Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual atau upaya untuk mendapatkan tindakan seksual maupun tindakan lain yang ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan, oleh siapapun tanpa memandang hubungannya dengan korban, dalam pengaturan apa pun. Pada masa perang Kongo yang terjadi dalam dua periode yang terpisah, yakni pada periode pertama  tahun 1996-1997 dan periode kedua pada tahun 2003-2008, telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang khususnya kekerasan seksual. Kekerasan terhadap kaum perempuan ini dilakukan oleh kelompok bersenjata maupun pasukan keamanan Pemerintahan Kongo. Kekerasan seksual tersebut disusun secara sistematis dan teratur yang dilakukan sebagai bagian dari taktik perang oleh para tentara pemberontak untuk menekan keadaan psikologis lawannya dengan mempermalukan dan menjatuhkan moralnya (Triajiramadhani, 2017). Perkosaan, pemukulan, penganiayaan, dan pelecehan secara verbal dan non verbal ini tetap menimpa kaum perempuan di Kongo walaupun konflik sudah berakhir. Dimana sebelumnya, perempuan pun sudah  kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan rasa aman dalam aktivitas mereka selama perang terjadi. Di satu sisi, Pemerintah Kongo belum bisa menekan angka kekerasan seksual yang terjadi karena hal tersebut digambarkan sebagai suatu hal yang biasa ditambah kuatnya budaya impunitas (kekebalan) sehingga sistem peradilan tidak dapat berjalan membuat para pelaku kejahatan dapat lolos begitu saja dari hukum. Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh PBB, konflik yang terjadi di Kongo ini telah menyebabkan lebih dari 3.000 orang mengalami kekerasan seksual selama empat tahun terakhir. Tindakan ini dilakukan oleh pasukan pertahanan dan keamanan negara atau pemberontak bersenjata. Laporan ini menyebutkan korban berusia sekitar 2-80 tahun, dengan 73 persen di antaranya berjenis kelamin perempuan, 25 persen anak-anak, dan 2 persen laki-laki (Jatmika, 2023)
Kondisi yang terjadi di Kongo ini merupakan suatu potret nyata bagaimana beban ganda (double borden) menimpa perempuan. Hal ini merujuk pada beban yang diberikan baik dalam berupa pekerjaan atau perlakuan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Dalam konteks kasus di Kongo ini, perempuan mendapatkan beban ganda dalam bentuk yang pertama perempuan mengalami hilangnya rasa aman yang mereka dapatkan karena adanya perlakuan opresi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat perang. Kemudian yang kedua mereka juga dijadikan target sebagai bagian dari taktik perang dengan tujuan menebarkan ketakutan dengan adanya perlakuan kekerasan seksual. Perlakuan ini lebih lanjut masuk dalam tindakan diskriminatif kategori gender based violence. Gender based violence selama konflik ini dimaksudkan untuk menunjukkan kemenangan, meneror masyarakat, dan mempermalukan serta memecah belah keluarga mereka (Hague, 2016). Perlakuan tersebut kemudian mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental, dan seksual (Ocktaviana et al., 2014).Â
Melihat banyaknya jumlah korban dari kalangan perempuan dari adanya praktek kekerasan seksual pada masa perang, masyarakat internasional mulai menyadari bahwa urgensi terhadap penggunaan kekerasan seksual sebagai taktik perang harus mendapatkan perhatian penuh dan harus dilakukan upaya-upaya yang bertujuan untuk mencegah terjadinya hal yang sama di kemudian hari (United Nations, 2014).
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang bersifat sistematik dan menyebar sebagai kejahatan perang terhadap kemanusiaan kemudian diakui secara internasional melalui Statuta Roma 1998 yang berlaku sejak tahun 2002. Kemudian hal ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya peradilan internasional yaitu International Criminal Court (ICC) yang merupakan institusi independen yang bertugas untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya perempuan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Namun adanya kovenan dan pengadilan internasional itu belum dirasa terlalu efektif untuk menangani permasalahan adanya kekerasan seksual terhadap kalangan perempuan dalam konteks pada masa perang. Untuk itu, Dewan Keamanan PBB membuat beberapa peraturan-peraturan turunan guna merinci dan menindaklanjuti penanganan tindak kekerasan seksual ini. Beberapa diantaranya yakni  Resolusi 1325 tahun 2000 yang isinya menekankan negara-negara anggota PBB termasuk Kongo untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik dalam pemeliharaan dan promosi perdamaian serta keamanan. Kemudian terdapat Resolusi 1820 tahun 2008 yang secara tegas mengatur larangan penggunaan kekerasan seksual sebagai taktik perang yang ditujukan kepada warga sipil. Lalu ditindaklanjuti dengan resolusi 1888 tahun 2009 yang berisi langkah-langkah terperinci untuk lebih melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan seksual dalam situasi konflik
Bentuk implementasi dari resolusi yang telah dikeluarkan oleh PBB dilakukan melalui pembentukan program-program dalam melawan kekerasan seksual pada saat konflik dibawah satu agensi khusus yaitu UN Action Against Sexual Violence in Conflict yang berfokus pada peningkatan koordinasi dan pertanggungjawaban, memperkuat pemrograman dan advokasi, dan mendukung upaya-upaya nasional untuk mencegah kekerasan seksual dan memberikan respon yang efektif terhadap kebutuhan korban kekerasan seksual terutama kalangan perempuan selain pembentukan instrumen-instrumen sebagai penegakan hukum internasional mengenai penanganan  dan pencegahan kekerasan seksual (Leatherman, 2007).Â
Sebagai langkah konkret dalam jalannya program  UN Action Against Sexual Violence in Conflict ini maka hadirlah UN Women sebagai entitas dari PBB yang bekerja untuk kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan terutama-terutama korban perang. UN Women dioperasionalkan di Kongo sejak 2011 (Yolanda, 2019). Salah satu peran yang dilakukan oleh UN Women dalam usaha penanganan kekerasan seksual di Kongo mendukung kementerian gender untuk mengimplementasikan peran perempuan dalam keamanan dan kedamaian dengan mendukung keberadaan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian, proses penyelesaian konflik, dan proses kemanusiaan pasca konflik serta mendorong lembaga hukum untuk menindaklanjuti pelaku kekerasan.
Dengan demikian kekerasan seksual dalam masa perang Kongo yang menargetkan perempuan sebagai korbannya merupakan suatu tindakan keji yang masuk dalam kategori kejahatan perang. Dalam hal ini penanganannya perlu ditindaklanjuti agar kedepannya kalangan perempuan mendapatkan rehabilitasi untuk menyembuhkan traumanya dan juga sebagai bentuk pencegahan lewat berbagai kerjasama antara komunitas-komunitas internasional baik berupa perjanjian internasional maupun program- program dari PBB.
Pembelajaran yang dapat diambil dari kasus ini kepada Indonesia dapat diawali dengan membuka seluas-luasnya ruang gerak perempuan di sektor sektor strategis. Dalam hal ini perlu dicermati keberadaan mereka tidak hanya sekedar 'hadir' tetapi juga ikut aktif berpartisipasi dalam persoalan-persoalan publik salah satunya berkaitan dengan kasus diatas yakni tokoh-tokoh perempuan juga dilibatkan sebagai agen perdamaian dalam konflik-konflik yang terjadi di Indonesia. Dengan begitu, tokoh-tokoh perempuan ini kemudian dapat mengakomodasi keperluan-keperluan kelompok perempuan secara luas agar mereka tidak lagi menjadi korban dalam konflik atau perang yang terjadi. Selanjutnya, kehadiran tokoh-tokoh perempuan ini juga  akan menjadi jalan pembuka bagi perempuan-perempuan lain untuk dapat berani hadir di sektor-sektor publik demi menyuarakan hak-hak dan kepentingan lain tentang kelompok perempuan.Â
Daftar Referensi: