Mohon tunggu...
Dwikorahardo Histiajid
Dwikorahardo Histiajid Mohon Tunggu... profesional -

Saya bukan orang pintar dan bukanlah seorang penulis, Saya bukan sarjana. Namun ijinkanlah saya untuk belajar menulis. Saya adalah Senior Art Director di sebuah perusahaan EO, sebelumnya di Advertising Agency dan Food Supplement. Sebelumnya juga pernah sebagai editor di pets magazine, marketing dan trader perdagangan berjangka, di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rp 50 Ribu Pengganti Ongkos (Kisah Marketing Perdagangan Berjangka – 3)

6 Mei 2010   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman saya ini terjadi sekitar 2,5 tahun yang lalu, saat saya berkunjung ke rumah seorang prospek - calon investor / nasabah, untuk saya tawarkan agar ikut bergabung di bisnis investasi di perdagangan berjangka. Salah-satu kejadian yang cukup menyesakkan. Ya, memang sudah menjadi resiko orang marketing. Saat itu Februai 2008. Saya menelepon prospek yang bernama sebut saja Mahmuddin.

 

“Halo, selamat pagi Pak Mahmuddin.”

 

“Ya, selamat pagi.”

 

“Apa kabar, Pak?”

 

“Baik, dari siapa ini?”

 

“Ma’af mengganggu waktunya sebentar, Pak. Saya Dwiko, dari perusahaan pialang berjangka, anggota Bursa Berjangka Jakarta. Tujuan saya menelepon Bapak, ingin buat janji ketemu dengan Bapak, 20 menit saja, tidak hari ini, mungkin besok atau lusa, Pak.”

 

“Untuk apa?”

 

“Memperkenalkan bisnis investasi di perdagangan berjangka, Pak. Di index market. Apakah Bapak sudah tahu sebelumnya?”

 

“Ya, kayaknya sekilas saya sudah pernah dengar. Tapi Bapak tahu nomor HP saya dari mana?”

 

“Dari asosiasi bursa berjangka, Pak.”

 

“Ahh…, nggak mungkin. Saya nggak pernah ngasih nomor HP kesana, kok.”

 

“Oh…, kalau masalah itu saya nggak tahu, Pak. Saya hanyalah orang marketing. Saya hanya diberi data dari sana. Terus ada nama dan nomor HP Bapak. Lalu saya telepon Bapak. Kalau nama Bapak tercatat disana, artinya Bapak adalah orang penting, masuk dalam jajaran orang yang berpotensi sebagai investor, Pak.”

 

“Oh begitu?”

 

“Betul, Pak. Jadi kapan saya bisa diijinkan bertemu Bapak? Tidak lama, 20 menit saja, Pak. Saya akan memperlihatkan sebuah trading system yang bagus, yang mana bisa menghasilkan keuntungan yang signifikan untuk Bapak. Sekalian punya kesempatan untuk bersilaturahmi dan bisa kenal dengan Bapak.”

 

“Boleh-boleh saja Bapak mau bersilaturahmi dan kenal dengan saya, tapi mengenai apa yang mau Bapak sampaikan, ceritakan saja sekarang.”

 

“Terimakasih atas perkenannya, Pak. Tapi kalau disampaikan lewat telepon, kurang akurat, Pak. Sebaiknya kita bertemu, tatap muka. Sebab ada data yang akan saya perlihatkan, yang tidak bisa disampaikan lewat telepon, tapi harus dilihat. Bagaimana, Pak? Kapan diperbolehkan bertemu?”

 

“Mmm…, ya sudah kalau Bapak bersikeras mau datang.Kalau begitu besok sore setelah sholat Maghrib di rumah saya.”

 

“Baik, Pak. Boleh saya catat alamatnya, Pak?”

 

Lalu saya catat alamat Pak Mahmuddin, beliau tinggal di daerah Pamulang. Cukup jauh perjalanannya besok, karena kantor saya di daerah Kuningan, Jl. HR. Rasuna Said waktu itu.

 

“Oke, Pak. Sudah saya catat alamat rumah Bapak. Terimakasih, Pak. Sampai ketemu besok.”

 

Keesokan harinya jam 2 siang, saya berangkat dengan mobil perusahaan, bersama-sama dengan rekan-rekan marketing lainnya yang juga mempunyai jadwal prospecting, yang daerah tujuannya satu arah. Jadwal prospecting saya adalah yang paling terakhir. Setelah rekan-rekan selesai dengan prospecting-nya masing-masing, maka supir pun menghantarkan saya ke Pamulang.

 

Setelah selesai mengerjakan sholat Maghrib di Masjid dekat lingkungan rumah Pak Mahmuddin, saya pun datang ke rumahnya. Rumah itu besar dan tingkat, arsitekturnya bagus, terlihat sabagai rumah baru yang hampir selesai dibangun. Tinggal beberapa finishing saja. Di halaman luarnya masih terlihat belum begitu bersih, masih terdapat beberapa tumpuk batu bata, gundukan pasir, sak-sak semen dan kayu-kayu. Terlihat paling besar diantara dereten rumah-rumah lainnya di lingkungannya. Secara kasat mata telah menunnjukkan kelas ekonominya, bahwa si pemilik rumah ini adalah orang kaya.

 

Saya ditemui oleh istrinya, karena Pak Mahmuddin belum sampai di rumahnya. Beliau sedang dalam perjalanan dari Bogor. Saya pun menunggu kedatangan beliau. Sambil duduk menunggu, saya pun memperhatikan situasi di sekeliling ruang tamu dan sekitarnya. Juga keluarganya.

 

Istrinya memakai jilbab dan berbusana Muslimah. Berusia sekitar 33 tahunan. Anaknya ada 5 orang, 3 laki-laki, 2 perempuan, masih kecil-kecil dan susun-panci. Artinya, anak-anaknya itu nerecel, yang dalam istilah dan bahasa Jawa, adalah; mempunyai anak yang lahir dengan jarak yang dekat, satu tahun - satu anak. Yang paling besar sekitar kelas 1 SD, berusia 7 tahunan. Yang paling kecil berusia sekitar 3 tahunan. Penampilan istri dan anak-anaknya biasa saja. Berbusana Muslimah memang bagus dan dianjurkan, tapi secara taste, istrinya kurang bisa memilih mode dan kurang pas dalam memadukan corak dan warna pakaiannya. Begitu juga dengan model berpakaian anak-anaknya. Secara visual, tidak menunjukkan penampilan seperti orang kaya.

 

Anak-anaknya nakal-nakal. Berteriak-teriak dan berlari-larian, tidak peduli walaupun ada tamu. Bahkan berlari-larian dan berteriak-teriak di depan tamu berkali-kali. Ibunya tidak berusaha melarangnya secara serius. Dengan sibuk mengutak-atik sesuatu, ibunya hanya bilang; “Jangan lari-larian, nak. Jangang teriak-teriak!” Selanjutnya tidak digubris oleh anak-anaknya itu. Dan ibunya tidak mengulangi untuk memperingatkan anak-anaknya lagi. Ibu dan anak sepertinya tidak merasa malu dan kurang bisa memahami, bahwa hal tersebut adalah kurang pas untuk etika dan sopan-santun. Gaya ngomongnya juga tidak menyiratkan intelektualitas, yang mana biasanya satu paket dengan citra orang kaya yang well educated.

 

Penataan interior rumahnya juga kurang teratur. Dalam pemilihan perabotannya, desain dan warnanya tidak match dengan desain arsitektur rumahnya yang bagus. Terkesan serampangan, asal tabrak dan sekenanya saja. Hampir tidak ada taste sama-sekali, walaupun perabotannya itu bukan barang murah. Yang penting ada perabotan, nggak perlu matching-matching-an. Ketidak-harmonisannya merusak desain arsitektur yang sudah bagus. Dari keseluruhan kesan yang saya tangkap dalam beberapa menit ini, boleh dibilang dengan satu kata; “Norak”. Ya, kaya tapi norak.

 

Jam setengah 7 malam Pak Mahmuddin sudah sampai di rumahnya. Terdengar pintu mobil dibanting. Begitu saya lihat dari dalam ruang tamu, terlihat mobilnya adalah Land Rover warna silver. Dan saat Pak Mahmuddin masuk ke dalam rumahnya, saya pun segera menyapanya. Perawakannya kecil, kurus, tingginya sekitar 162 Cm, lebih pendek sedikit dari saya. Berusia sekitar 37 tahun, kulitnya gelap, rambutnya pendek cepak, lehernya kecil-panjang, tengkuknya dalam, dagunya berjanggut sepanjang sekitar 10 Cm-an, berkacamata kotak model jadoel dengan frame hitam, punggungnya agak bungkuk, mengenakan baju koko berwarna hijau telur asin, celana panjang hitam, bersandal kulit warna cokelat, berkalung tasbih putih dan menenteng sebuah tas apit kecil hitam. Dalam bayangan saya sebelumnya, saya kira Pak Mahmuddin ini penampilannya seperti executive / businessman pada umumnya. Ternyata dugaan saya meleset. Penampilannya sederhana. Setelah Pak Mahmuddin selesai mengerjakan sholat Maghrib, beliau pun menemui saya.

 

“Bapak sudah lama menunggu?”

 

“Oh nggak, Pak. Hanya 25 menitan saja.”

 

“Hmm… ya, gimana, gimana nih? Apa yang mau Bapak coba tawarkan ke saya? Langsung saja, to the point, supaya nggak bertele-tele. Kasihan Bapak nanti kalau terlalu panjang menjelaskan, toh pada akhirnya nanti juga saya nggak mau.”

 

Lho? Bagaimana sih, ini orang? Kemarin waktu saya telepon, dia mau untuk janji ketemu. Dan kalau mau untuk janji ketemu, logikanya kan dia tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang alternative bisnis investasi yang hendak saya jelaskan dan tawarkan ini, bukankah begitu? Lalu kenapa sekarang dia meng-skak mat saya dengan mengatakan tidak mau, sebelum saya mulai menjelaskan dan menunjukkan data?

 

“Oh begitu ya, Pak? Tapi sebelumnya mohon ma’af, Pak. Kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba Bapak nggak mau, kan saya belum menjelaskannya ke Bapak? Atau sekalipun setelah saya jelaskan, Bapak malahan sudah menegaskan di awal, bahwa tidak akan mau nantinya? Lalu kenapa Bapak mempersilahkan saya datang, mau mengizinkan dan menerima saya untuk bertemu dengan Bapak, sedangkan Bapak sudah menetapkan jawaban menolak sebelum saya datang?”

 

“Begini, Pak. Dari semenjak Bapak menelepon saya kemarin itu, sebenarnya saya itu sudah tidak mau, tidak minat dengan penawaran bisnis investasi Bapak. Karena menurut saya, di dalam ajaran Islam, menolak di telepon itu tidak baik, tidak sopan. Terlebih lagi, Bapak mau datang dengan niat bersilaturahmi dengan saya. Jadi, ya tidak saya tolak, saya persilahkan saja untuk datang. Nah, sekarang kan Bapak sudah datang, untuk penawaran investasinya saya tidak mau. Makanya tadi saya tegaskan di awal, untuk tidak menjelaskan terlalu panjang. Kalau silaturahminya sih, saya terima.”

 

“Terimakasih Pak Mahmuddin sudah menerima silaturahmi saya. Tujuan saya bersilaturahmi dengan Bapak adalah untuk membangun relationship, khususnya dalam kerjasama bisnis investasi. Harapan saya, siapa tahu nanti kita bisa menjadi partner bisnis yang baik dan saling menguntungkan. Namun karena Bapak sudah menegaskan tidak mau dengan penawaran investasi ini, tidak menjadi masalah, Pak. Tapi karena saya sudah jauh-jauh datang kemari, paling tidak, tolong beri saya kesempatan sebentar saja untuk menjelaskan sekilas tentang bisnis investasi di perdagangan berjangka, khususnya index market, Pak.”

 

“Percuma saja, Pak. Sia-sia nanti. Bapak sudah capek-capek ngomong, pada akhirnya juga saya nggak mau.”

 

“Nggak apa-apa, Pak. Itu bagian dari resiko marketing. Lepas dari Bapak mau atau tidak, paling tidak, tugas saya untuk menyampaikan informasi yang benar dan peluangnya tentang bisnis investasi di perdagangan berjangka kepada masyarakat, khususnya kepada Pak Mahmuddin ini bisa tersampaikan dengan baik.”

 

“Ya ya ya…, silahkan jelaskan.”

 

Selanjutnya saya pun menjelaskan poin-poinnya dengan singkat dan padat. Kemudian saya berikan satu set company / business profile kepada Pak Mahmuddin.

 

“Ooo… begitu, ya? Terimakasih Bapak sudah menjelaskan. Dan jawabannya, saya tetap tidak mau. Bukannya bisnis investasi yang Bapak tawarkan ini tidak bagus, oh tidak. Tapi untuk saya, semuanya harus yang syari’ah, sesuai dengan ajaran Islam, termasuk bisnis. Itu yang utama! Saya tidak menuduh bahwa bisnis investasi yang Bapak tawarkan ini adalah bisnis yang tidak sesuai hukum syari’ah, lho? Menurut saya, untuk bisnis Bapak ini, jika pun saya mau bergabung, saya masih perlu untuk menelitinya lagi, apakah sesuai dengan hukum syari’ah atau tidak? Tapi saya tidak mau repot-repot untuk itu. Dari pada buang-buang waktu, lebih baik saya konsentrasi ngurusin bisnis saya yang sudah jelas syari’ah. Mengenai bisnis secara online trading seperti yang Bapak tawarkan ini, saya juga sudah biasa melakukannya. Tapi yang syari’ah. Kurang-lebih sudah sebulan ini saya bergabung di PNM – Permodalan Nasional Madani.”

 

“Oh begitu ya, Pak? Lalu bagaimana hasilnya?”

 

“Yaaa…hh, masih dalam proses lah. Tapi terlihat cukup menjanjikan keuntungannya nanti. Karena saya yakin, namanya juga syari’ah.”

 

“Kalau tidak keberatan, bisakah Bapak menjelaskannya sekilas tentang PNM?”

 

“Kalau Bapak mau tahu tentang PNM lebih lanjut, Bapak cari saja di internet.”

 

“Pak Mahmuddin, Bapak kan sudah terbiasa di online bisnis, tidak ada salahnya kalau Bapak mencoba yang lainnya di tempat kami. Account Bapak itu nantinya akan sangat liquid, bisa ditarik kapan saja. Kalau dalam beberapa hari kinerjanya tidak sesuai seperti yang Bapak inginkan, Bapak bisa tarik seluruh uang Bapak.”

 

“Tadi kan sudah saya bilang, bahwa saya tidak mau, karena saya belum tahu apakah bisnis Bapak ini sesuai dengan syari’ah atau tidak? Dan saya nggak ada waktu untuk cari tahu. Sekalipun saya paksakan menyediakan waktu untuk mempelajari bisnis Bapak, dan seandainya pun saya berminat, namun dananya juga sudah tidak ada lagi untuk bisnis Bapak, karena sudah saya tanamkan semua ke bisnis-bisnis syari’ah saya. 3 bulan yang lalu, saya sudah investasikan ke bisnis property yang sesuai syari’ah sebesar 25 M! Di perkebunan, 5 M! Ya, saya memang baru beli tanah perkebunan di Bogor. Saya tanami pohon akasia sebanyak 100 ribu pohon. Dan kalau pohonnya sudah besar dalam beberapa tahun nanti, pada saat panen, bayangkan! harga satu pohonnya adalah 250 ribu rupiah. Maka saya akan mendapatkan keuntungan kotor sebesar 25 M! Dan ini adalah syari’ah! Seperti yang Bapak ketahui, kan? Bahwa hari ini saya baru pulang dari Bogor? Ya, saya baru saja ngurusin perkebunan akasia saya di sana. Untuk bisnis syariah saya yang lainnya, sudah saya investasikan 2 M! Jadi sudah tidak ada dana lagi. Sekarang Bapak sudak jelas, kan?”

 

“Ya, Pak. Saya sudah jelas. Tidak apa-apa Bapak tidak berminat pada bisnis investasi yang saya tawarkan ini. Tapi lepas dari tu, ternyata Pak Mahmuddin ini pebisnis hebat! Saya kagum pada Bapak! Masih sangat muda, tapi sudah sukses, sudah bisa berinvestasi em-em-an!”

 

“Ya ya ya, begitulah Pak Dwiko. Saya…, sangat bersyukur telah diberi nikmat yang banyak oleh Allah. Terutama nikmat berkelimpahan secara ekonomi. Karena dalam berbisnis, saya selalu memilih yang sesuai dengan syari’ah. Oleh karena itu, untuk mengamalkan rasa bersyukur saya tersebut, saya tidak lupa untuk selalu berbagi rezeki kepada fakir-miskin, kaum dhu’afa dan orang-orang lainnya yang secara ekonomi jauh di bawah saya.”

 

“Wahh…! Mulia sekali hati Bapak, ya?”

 

“Aahhh…, biasa saja kok, Pak. Memang seharusnya begitulah sifat seorang Muslim yang baik. Oh ya, Pak Dwiko kan tadi sudah memberikan saya satu set company profile? Baiklah, ini saya terima dengan baik, meskipun saya tidak membutuhkannya. Namun untuk membalas pemberian Bapak tersebut, bolehkah saya menggantinya dengan memberikan sesuatu kepada Bapak? ”

 

“Maksud Bapak?”

 

“Yaa…, company profile Bapak ini kan bagus, cetakannya mewah. Biaya cetaknya juga pasti mahal. Oleh karena Bapak sudah memeberikannya kepada saya, maka saya pun harus menerimanya dengan baik. Kenapa? Karena menurut ajaran Islam, suatu pemberian itu tidak boleh ditolak, justru harus diterima. Dan saya bukanlah orang yang mau menerima sesuatu secara cuma-cuma. Untuk itu saya harus membalasnya dengan suatu pemberian. Bolehkah saya memberikan sesuatu kepada Bapak?”

 

“Waduh…, Pak Mahmuddin. Mohon ma’af, saya tidak bisa menerimanya. Terimakasih atas niat baik Bapak. Company profile itu kan merupakan sebuah media informasi yang memang harus dibagikan secara gratis untuk sosialisasi bisnisnya, tidak untuk diganti biayanya, karena sudah termasuk ke dalam budget marketing.”

 

“Oke lah kalau pemberian saya ini bukan untuk mengganti company profile Bapak. Kalau begitu, untuk membayar kompensasi, karena saya tidak bergabung di bisnis investasi Bapak. Saya mohon agar Bapak mau menerimanya.”

 

“Perusahaan tidak menerapkan penggantian berupa kompensasi apapun atas tidak bergabungnya calon investor atau calon nasabah setelah terlaksananya janji ketemu, Pak. Jadi, kami mohon ma’af. Pemberian Bapak tidak bisa kami terima.”

 

“Kalau begitu, untuk mengganti ongkos Bapak yang sudah datang kemari saja. Saya mengerti kok, Bapak juga pasti membutuhkannya. Karena saya tahu, sebelum saya sukses seperti sekarang ini, saya dulu juga pernah menjadi marketing. Jadi, tolong diterima, Pak.”

 

“Mohon ma’af, Pak. Saya tidak bisa menerimanya. Peraturan perusahaan melarang seluruh marketing untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun, termasuk penggantian ongkos transportasi. Biaya transportasi sudah di-cover oleh perusahaan.”

 

“Pak Dwiko, saya ini bermaksud baik. Kalau tadi Bapak mengaitkannya dengan perusahaan tempat Bapak bekerja, sekarang saya berniat memberikannya secara pribadi, antara saya dan Bapak saja. Tolong Bapak terima.”

 

“Sekali lagi ma’af, Pak Mahmuddin. Saya tidak bisa menerimanya. Karena saya kemari tidak membawa nama pribadi, tapi membawa nama perusahaan.”

 

“Yaahh…, kalau pun Bapak tidak mau menerimanya, saya titip untuk putra atau putri Bapak di rumah. Tolong diterima, Pak.”

 

“Terimakasih atas perhatian Bapak terhadap anak saya, tapi sekali lagi mohon ma’af, saya tidak bisa menerimanya, Pak. Saya datang kesini menemui Bapak bermaksud untuk berbisnis, bukan untuk menerima sumbangan.”

 

“Pak Dwiko, saya tidak bermaksud untuk menghina Bapak. Alhamdulillah, saya berkelimpahan rizki, apakah salah jika saya membagikan sebagian rizki saya kepada orang lain? Nah…, kebetulan sekarang yang datang adalah Bapak. Jadi ini adalah rizki Bapak. Tapi karena Bapak tidak mau menerimanya, maka ini menjadi rizki putra atau putri Bapak. Dan Bapak harus menyampaikannya, karena ini merupakan amanat. Dan jika suatu amanat tidak disampaikan, maka bisa berdosa. Ini niat baik saya, Pak. Dan untuk itu saya memaksa. Saya akan sangat tersinggung, jika Bapak menolaknya. Oleh karena itu, tolong diterima dan disampaikan, Pak.”

 

Dia telah sampai pada puncaknya.

 

“Beri waktu saya sebentar untuk berpikir, Pak.”

 

“Ya ya, silahkan, Pak.”

 

Gila ini orang! Sedang sakit barangkali, dia? Apakah otaknya terlalu penuh akan nilai-nilai Islam dan menjadi terlalu berat, sehingga output-nya terhadap orang lain menjadi seperti itu? Dari penampilannya, yang menggunakan tasbih sebagai kalung saja, dia sudah menunjukkan dirinya, bahwa; “Ini loh gue, seorang Muslim sejati. Seorang yang selalu berdzikir. Seorang yang penuh dengan ilmu ke-Islam-an. Seorang yang selalu sesuai dengan syari’ah. Seorang yang rajin bersedekah.”

 

Saya merasa, bahwa dia tidak segan-segan menyamakan saya dengan penerima sumbangan lainnya. Memojokkan saya dengan menggunakan senjata nilai-nilai Islam, seolah-olah saya adalah termasuk golongan penerima sedekah dan amal jariah. Saya ini dianggapnya apa? Sampai sebegitu bersikerasnya dia ingin menerapkan pengamalan ajaran Islam dalam hal pemberian sedekah dalam bahasa kompensasi penggantian ongkos. Apakah saya terlihat seperti kaum dhu’afa? Atau apakah secara visual saya terlihat seperti sales door to door? Seandainya pun benar saya terlihat seperti sales door to door, seharusnya dia tidak melakukan hal itu. Sales door to door pun tidak mencari uang pengganti transport seperti itu. Juga bukan termasuk golongan penerima sumbangan, apalagi sedekah! Dan untuk saya pribadi, saya tidak mau posisi tangan saya berada di bawah, meskipun sebagaimana susah dan miskinnya hidup saya. Insya Allah tidak akan terjadi.

 

Saya merasa, bahwa penampilan saya sudah cukup perlente, mengenakan dasi, tapi tidak mengenakan jas, karena saya pikir, janji ketemunya adalah di rumah. Biasanya, jika janji ketemunya di kantor si prospek, saya selalu mengenakan jas, tujuannya untuk menjaga dan mengangkat citra bisnis, citra perusahaan dan citra diri sendiri. Karena yang dijual adalah investasi senilai ratusan juta rupiah.

 

Dengan bersikerasnya dia ingin memberikan penggantian, sampai pada tingkat memaksa dan menyatakan akan sangat tersinggung, jika saya menolaknya. Kalau pikiran saya yang menganggap Pak Mahmuddin menilai saya sebagai seorang dhu’afa itu salah, dan jika benar seandainya Pak Mahmuddin menganggap bahwa penggantian ini untuk kompensasi penolakan bisnis investasi yang nilainya ratusan juta rupiah, memangnya dia mau memberikan berapa juta, sih?

 

Kalau dulu saat saya ikut serta dalam undangan pitching / tender oleh advertiser / client untuk pemilihan advertising agency bagi advertiser, setelah advertiser memilih advertising agency-nya, maka untuk advertising agency yang tidak terpilih, advertiser akan memberikan kompensasi sebesar 1 % untuk mengganti biaya material, waktu dan penghargaan atas kreatifitas.

 

Oh ya, kalau pitching ini kan berdasarkan undangan dari advertiser, sedangkan janji ketemu saya dengan Pak Mahmuddin ini kan karena saya yang minta, tentunya kompensasinya tidak sebesar 1 %. Mungkin hanya 0,5 % dari nilai 100 juta rupiah yang saya tawarkan. Apakah Pak Mahmuddin akan memberikan kompensasi sebesar 500 ribu rupiah? Seandainya memang benar, tetap tidak bisa saya terima, kalau disangkutkan dengan perusahaan, karena di perusahaan tidak ada aturan seperti itu.

 

Tapi karena Pak Mahmuddin memaksa, dan akan sangat tersinggung jika saya menolaknya, maka demi untuk menghormatinya, dan demi menjaga keamanan diri saya yang berada di lingkungan orang, maka saya abaikan peraturan perusahaan, dan memutuskan untuk menerimanya. Sebab jika saya menolaknya, saya kuatir dia menjadi marah. Dan kalau orang sudah marah besar, biasanya hampir tidak ada sikap dan cara-cara intelektual yang akan terjadi selanjutnya. Bisa jadi dia akan menggangap saya sebagai orang yang mengacau di rumahnya. Selanjutnya, dia akan berteriak-teriak memaki-maki saya. Keributan tersebut akan didengar oleh para tetangga. Dan bukan tidak mungkin, atas komando Pak Mahmuddin, saya akan mendapatkan tindakan fisik, dikeroyok massa! Bisa gawat!

 

“Pak Mahmuddin, karena Bapak memaksa, dan akan sangat tersinggung jika saya menolaknya, maka demi untuk saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain, baiklah, saya terima pemberian Bapak.”

 

“Terimakasih, Pak dwiko mau menerimanya. Ini…, untuk putra Bapak, ikhlas saya berikan. Tolong diterima. Pak.” Katanya, sambil tangannya merogoh sesuatu di kantong baju kokonya, kemudian memberikannya pada saya.

 

“Terimakasih, Pak. Mudah-mudahan rizki Bapak semakin bertambah.”

 

“Ya ya ya, sama-sama. Amin, amin.”

 

Ketika saya terima, tangan saya merasakan lipatan itu tipis sekali. Ternyata hanya uang Rp. 50 ribu! Astaghfirullahalazhiim…! Dia memang menyantuni saya! Saya tidak tersinggung terhadap penolakan penawaran bisnis investasinya, tapi terhadap perlakuan dan pandangan dia dalam hal memberi uang pengganti ongkos ini, saya sangat tersinggung! Tega-teganya dia memposisikan seorang marketing bisnis investasi sebagai seorang dhu’afa yang disantuni! Saya tidak meremehkan uang 50 ribu rupiah sebagai rizki, tapi saya tidak suka dengan situasi ini!

 

Dengan segera saya mengatur sikap, menurunkan rasa kaget, menghilangkan raut wajah tersinggung dan meredam marah. Menggantinya dengan senyum dan sikap gembira, layaknya seorang ‘dhu’afa’ yang baru mendapatkan santunan.

 

“Kalau begitu saya pamit, Pak. Terimakasih telah menyediakan waktu untuk saya, juga uang 50 ribu ini.” Pamit saya padanya sambil bersalaman.

 

“Ya ya ya, Pak Dwiko. Sama-sama. Terimakasih sudah bersilaturahmi.”

 

Saya pun beranjak pergi sambil diantar olehnya sampai pintu pagar rumahnya.

 

“Oh ya, Pak Dwiko. Kalau pulang jam segini sih masih keburu, kok. Angkot masih banyak. Arah keluar ke jalan besar masih ingat, kan? Dari ujung jalan ini, Bapak ke kiri, lurus aja sampai mentok, terus ke kanan, lurus aja sampai mentok, itu sudah jalan besar. Disana masih banyak angkot yang lewat.”

 

“Pak Mahmuddin, saya tidak naik angkot. Saya bawa mobil dan supir.”

 

“Ooo…, gitu ya? Mobilnya ada dimana, Pak?”

 

“Saya parkir di dekat pertigaan jalan ini, Pak.”

 

“Ooo…, ya ya ya. Tadinya saya kira Bapak datang kesini naik angkot. Ya sudah Pak, kalau begitu.”

 

“Mari, Pak. Assalamu’alaikum.”

 

“Mu’alaikum salam.”

 

Terlihat wajahnya terkejut dan agak salah tingkah, mengetahui bahwa saya tidak naik angkot seperti yang dikiranya sebelumnya. Ooo…hhh ternyata, jadi ini rupanya anggapan yang mendasari dia mau mengganti ongkos saya? Baginya, saya adalah sales door to door yang naik angkot, yang senang jika diberi ongkos pulang untuk naik angkot lagi, meskipun produknya tidak jadi dibeli? Mau ditarik lagi uangnya yang Rp. 50 ribu, sudah terlanjur malu. Kalaupun diminta lagi demi untuk memperbaiki sikapnya karena salah anggapan, saya akan sangat senang dan segera saya kembalikan uangnya, itu pun kalau tidak tahu malu. Katakanlah sales door to door yang sebenarnya, tindakannya ini termasuk telah merendahkan profesi sales door to door.

 

‘Luar biasa’ sikap-moral ini orang! ‘Hebat’ sekali sudut pandangnya! ‘Islami’ sekali, dia! Tidak berniat menerima tawaran saya untuk berinvestasi, malahan pamer kekayaan yang em-em-an. Ditambah lagi, cara menolaknya dibarengi dengan menghina saya dengan uang Rp. 50 ribu! Sangat kontras nilainya dibandingkan dengan hartanya yang em-em-an dan nilai investasi ratusan juta rupiah yang saya tawarkan. Keberlimpahannya secara ekonomi telah menutup cara pandangnya, sehingga melihat dengan sebelah mata terhadap seluruh orang marketing, dari marketing executive sampai sales door to door, pukul rata, semuanya adalah sales door to door. Dia merasa telah beramal-sedekah dengan baik kepada saya, orang yang diposisikan sebagai penerima santunan, padahal itu menghina saya. Karena saya merasa uang Rp. 50 ribu itu bukan hak saya, juga bukan hak anak saya, maka saya berikan kepada yang lebih berhak, yaitu anak yatim-piatu. Semoga menjadi berkah buatnya.

 

Kebenaran adalah berasal dari Allah. Kebodohan, kelalaian dan kesalahan anggapan adalah berasal dari saya.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun