mengganti cara yang tidak efisien, sebenarnya tidak perlu susah-susah, bisa saja hanya perlu kuasai para taipan, pemilik media, lakukan pencitraan masive, dan seterusnya memang jauh lebih mudah dibanding bertindak adil, mayarakat dininabobokan dengan janji langitan, mimpi-mimpi indah, karya-karya fatamorgana, percaya masyarakat dengan dipertontonkan akrobat casinggoodgoverment yang diulang-ulang, lama-kelamaan akan terpengaruh dan sulit membedakan mana A mana B, benar-benar akan membingungkan. Namun masyarakat cepat atau lambat pasti akan sadar, merekalah orang-orang yang merasakan imbasnya langsung. Bagaimana peran negara pada warga negaranya saat intu terjadi? tanya aja pada rumput yang bergoyang.
Kota selanjutnya ialah Bali, kota ini nampaknya memiliki magnet terkuat bagi wisatawan manca negara(hari ini Raja Salman aja sampai membawa 1500jama'ah rombongan dari Arab Saudi)Posisinya menjadi tujuan nomor satu tak terkalahkan dari kota lainnya di Indonesia bahkan hingga detik ini. Namun melihat kondisi yang ada beberapa minggu kemarin sangat ironis, bibir pantai di Kuta, Legian, Nusadua, Tanjung benua dan pantai-pantai lainnya tampaknya mulai berubah terlihat bak tempat sampah raksasa, saking banyaknya serupa tak ada bedanya dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar gebang, penuh sampah plastic maupun organic. Imbasnya wisatawan lokal maupun asing pun mulai mencari destinasi wisata lain, entah itu ke Lombok, ke Jogja atau mungkin malah ke Malaysia, ke Thailand. Ironis memang meski pemerintah daerah pada setiap pagi menerjunkan belasan pembersih sampah namun dalam hitungan jam tak seberapa lama kawasan pantai tersebut kembali penuh sampah kembali, seperti tak pernah dibersihkan. Sungguh sedih melihat tersebut, bahkan program CSR Cocacola pun ikut urun andil meski tidak mampu setiap hari, setidaknya bisa menjadi contoh program csr perusahaan besar lainnya pada khususnya dan juga masyarakat pada umumnya.
Yogyakarta kota terakhir dalam pembahasan kali ini. Yogyakarta tempat di mana para orang tua mengirim putra-putrinya untuk mendapatkan pendidikan terbaik, kota dimana norma social, nilai kesopanan serta karakter mulia masih bertahan dan dijunjung tinggi-tinggi. Pada kota tersebut  kini meski berhati-hati. Ini bukannya menakut-nakuti, hanya untuk bekal kewaspadaan untuk setiap orang tua yang berniat mengirim anaknya kuliah ke Jogja. Sungguh selama pendidikan di rumah berjalan dengan baik serta peran orang tua dalam mendampingi anak meraih masa depan bisa maksimal tentunya hal-hal yang dikhawatirkan dapat seminimal mungkin.
Awal tahun ini, masyarakat bersama komunita Jogja Garuk Sampah menyuarakan untuk menindak penyebar sampah visual yakni penyebar pamflet telat haid, serta hukuman tegas pada setiap oknum pembuka praktek layanan aborsi. Oknum-oknum tersebut bekerja sangat rapi, pun demikian sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai toh pasti akan tercium juga cepat atau lambatnya. Hal ini mengemuka setelah dilakukan penelitian sederhana, ternyata ditemukan indikasi sedikit banyaknya ada satu pengaruh terkait hubungan merajalelanya pamfet telat haid di perempatan dengan angka aborsi dikalangan anak muda, secara psikologis ini membuat pikiran bawah sadar pembaca yang notabene para mahasiswa yang jauh dari orang tua terkondisi.