Mohon tunggu...
Dwi Lestari Wiyono
Dwi Lestari Wiyono Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja di industri Food and Beverage yang menyukai dunia kepenulisan

Dwi Lestari atau Dwi Lestari Wiyono adalah seorang Pekerja - Penulis – Sajak – Cerita, serta menjadi bagian dari NaDi Collection Series @nadicollectionseries (instagram akun) sebuah seni dalam tumbler. Dwi pun bisa dijumpai: Facebook : Dwi Lestari Wiyono (Dwi) Instagram: @dwilestariwiyono

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sepotong Kuas IV

18 Desember 2023   06:00 Diperbarui: 18 Desember 2023   06:10 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Dwi Lestari Wiyono

Dimanakah kejadian ini bermula? Dimana ... dimanakah kejadian semua ini berawal? Mengapa, sepertinya semuanya memiliki ikatan; benang merah yang tak terduga. Rasa-rasanya kalimat itu, serangkaian runtutan kata-kata itu memang tak asing bagiku. Bahasa itu. Bahasa tersebut. Aku yang pada awalnya menampik dengan tegas sedemikian rupa perlahan mencoba berdamai, menerima sebuah kenyataan. Hmm ....

JANGAN PANGGIL AKU BILA KAU TIDAK BENAR-BENAR MENGINGINKANNYA!
JANGAN PANGGIL AKU BILA,
...
....

Perjanjianku harus kutuntaskan. Aku harus memotong putus mata rantai perjanjian ini. Dari awal hingga akhir. Aku harus menuntaskannya.

***

Ini kota di mana aku dibesarkan. Ini kota di mana ikatan itu muncul, terlihat, nampak tepat dihadapanku. Aku kasatria dan petarung pada masa silam. Masa apakah itu gerangan? Apakah itu masa di kala suku Maya berjaya? Atau apakah itu masa di kala bangsa Arya bergaung? Di mana? Yang manakah masaku?

Hujan angin mewarnai prakiraan cuaca di berbagai media; baik cetak, elektronik maupun daring istilah kerennya menjadi headline. Kupandangi garis-garis halus, rerintik mungil menyapa lalu mengetuk jendelaku dengan sopan hingga jendelaku menampakkan rona yang menggemaskan. Dari lantai kesekian sebuah gedung yang memang diperuntukkan untuk ditempati dan dimiliki oleh publik aku menatap garis-garis halus, rerintik mungil yang tercurah langsung dari langit.

Oh, Tuhan. Aku berada di ketinggian!

"Mikaela, ayo bangun. Mau sampai kapan kau tertidur? Bangun ... bangun nak. Bangun anakku sayang."

"Baiklah ibu, aku akan segera bangun. Tapi ... nanti sebentar lagi. Berikan aku waktu lima menit saja."

Apa arti hitam? Apa arti kelam? Kuakui bahwa aku seorang penganut kegelapan, penganut kesesatan. Aku berdosa pada Tuhanku sebagaimana kitabku mengatakannya. Kitab pada keyakinan yang tertera, tercetak dalam identitas resmiku. Kelam - Hitam - Sesat. Kira-kira menurutmu apa julukan yang akan tersemat padaku bila mereka mengetahui tabirku yang sebenarnya? Kafir? Penista? Jahanam? Menurutmu julukan apa yang akan tersemat padaku? Cap stempel apa yang akan mereka berikan padaku?

***

Pria itu tidak kutemukan lagi sosoknya. Aku mencari keberadaannya secara sengaja, berharap ia mampu memberikan penjelasan lebih jelas, sejelas-jelasnya. Terutama di saat diri ini mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Otakku mengkondisikan keadaan. Sepertinya sensor-sensor halus memoriku bergerak, membuka jalan bagi ingatan lamaku, ingatan terpendam.

Ada apa ini? Apa aku termakan dengan sumpahku?

bersambung ...
(2021/2023)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun