Jika bukan karena sosok Sri Suparmi, ibunya yang lembut tapi keras dan tegas barangkali, tidak mungkin Ganjar bisa menjadi orang seperti sekarang.
Ganjar teringat bagaimana dulu ia bersimpuh di kaki ibunya, hanya karena ingin melanjutkan kuliah, karena ternyata ia lolos ujian penerimaan mahasiswa baru di UGM.
Ganjar tahu, keluarganya hanya hidup pas-pasan bahkan miskin. Gaji dari ayahnya yang berpangkat polisi rendahan tak cukup juga untuk membiayai sekolah keenam anaknya. Apalagi untuk membiayai kuliahnya.
Dengan menangis, Ganjar yang tahu diri tapi punya cita-cita, bersimpuh di kaki ibunya. Ada satu dorongan yang kuat dalam keyakinan Ganjar pada waktu itu, jika restu itu muncul dari keputusan dan doa seorang ibu, maka dalam kemiskinan yang sebagaimana pun, niscaya akan mendapatkan jalannya.
Bagi Ganjar setiap hari adalah hari ibu. Karena sampai kapan pun kebaikan ibunya tak akan lekang terhapus dalam ingatannya. Akan tetapi bahwa momentum Hari Ibu adalah peringatan yang universal, yang harus disikapinya pula dengan jernih dan terbuka, dan tidak sentimental.
Karena bagaimanapun semua orang terlahir dari seorang ibu. Namun ironisnya, tidak semua orang punya ingatan dan perhatian yang khusuk kepada ibunya.
Terlebih bagi seorang Ganjar yang berpikir modern, memperingati Hari Ibu juga adalah sebuah peringatan untuk mengembalikan kepada perjuangan menuju kesetaraan yaitu peran yang sama sebagai perempuan. Terlebih dalam dinamika di Jawa Tengah, apa yang sebaiknya dilakukan?
"Selain kodrat tak satu hal pun pantas kita perdebatkan," begitu kata Ganjar.
Gender bukan penghalang meraih kesuksesan. Ganjar yang bekerja sebagai wakil negara di barisan Pemprov Jateng selama 10 tahun lamanya meyakini dan menjalankan prinsip itu dengan seksama, agar bisa memberikan pengabdian seoptimal mungkin.
Perempuan yang cerdas dan tangguh sama haknya dalam bersumbangsih ikut memajukan kehidupan dan Indonesia. Begitu semangat itu terpancar dari pemikiran dan kebijakan Ganjar Pranowo.
(Dwi Klik Santosa)