Mohon tunggu...
Dwi Klik Santosa
Dwi Klik Santosa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis Dongeng Nusantara dan Menulis Apa Saja demi Memanja Kecintaan kepada Hidup yang Damai dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Panggung Mas Ganjar yang Full Humor

5 Oktober 2023   07:11 Diperbarui: 5 Oktober 2023   07:16 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali Mas Ganjar terlibat pementasan seni tradisi di atas panggung, baik pentas wayang wong maupun ketoprak. Selalu mendapatkan peran-peran penting yaitu tokoh-tokoh utama dan sentral, karenanya setiapkali penampilannya ditunggu para penonton; guyonan apalagi yang akan dimainkannya.

Punya spontanitas serta sense of humor yang tinggi dan luwes saat membawakan peran yang harus dimainkannya, tidak heran jika setiapkali penampilan Mas Ganjar di panggung-panggung pentasnya selalu menerbitkan gelak tawa dan tepuk tangan penonton.

Sejatinya Mas Ganjar sadar betul akan perwatakan dan karakter peran-peran yang dimainkannya. Sebenarnya secara perwatakan tidak mungkin karakter yang diperankan itu humoris. 

Misalnya ketika menjadi Prabu Hayam Wuruk raja Majapahit, pada pementasan ketoprak Menyatukan Kembali Nusantara di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Jakarta, dan berperan sebagai Brandal Lokajaya nama mudanya Sunan Kalijaga dalam pentas ketoprak di auditorium RRI Semarang. 

Begitupun ketika main di pentas Wayang Wong bersama grup Ngesti Pandhowo menjadi Sanghyang Wenang dalam lakon “Semar Mbangun Kahyangan” yang dipentaskan di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Raden Saleh Semarang. 

Tetapi ketika berpentas memainkan perannya itu lebih sering muncul kata-katanya sebagai Ganjar Pranowo yang sekalipun punya wibawa tetapi menyampaikan pesan-pesan dengan kandungan isi dan aksen yang lucu. Sekalipun sesungguhnya ia sudah mendapatkan skenario dan teks narasi yang harus dibawakannya dari sutradara.

Terkecuali ketika menjadi Petruk dalam lakon “Bambang Cakil” yang dipentaskan di kompleks rumah dinas Gubernur Jateng. Serasa pas betul. Karena perawakan Mas Ganjar yang jangkung memang sesuai jika memerankan tokoh Panakawan anak Semar itu. Apalagi memang Petruk itu sebagaimana karakternya suka humor dan usil. 

Sebenarnya apa tujuan dari Mas Ganjar? Karena berpentas di atas panggung itu praktiknya berakting yang berdimensi langsung menghadapi penonton. Tapi mungkin dunia panggung kesenian tak ubahnya panggung-panggung di dunia politik dan panggung seremonial yang ia hadapi dan jalaninya sebagai politisi dan pejabat. 

Namun tetap berbeda, karena di panggung kesenian, semua aktor yang mendapatkan peran harus berlatih dulu. Selain membawakan peran, juga harus menyelaraskan secara harmoni dengan unit-unit panggung lain, misalnya musik gamelan, kapan keluar dan masuk untuk menempatkan diri menjadi tokoh peran sebagaimana diinginkan penceritaan. Semua itu harus disutradarai dan menghafal skenario agar sesuai dengan plot yang digulirkan cerita.

Untuk sebuah pementasan panggung kesenian seperti itu agar tampil sempurna seperti dikehendaki yaitu memuaskan dahaga penonton, siapa pun yang terlibat mendapatkan peran harus berlatih dan gladi resik. Nah, kok Mas Ganjar mau ketika diberikan peran-peran pentas panggung kesenian itu? Bukankah sebagai gubernur, begitu rupa nampak kesibukannya. 

Tapi nyatanya, dalam pentas demi pentas yang dimainkannya selama ini, nampak Mas Ganjar yang tidak canggung dan kikuk. Terbukti ia dapat menyesuaikan. Baik dalam alur keluar masuknya ia kapan muncul maupun dalam penempatan blocking agar pertunjukan terlihat enak di mata penonton. Pasti Mas Ganjar mengikuti disiplin kinerja pementasan itu. Yaitu menghafal naskah, latihan menyesuaikan dengan yang lain dan juga kemudian melakukan gladi resik.

Tapi sebaiknya penonton jangan berharap ketika di atas panggung, Mas Ganjar menjadi Brandal Lokajaya yang sangar dan garang karena menjadi perampok sesuai dengan casting yang diperankan. 

Secara visual memang gestur Mas Ganjar yang jangkung dan tegap sangat pantas dibusanai apa saja untuk menjalankan peran gagah, tapi dalam menjalankan peran sebagai perampok yang sangar itu lebih sering menjadi Ganjar Pranowo yang humoris. Hingga dengan demikian akan mampu mengubah pandangan penonton tentang pelakonan ketoprakan dan wayang-wong-an kali ini yang ditontonnya.

Maka, memang pementasan kesenian yang membutuhkan peran Mas Ganjar kurang lebih adalah pementasan yang tidak prestisius mengedepankan art sebagai katarsis. Akan tetapi ada tujuan lain yang hendak dicapai. Yaitu hiburan sebagai basis utamanya. 

Menyenangkan penonton tapi tetap mendapatkan esensi yang baku dalam seni yaitu penceritaan dan kaidah kesenian pada umumnya. Diiringi gamelan dengan alur tradisi yang lazim dalam pementasan ketoprak dan wayang wong.

Memahami hal tersebut, Mas Ganjar sadar betul, bahwa dunia panggung hiburan sebenarnya memang bukan profesi atau dunianya, maka ketika menerima tawaran dan harus menjalani peran-peran yang harus dimainkannya, semata itu dilakukan karena kecintaan dan kepeduliannya belaka akan keberadaan seni budaya itu.

Disebabkan kesukaan dan kecintaan belaka, barangkali sudah banyak pementasan ketoprak dan wayang wong pernah ditontonnya. Tentang hal-hal terkait dengan alam pentas dua dimensi seperti yang ditontonnya itu mungkin ada yang bisa dipahami dan telah dimengertinya. 

Karenanya ketika mendapatkan tawaran main, dalam alam pikir Mas Ganjar sudah bisa membayangkan, dimana posisinya ketika bermain. Ia bukan seniman, itu faktanya. Tapi ia pikir bisa melakukannya. Jadi, kenapa tidak?

“Ikut menggayengkan dan sekaligus menyampaikan pesan,” begitu setiapkali lebih menjadi alasannya.

Karena memang dunia panggung tradisi apalagi kesenian wayang wong dan ketoprak makin hari kian sepi penonton. Semakin diabaikan pula dari atensi masyarakat. Sehingga berakibat langsung kepada resistensi para senimannya dalam menggeluti kesenian itu. Karenanya pentas-pentas seni tradisi itu semakin lama semakin jarang dilakukan. 

Hanya dengan dukungan yang dinamis dari banyak pihak yang punya kepedulian dan kecintaan yang sama, barangkali kesenian produk asli nusantara itu akan terus ada dan tidak mati. Meski era digitalisasi sedemikian masif menghadirkan budaya baru dan sangat diminati, akan tetapi budaya adiluhung yang sarat nilai ini harus dipertahankan dan mampu mengikat pula kesukaan dan kecintaan masyarakat. 

(Dwi Klik Santosa) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun